Bagian 1 - Janji

1749 Words
Aku, Airyna Kayla Mahez. Panggil aku Airyn. Umurku 25 tahun. Aku lahir dan tumbuh besar di kota Surabaya. Tapi, pekerjaanku di salah satu perusahaan elektronik terbesar di Jakarta, membuatku pindah dan meninggalkan kedua orang tuaku. Hari ini, aku akan resmi menjadi istri dari seorang pengusaha muda pemilik tunggal dari perusahaan elektronik tempatku bekerja. Dia, Arvyno Raka Setiawan. Pria 28 tahun, dengan tubuh jangkung, kulit putih, lengkap dengan aura dingin yang selalu di bawanya ke mana-mana. Banyak kaum hawa yang bermimpi bisa bersanding dengan si tampan pemilik perusahaan alias Arvyno. Tapi entahlah, garis nasib apa yang Tuhan berikan untukku, karena dari sekian banyak wanita yang memujanya, dia justru memilihku. Wanita sederhana yang hanya bekerja sebagai salah satu karyawan di perusahaannya. Aku sadar diri. Aku wanita kelas rendah yang beruntung mendapatkan pangeran sepertinya. Aku juga tak mengenal Arvyn lama. Dia sangat misterius bagiku. Hanya beberapa bulan mengenalnya sebagai atasan dan bawahan, dan pagi itu, aku di kejutkan saat Arvyn memutuskan memilihku. Entah sudah berapa lama aku menatap pantulan diriku di cermin. Perasaan gugup dan takut mulai membuatku ragu. Nyata nya, aku memang sangat tidak pantas menyandang gelar sebagai istri seorang Arvyno. Aku menunduk dalam. Meremas tanganku yang mulai berkeringat. Aku kehilangan kepercayaan diri. Rasanya ingin mundur saja dari kemenangan yang mungkin sebenarnya adalah kekalahan ku. Bagaimana jika sebenarnya Arvyn hanya ingin menjadikan ku sebagai penunggu rumah nya? Atau bisa saja, Arvyn hanya menginginkan seorang anak dan setelah mendapatkan nya ia akan menendangku jauh dari hidupnya? Ya Tuhan ... Pikiran-pikiran aneh berlomba memenuhi otak ku dan membuat mentalku semakin merosot, sehingga suara seseorang mengagetkan ku. "Ya ampun ... Sayang. Masih berapa lama kamu akan menatap pantulan dirimu di cermin hem? Mau sampai cerminnya pecah gara-gara lihat putri Ibu yang cantik ini ya?” ucap Ibu sambil mengusap wajahku pelan. Aku mendongak. Menatap wajah Ibu dengan keraguan ku, "Ibu aku takut ..." cicitku. Aku tau, wanita mana pun pasti akan gugup saat acara pernikahannya dan aku pun mengalami hal yang sama. "Dengar, Nak. Ibu tau kamu gugup. Tapi jika terus-terusan kamu berada di sini. Arvin akan marah dan membawamu keluar, dan mungkin secara paksa.” Ya. Perkataan ibu tak bisa aku sanggah. Arvin pasti akan melakukan itu. Dia tipe pria yang tidak suka menunggu. "Ibu. Aku ragu. Apa aku memang pantas bersanding dengan, Arvyn?” rengekku pada ibu. Aku merasa down untuk saat ini. "Kenapa bicara seperti itu? Tenanglah Airyn. Semua wanita, pasti akan gugup di acara pernikahannya. Jangan pernah berpikiran yang tidak-tidak. Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Bukankah kalian saling mencintai?” Aku mengangguk. Aku memang sangat mencintai pria itu. Walaupun sifatnya dingin, arogan dan menyebalkan. Entah kenapa, bisa membuatku takluk oleh pesonanya. "Aku memang sangat mencintainya, Bu. Tetapi, entahlah! Di luar sana begitu banyak wanita sempurna dari kalangan atas yang selalu mengejarnya. Sedangkan aku ... “ Aku melihat pantulan diriku di cermin dari atas sampai bawah. Melihat bagaimana sederhana nya aku dan berkelas nya dia. “Aku hanya wanita kelas menengah, karyawannya pula. Tidak berpendidikan tinggi. Tidak sebanding dengannya yang sangat sempurna. Jelas aku jauh dari kata pannntsss ... “ Ucapan ku tertelan sampai kerongkongan. Aku tersentak kaget. Entah sejak kapan Arvyn sudah berdiri di dekat pintu dengan sorot matanya yang tegas. "Ibu, boleh saya minta waktu berdua dengan si cerewet ini?” Arvyn menatap ibuku sekilas dan ibu hanya tersenyum, "Ibu, ku mohon jangan. Tetaplah disini,” lirihku dalam hati. Ku isyaratkan ke tidak setujuan ku dengan kedipan mata. Tapi ibu sama sekali tidak berpihak padaku. Ibu mengangguk dan tersenyum lebar lalu keluar dari kamar yang sudah membuatku panas dingin. "Tatap mataku. Bisa kau ulangi kata-kata yang ingin kau ucapkan tadi?” Terlihat jelas dimataku mata bak warna laut itu menyorot penuh ketegasan dan sedikit intimidasi di dalamnya. "A—aku ... " Seketika aku menjadi kikuk. Aura itu membuat mulutku terkunci walaupun sorot matanya jelas menginginkan aku menjawab permintaannya. Entah ke mana hilangnya suaraku. Hanya terdengar detak jantungku yang berpacu 2x lebih cepat dan mungkin saja akan terdengar oleh Arvin. "Arvyn. A—aku ... tidak ..." aku remas ujung gaunku. Arvin memang selalu berhasil membuatku kikuk. Dan kini, aku sudah merasa seperti tersangka di ruangan penyidik kepolisian. "Katakan Airyna!” Suaranya semakin dingin saja. Aku bingung sekaligus ketakutan. Apa yang harus aku lakukan. Seumur hidup, hanya Arvin yang bisa membuatku mati kutu seperti ini. Aku tarik nafasku dalam-dalam. Aku harus mengatakannya, sebelum pria di depanku ini semakin menakutkan. Arvin tidak akan membiarkanku lepas sebelum mendengar perkataanku tadi. "Arvyn. Aku hanya ingin mengatakan, apa aku pan ... hempp!” Suaraku lenyap. Aku terdiam. Jantungku berdetak lebih cepat. Arvyn merengkuh tubuhku dalam pelukannya juga menempelkan bibirnya dengan bibirku. Hanya sekadar kecupan. Tapi ... lama. "Airyn ini peringatan! Jangan pernah mencoba bermain-main denganku. Aku tidak akan mengampunimu!” Ancamnya hingga aku hanya bisa mengangguk sambil mengatur pernapasan ku yang memburu. Hari ini, aku akan benar-benar menjadi istri seorang pria se dingin Arvyno Raka Setiawan di depanku. *** "Arvyno Raka Setiawan, apa Anda siap?” Penghulu di depanku membuat Arvyn menghentikan tatapannya yang sejak tadi menyorot penuh ke arahku. "Ya saya siap,” jawab Arvyn dengan nada tegas. "Jabat tangan ayah mertua Anda.” Arvyn mengangguk dan menjabat tangan ayahku sesuai instruksi penghulu. Aku sama sekali tak melihat, kegugupan di wajah tampan itu. Arvyn masih terlihat santai seperti biasa. "Saudara Arvyno Raka Setiawan. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku yang bernama Airyna Kayla Mahez binti Sagara Mahez, dengan seperangkat alat shalat, sebuah rumah, mobil, dan emas seberat 100 gram dibayar tunai!” "Saya terima nikah dan kawinnya Airyna Kayla Mahez binti segara Mahez dengan maskawin tersebut di bayar tunai!” jawab Arvyn dengan mantap. Dan, "Bagaimana saksi? Sah?” "Saaaaaaaahhhhhhhhhhhhh ..." "Alhamdulillah ... “ Tak terasa air mataku jatuh. Kini, sku telah sah menjadi istrinya. Aku berdoa semoga aku akan selalu menjadi istri pujaan hatinya, pendamping hidup laki-laki yang aku ini cintai ini selamanya. Aku berjanji, tidak akan pernah melepasmu, walau apa pun yang terjadi dalam biduk rumah tangga kita nanti. Terkecuali, jika kamu sudah tidak menganggap keberadaanku lagi di hidupmu suatu hari nanti ...” Aku akan selalu berdoa. Semoga kebahagiaan akan selalu menjadi milik kita. Selamanya, hanya akan ada kamu, pria satu-satunya dalam hidupku. Aku sangat mencintaimu. Dan kaulah yang akan menjadi cinta sejatiku, ayah dari anak-anakku, sahabatku yang akan terus menemaniku sampai tua kelak sampai maut menjemputku. Batinku sambil menghapus bulir air mata yang tak terasa jatuh di sudut mataku. *** Pagi telah menjemput. Hari ini, mungkin akan menjadi hari terberat untukku. Aku harus meninggalkan orang tua yang paling aku cintai dan kampung halaman, yang sudah menjadi duniaku sejak kecil. "Jaga dirimu baik-baik ya, Sayang. Sering-seringlah telepon ke rumah,” ucap Ibu dengan mata yang berkaca-kaca, “Arvyn, tolong jaga putri ibu ya, Nak.” lanjutnya membuat hatiku meringis. Ibu. Wanita paling aku cintai dalam hidupku. Tak menyangka, aku akan meninggalkan wanita kuat dan lemah lembut yang sudah melahirkanku dan merawatku sejak kecil itu. "Tentu Ibu. Saya akan dengan sangat baik menjaganya bahkan dengan taruhan nyawa. Jangan menangis, Bu. Putrimu akan baik-baik saja. Saya janji.” "Ibu, kami pamit ya. Jika ada waktu senggang, aku dan Arvyn pasti akan ke Surabaya.” Aku tak betah berlama-lama di sini. Apalagi, melihat raut wajah ibu yang dan ayah yang menyiratkan kesedihan. Arvyn mengerti perasaanku. Dia pun membawaku menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir menunggu kami. "Tolong, jaga kesehatan kalian," ucapku menahan isakan yang membuat dadaku sesak. Ini ‘kan hanya perpisahan singkat. Aku bisa bertemu dengan mereka kapan saja. Tapi kenapa, rasanya perpisahan ini, akan membuatku kehilangan mereka? Ya Tuhan, tolong jaga selalu orang tuaku. "Sayang, udah dong nangisnya. Nanti jika aku punya waktu, kita akan sering-sering mengunjungi mereka, aku janji,” kata Arvyn meyakinkanku. Kita memang harus tinggal di Jakarta karena Arvyn tidak mungkin lepas tanggung jawab begitu saja pada perusahaannya. Untuk tinggal di Surabaya pun, rasanya tidak mungkin. Kasihan juga, jika Arvyn harus bolak-balik dari Surabaya ke Jakarta. Bagaimana kesehatannya nanti? "Ma—af,” hanya kata itu yang bisa aku lontarkan. Bisa dikatakan, saat ini aku sudah menangis sesenggukan. Arvyn membawaku dalam pelukan besarnya. Terasa nyaman. Namun belum bisa mengurangi sesak yang saat ini masih menggerogoti rongga d**a. Berpisah dari orang tua yang kalian cinta, adalah hal yang paling menyesakkan. Airyn kau sudah menjadi milikku. Gadis 7 tahun lalu yang diam-diam kucintai, kini berada di pelukanku. Seakan mendapat bintang jatuh, aku yakin dia adalah cinta sejatiku dan aku berdoa untuk itu. Well, aku jadi tidak sabar untuk segera sampai ... **** Jakarta ... Aku mengerjapkan mataku yang terasa berat. Terlalu lama menangis, juga membuat kepalaku sedikit pusing. Kami sudah sampai di Jakarta. Tepatnya, di rumah yang akan aku tinggali bersama suamiku. "Sayang, ayo masuk. " Arvyn mengalihkan perhatianku. Memang sejak tadi, aku terpaku dengan bangunan besar di depanku. Tidak terlalu besar seperti rumah para konglomerat kebanyakan. Tapi, kelihatannya damai. Semoga saja, aku akan betah tinggal di rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumahku di Surabaya. Aku tersenyum manis walaupun akan terlihat lemah. "Ma—af, aku terlalu terpesona dengan taman bunga itu,” jawabku sambil menunjuk taman indah itu. Satu hal yang membuatku langsung menyukai rumah baruku. Taman bunga itu. Aku selalu menyukai tanaman yang membuatku merasa cantik sebagai perempuan. "Dulu kakek yang membuatnya untuk nenek. Dan karena mansion ini turun temurun, jadi mama lah yang merawatnya. Dan karena sekarang kamu adalah istriku. Jadi, semua ini adalah milikmu sayang, kamu yang harus merawatnya,” kata Arvyn menjelaskan. Aku mengangguk. Dengan langkah pelan, Arvyn membawaku masuk ke dalam rumah besarnya. Tapi, begitu masuk ke dalam. Aku mencurigai sesuatu. "Arvyn, apa kita hanya tinggal berdua?” tanyaku, karena rumah besar ini benar-benar sepi. Dengan senyuman tipisnya yang memukau, Arvyn mengangguk tanpa dosa. "Tentu Airyn. Aku tidak ingin membagimu dengan siapa pun,” lirihnya tegas penuh ke posesifan sambil membawaku dalam pelukan besarnya, “kau hanya milikku. Jadi, hanya aku yang boleh melihatmu, memelukmu, dan mencintaimu.” “Arvyn ... “ “Hem?” “Jangan di sini,” lirihku pelan, mencoba menghindar saat Arvyn mengecup sudut leherku yang terbuka. Meskipun hanya ada aku dan Arvyn di rumah ini, malu juga jika melihat Arvyn se nakal ini di tempat terbuka. “Kenapa? Lagi pula hanya ada kita berdua, Airyna. Kita bebas melakukan apa pun. Misalnya sesuatu yang berpahala seperti bercinta dengan panas di sofa itu.” “Ishh, Arvyn!” seruku keras sambil melepaskan diri dari pelukan Arvyn. Ya Tuhan, aku belum siap. Perkataan Arvyn, membuatku panas dingin saja. Aku memilih meninggalkan Arvyn dan menuju lantai atas. Bisa-bisa, Arvyn membuatku kebakaran. Demi apa coba, dia membahas hal pribadi itu di ruang terbuka? Astaga, aku perlu melakukan perbaikan dengan kosa katanya. Aku membuka pintu ber cat putih di depanku. Pandanganku mendadak terpaku pada satu objek di sana. Lantas, aku menutup mulutku tak percaya. Bagaimana bisa kenangan masa lalu itu berada di sana? “Arvyn ...! Apa maksudnya ini?” teriakku keras. Sungguh, mendapati masa lalu yang sudah coba kau lupakan, mendadak datang kembali ke hadapanmu adalah hal yang sulit untuk kita cerna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD