Bagian 6 - Menjemput Kehancuran

1059 Words
Mentari pagi bersinar dengan terangnya setelah hujan hampir semalam penuh. Tak ada yang tau, kisah tragis macam apa yang sudah merenggut kebahagiaan sang pengantin baru. Sedangkan, di lantai putih itu, seorang pria tergeletak dengan balok kayu di dekatnya. Pria itu pingsan, setelah ada seseorang yang memukulnya tadi malam. Satpam rumah besar itu mendekat. Merasa ada yang tidak beres melihat majikannya tertidur di lantai, semalaman pula. Sedangkan tadi malam, adalah malam pernikahannya. “Tuan, sudah pagi,” ucapnya sambil menepuk pundak majikannya itu dengan pelan, “bangun, Tuan,” lanjutnya. Arvyn menggeliat. Matanya terasa berat untuk terbuka. Kepala bagian belakangnya pun terasa sakit. “Ya Tuhan, ada apa ini?” lirih Arvyn sambil memegang kepalanya yang berdenyut. Lantas Arvyn bangkit dengan posisi duduk. Dia masih belum menyadari sepenuhnya, situasi yang terjadi saat ini. “Tuan, sakit?” “Tidak. Aku hanya merasa pusing.” “Tuan, kenapa tidur di luar?” Mendengar perkataan satpam rumahnya, Arvyn membuka matanya dengan penuh. Kenapa dirinya baru sadar, jika dirinya ada di luar? Arvyn mengingat-ingat. Tadi malam, terdengar bunyi bel. Lalu saat dia membuka pintu, sebuah benda keras menimpa kepalanya sampai dia pingsan. “Tadi malam kau berjaga ‘kan?” Satpam itu mengangguk. “Iya Tuan. Tapi saya ketiduran setelah makan makanan yang Tuan belikan.” Arvyn mengernyit. “Makanan? Makanan apa? Perasaan, aku tidak memberikanmu makanan tadi malam.” Arvyn nampak menimbang-nimbang. Semua ini pasti ulah seseorang. Tidak mungkin ada unsur ke tidak sengajaan mengingat rencana si pelaku yang tersusun dengan begitu rapi. “Kita cek ke dalam. Aku yakin, tadi malam ada pencuri di sini.” Satpam itu mengikuti Arvyn di belakang. Mereka masuk ke dalam rumah, dan semuanya baik-baik saja. Bahkan rapi seperti sebelumnya. “Tuan. Barang-barang nya masih utuh. Apa benar orang itu hanya berniat mencuri?” Arvyn mangut-mangut. Benar kata satpamnya, jika pria yang sudah memukulnya adalah pencuri, tentu keadaan rumah tidak akan lengkap dan se rapi ini. Arvyn melihat sekeliling dengan seksama. Tapi, begitu dia menyadari sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya, turut menjadi salah satu bagian dari rumahnya dan semalam sendirian, Arvyn sontak berlari ke arah tangga dengan panik. “Cek bagian rumah yang lainnya!” perintah Arvyn dan satpam itu pun keluar. Arvyn sampai di depan pintu kamar. Tangannya terulur mendorong daun pintu yang sudah rusak di depannya. Bermacam pikiran negatif, membuat Arvyn enggan untuk membuka pintu kamar. Entahlah, dia hanya takut. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk di dalam sana. “Airyn?” lirih Arvyn begitu satu langkah memasuki kamar. “Ay ... “ panggilan lemah Arvyn semakin tak terdengar, manakala Arvyn mendapati sesuatu yang membuat persendiannya terasa lepas. Ya Tuhan... Di sana. Di atas ranjang putih yang penuh dengan noda darah itu. Istrinya, Airyna. Terikat dengan cara tak manusiawi dan dalam kondisi nyaris telanjang bulat tanpa busana. Mata Airyn yang sembab, terpejam erat. Pipinya yang putih dan merona, kini terlihat bengkak dan lebam membiru. Bahkan masih tersisa noda darah dari luka di sudut bibirnya yang kecil. Arvyn mendekat dengan tubuh gemetar. Dia merasa menjadi pria paling berengsek yang pernah ada. Bagaimana bisa, dirinya tidak ada di saat Airyn membutuhkannya? Entah kejadian buruk macam apa yang terjadi pada istrinya tadi malam? Airyn pastilah ketakutan dan—Ahh. Siapa yang sudah berani menyentuh miliknya? Arvyn melepas ikatan di pergelangan tangan Airyn yang terluka. Perlawanan Airyn, pastilah akan membuat Airyn mendapatkan luka-luka. Tangan penuh darah yang di hiasi lebam menghitam itu, Arvyn genggam dan dia kecup berulang-ulang. “Maafkan aku ... “ lirih Arvyn dengan pandangan yang buram oleh air mata. Entah, bagaimana dia harus mengungkapkan perasaan yang dia rasakan saat ini. Sedih, marah dan terluka. Semuanya menjadi satu dan entah kepada siapa dia harus melampiaskan itu semua. Arvyn mengambil kain yang menyumpal mulut Airyn. Kain itu pun, tak luput dari hiasan noda darah. Dengan berat hati, Arvyn mengambil selimut dan menutupi tubuh Airyn yang penuh luka dan bekas-bekas memerah. Dia pun tau, apa penyebab bekas memerah itu. Arvyn menunduk dalam. Kenapa tragedi ini, harus terjadi pada istrinya? Apa yang akan di alami Airyn saat dia sadar nanti. Airyn pastilah akan sangat terpukul dan bisa saja melakukan hal yang tidak-tidak. “Airyn, bangun, Sayang .... “ Arvyn mengusap lembut rambut Airyn yang tergerai. Bidadari se cantik istrinya, tidak seharusnya menerima tragedi menyakitkan seperti ini. Airyn wanita baik-baik. Tidak mungkin jika Airyn memiliki musuh dan berniat membalas dendam. Tapi, bagaimana jika yang melakukan semua ini adalah orang yang memusuhinya? Bagaimana jika Airyn hanyalah objek untuk menghancurkannya? Tidak. Arvyn tidak akan pernah mengampuni orang yang sudah melakukannya. “Airyn ... “ Suara Arvyn kali ini, berhasil membuat kelopak mata sayu itu terbuka. Pupil mata Airyn yang biasanya teduh dan penuh dengan pancaran kebahagiaan, kini terlihat kosong bak mayat hidup. Airyn mengerjap perlahan. Seiring kelopak matanya yang menutup kemudian terbuka, saat itu juga, air matanya berlomba berjatuhan di pipinya yang menerima banyak pukulan tadi malam. “Airyn ... “ “Aaaaaa.... Tolong! Jangan sakiti aku, Hiks ... hiks ....” Airyn berteriak histeris. Tangannya memukul ke sembarang arah sambil sesekali menjambak rambutnya kuat-kuat. Arvyn lekas mendekap tubuh Airyn kuat-kuat. Tak peduli, bagaimana kuatnya perlawanan Airyn untuk melepaskan diri. “Airyn, tenanglah. Ini aku Arvyn. Suamimu.” Arvyn menangkup wajah Airyn dan berusaha membuat Airyn untuk melihat ke arahnya. Ketakutan besar itu, bisa Arvyn rasakan dari kuatnya tubuh bergetar Airyn. “Hiks ... hiks! Jangan sakiti aku. Aku mohon ....” Airyn menangis pilu. Tubuhnya gemetar dan isakan tangisnya pecah. Airyn mengingat jelas, bagaimana peristiwa keji itu terjadi dan menghancurkan dirinya. “Jangan sakiti aku lagi, hiks ... hiks ... Jangan sakiti a—ku.” Arvyn hancur. Dia mendekap lagi tubuh Airyn erat-erat. Airyn ketakutan, tertekan dan butuh perlindungan. “Jangan takut. Aku di sini, bersamamu,” lirih Arvyn menguatkan. Beberapa menit berlalu. Arvyn mencoba menenangkan Airyn sedangkan Airyn berusaha tenang, walaupun jantungnya berpacu cepat. Airyn ingin pergi dari sana. Tapi, sayang. Dia tak punya sedikit pun tenaga. Meskipun air mata masih mengalir deras bak hujan di wajahnya. Dia harus bisa mengalihkan perhatian Arvyn. Trauma mungkin sudah mengambil akal sehatnya. Tapi, keberadaan Arvyn, membuatnya sadar. Dirinya tak pantas menyandang sebagai istri Arvyn lagi. Arvyn terlalu sempurna, dan dirinya terlalu kotor dan hina. Arvyn melepaskan pelukannya. Tangannya yang besar, menangkup pipi Airyn dengan lembut. “Sayang, tenanglah. Aku di sini,” ucap Arvyn dan Airyn mengangguk dengan wajah lesu. Kenapa Arvyn bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Sedangkan, melihat kondisinya saat ini, Arvyn pastilah tau kejahatan macam apa yang sudah terjadi pada dirinya. “Aku akan membuatkanmu sarapan. Kau tunggu di sini ya?” ucap Arvyn dan Airyn mengangguk dengan cepat. Ini adalah kesempatan besar untuknya. Sebuah kesempatan, saat di mana Arvyn meninggalkannya seorang diri, dengan mudah dia akan menghabisi nyawanya sendiri. Arvyn, cepatlah pergi. Agar aku bisa cepat-cepat melenyapkan tubuh yang kotor dan hina ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD