Bagian 12 - Kisah Baru

1452 Words
Arvyn melepas ikatan dasinya yang terasa mencekik. Seharian penuh dia berada di kantor karena pekerjaannya yang menumpuk. Bukan perkara mudah menjadi seorang pimpinan perusahaan besar seperti yang dia kelola saat ini. Dia harus siaga, disiplin, dan memberi contoh yang baik. Langkah kaki Arvyn menuju dapur. Dia sangat membutuhkan air untuk menyegarkan kerongkongannya yang terasa kering. Cuaca sedang sangat terik hari ini. Dan entah bagaimana kondisi Airyn setelah seharian penuh dia tinggal sendiri. Egois. Arvyn mengakui jika dirinya menjadi egois sejak kejadian tragis itu menimpa Airyn. Tapi, mau bagaimana lagi. Semua itu, dia lakukan agar Airyn tenang dengan kesendiriannya dan tak tertekan saat melihatnya. “Tuan, sudah pulang?” suara seorang wanita paruh baya yang dia tugaskan untuk bekerja di rumahnya mulai hari ini, rupanya sudah datang. Dan sepertinya, wanita itu sudah melakukan pekerjaannya. “Bibi, kapan datang?” tanya Arvyn balik bertanya kepada pembantu barunya itu. “Sudah sejak pagi, Tuan. Maaf, jika saya menyentuh barang-barang di rumah ini tanpa se izin tuan Arvyn dulu.” Jawaban pembantu itu membuat Arvyn tersenyum tipis. Dia melanjutkan langkahnya menuju lemari pendingin dan mengambil sebotol air lalu meneguknya hingga habis. “Tidak masalah, Bik Lani. Aku ucapkan selamat datang di rumahku, dan semoga Bibi betah bekerja di sini,” ucap Arvyn setelah mengembalikan botol air yang diminumnya tadi ke dalam lemari pendingin, “dan satu lagi. Ada yang tidak aku katakan pada, Bibi sebelumnya.” Lanjut Arvyn membuat pembantu baru itu mengernyit bingung. “Apa itu, Tuan?” “Bibi harus merawat istriku,” jawab Arvyn menjeda kalimat yang akan di ucapkannya, “Istriku ... yang mentalnya terganggu.” Perkataan Arvyn selanjutnya setelah menjeda kalimatnya lagi sedikit lama, membuat wanita paruh baya bernama Bik Lani itu tertawa pelan. “Istri tuan cantik begitu kok tuan bilang tidak waras sih?” celetukan bik Lani, membuat raut wajah lelah Arvyn seketika bertambah muram. Benar. Istrinya memang sangat cantik. Tapi, sebelum kejahatan itu merenggutnya. Dan sekarang, Airyn sudah bukan Airyn nya yang dulu lagi. “Apa dia sudah makan?” tanya Arvyn memastikan. “Iya, Tuan. Nona Airyn sudah makan.” Kali ini, tanpa sepatah kata lagi, Arvyn pergi dari sana. Melangkah ke arah tangga untuk menuju kamarnya. Tapi, melihat pintu kamar Airyn yang sedikit terbuka, membuat hatinya tak bisa menahan keinginannya untuk tak melangkah mendekati pintu yang sudah menjadi pemisah antara hubungannya dan Airyn yang semakin jauh. Arvyn mengintip suasana di dalam kamar Airyn lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Aneh. Kamar Airyn tak seberantakan tadi malam. Semuanya bersih dan rapi. Bahkan seberkas sinar menerangi kamar yang beberapa hari ini gelap gulita tanpa cahaya. Memang, tanpa Airyn ketahui. Dirinya selalu mengintip kamar Airyn saat Airyn sudah lelap dalam mimpi. Arvyn ingin sekali mendorong pintu itu lebih lebar. Melihat seorang wanita yang selalu membayanginya setiap waktu. Tapi, melihat kondisi Airyn yang memprihatinkan, sangat membuatnya terluka. Itulah sebabnya, dia selalu menyibukkan diri agar tak bisa melihat kegagalan terbesarnya. Arvyn hendak berbalik arah. Tapi, tiba-tiba pintu itu terbuka, dan muncullah wajah Airyn yang terkejut karena melihatnya. Airyn. Istrinya yang beberapa hari terakhir menderita gangguan mental dan kondisinya nyaris seperti orang gila, hari ini berubah total. Wanita itu terlihat segar dengan baju bermotif bunga. Wajahnya pun tetap cantik natural tanpa make up. Dan rambut Airyn yang biasanya panjang dan terurai, kali ini hanya sebatas bahunya saja. Apa Airyn sudah kembali normal? Arvyn membatu. Dia sangat bersyukur melihat Airyn mulai berbenah. Airyn nya akan kembali hidup normal. Suasana di antara mereka masih dipisahkan oleh kesunyian. Tidak ada yang berbicara untuk sekedar memecah keheningan. Arvyn yang terpaku melihat Airyn, dan Airyn yang memilih menunduk—melihat kakinya yang tak bertelanjang. Arvyn menjadi bingung sendiri. Kenapa dia sekaku ini hanya untuk berbicara dengan Airyn? “Aiy—“ “Nona.” Baru saja, Arvyn ingin menyapa Airyn. Bik Lani sudah lebih dulu datang dengan senyuman lebarnya. Wanita itu membawa nampan berisi jus dan sepotong kue coklat dengan toping buah Strawberry di atasnya. “Pesanan Nona sudah siap. Mari saya letakkan di dalam,” ucap bik Lani selanjutnya, dan akhirnya, Arvyn kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Airyn, karena Airyn sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya. Arvyn tersenyum lebar, sambil mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Melihat Airyn hari ini, membuat impiannya yang kemarin hancur, mempunyai harapan untuk dia tata kembali sekarang. *** "Jangan dekati aku!” Airyn berteriak lantang sambil mengambil vas bunga di dekatnya. Dia mengarahkan vas bunga itu ke arah wanita tua yang sedang melangkah penuh wibawa mendekatinya. Wanita itu, wanita itu satu-satunya yang berhasil membuatnya takut. “Aku akan membunuhmu!” teriak Airyn semakin kesal, saat wanita tua itu justru duduk di dekatnya tanpa rasa takut sedikit pun akan ancamannya. “Jika dengan membunuhku rasa sakitmu akan hilang? Maka bunuhlah aku, Nona. Tidak ada sanak saudara lagi yang aku punya. Jadi mati pun, tidak akan ada yang peduli atau pun merasa telah kehilanganku. “Bunuh aku, jika bagimu hidup itu tak ada artinya sama sekali. Bunuh aku sekarang. Aku siap. Lagi pula, kamu menganggap pemberian Tuhan berupa kehidupan, sudah membuatmu bosan.” “Hiks ... hiks!” Tangis Airyn pecah. Kata-kata wanita itu, tentu saja sukses menamparnya dari keegoisan diri. Selama beberapa hari ini, dia selalu berpikir untuk mati. Tanpa peduli jika dia masih memiliki keluarga yang pasti akan tersakiti oleh kepergiannya dengan cara tragis. Ya Tuhan ... manusia macam apa aku ini? "Menangislah. Menangislah sepuasmu jika dengan menangis, rasa sakitmu sedikit berkurang, Nona,” ucap wanita itu sambil membawa Airyn dalam pelukannya. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika dirinya akan mempunyai majikan cantik yang terpuruk oleh rasa trauma. Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah besar itu, seorang security sudah memberitahunya jika istri sang majikan sedang menderita gangguan jiwa. Entah firasat apa? Dirinya merasa ada kejanggalan begitu masuk ke dalam kamar gelap itu. Dan nalurinya benar. Jika istri sang majikan tidak gila. Tapi berpura-pura gila. “Hiks ... hiks. Aku ingin mati, Bik. Aku ingin mati saja.” Isak Airyn tak tertahankan. Keberadaan wanita tua yang sedang memeluknya itu, membuatnya merasa dekat dengan sang ibu. Benar. Sudah dari dulu dia ingin memeluk seseorang untuk menjadi tempatnya berkeluh kesah. Dan hari ini, Tuhan mengabulkan keinginannya. “Aku tidak berguna. Aku kotor, Bik. Keberadaanku, hanya akan membebani Arvyn. Hiks ... hiks. Arvyn seharusnya bahagia. Tidak seharusnya, dia masih menampung benalu merugikan sepertiku. Aku berpura-pura gila, hanya demi membuat Arvyn meninggalkanku. Tapi, semuanya sia-sia. Rencanaku sama sekali tak berhasil. Arvyn tak percaya, dan dia masih membuatku tertahan di sini. “Seharusnya aku mati saja. Seharusnya, hari itu Arvyn membiarkanku tiada. Hiks ... hiks ....” Air mata Airyn kembali menderas. Kokohnya pertahanan Arvyn, membuat rasa bersalahnya semakin menumpuk. Dia tak berhak untuk mendapat perhatian dari Arvyn. Arvyn berhak bahagia, walau pun dengan wanita lainnya. “Apa, Nona hanya tinggal sebatang kara di dunia ini?” tanya wanita yang ternyata bernama Lani itu. Mengusap dengan lembut rambut Airyn yang mulai kusut. Airyn menggeleng dengan lemah. Dia tidak sebatang kara. Dia punya banyak sekali sanak keluarga yang mencintainya. Bik Lani tersenyum lembut sambil melepaskan pelukannya. Tangannya mengusap wajah Airyn yang penuh oleh derai air mata. “Tentu saja, orang yang menyayangi Nona sangat banyak. Jika, Nona memilih menyerah sekarang. Apa Nona tega melihat mereka semua bersedih? Terluka karena kehilangan, Nona? Tidak ‘kan?” Airyn membisu. Perkataan wanita itu, benar lagi. Dia tidak akan pernah tega membuat orang-orang yang menyayanginya menangis. Terutama ayah dan ibunya. “Mau tau apa yang harus Nona lakukan sekarang?” Airyn mengangguk lagi. Sungguh, dia sangat ingin tau apa yang harus dia lakukan untuk hidupnya yang berantakan. “Jadilah pribadi yang baru. Lupakan masa lalu. Berbenahlah. Anggaplah hari kemarin adalah mimpi buruk yang sirna seiring Nona terjaga. Lalu, berjuanglah untuk rumah tangga Nona, dan buatlah kisah hidup yang bahagia. Atau setidaknya, buat tuan Arvyn tak merasa gagal.” *** “Bibi, aku lemas.” Bik Lani terbahak. Beruntung dia cepat datang. Percobaan pertamanya, untuk membuat Airyn tak malu lagi berada di depan Arvyn, sedikitnya berhasil. Airyn berani melewati tantangan itu selama beberapa menit lamanya, walaupun masih tak berani untuk bersuara. “Jangan menertawakanku,” sungut Airyn dengan wajah memerah. Tangannya bergerak, dan menggapai gelas jus yang dibuatkan bik Lani tadi kemudian meminum isinya hingga tinggal separuh. “Tidak masalah, Nona. Semuanya memang butuh proses. Saya yakin, Nona akan bisa melewati ini semua.” “Lalu, bagaimana jika Arvyn sudah menyerah, Bik? Dia sama sekali tak bicara, tadi,” ucap Airyn sembari menunduk. Kalau pun Arvyn sudah menyerah, maka dengan senang hati, dia pun akan pergi. Membawa pergi luka hatinya sendiri. Bik Lani mengusap lengan kurus Airyn dengan lembut. Dengan sikap tenangnya, dia pun berkata, “Tuan Arvyn terlalu terkejut atas perubahan Anda, Nona. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.” Airyn mengangguk. Yang dikatakan bik Lani benar. Sepertinya, Arvyn sangat terkejut atas perubahannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD