Bagian 9 - Airyn Gila?

1078 Words
Della dan Arvyn saling duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka sudah meninggalkan Airyn sendiri, setelah memastikan Airyn benar-benar terlelap. “Apa yang terjadi padanya?” tanya Della membuka suara, saat keheningan tercipta di antara mereka. Arvyn menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rasa lelah dan terluka, melihat kondisi Airyn yang ketakutan, membuatnya semakin merasa bersalah. “Arvyn, jawab aku!” Della menaikkan nada bicaranya, karena tak juga mendapatkan jawaban. Dia tak bisa diam saja, saat melihat kondisi Airyn yang memprihatinkan, “istrimu mengalami trauma berat. Dia bisa gila Arvyn!” “Apa?! Gila?!” ujar Arvyn sedikit terperanjat, “jangan bicara sembarangan kamu!” lanjutnya dengan sedikit nada mengancam. Bagaimana mungkin, Airyn gila? Tidak. Dia tak percaya. Della mengambil napas panjang. Arvyn yang keras kepala, memang sangat susah untuk percaya akan sesuatu hal yang belum menjadi kenyataan. “Kamu tidak lihat bagaimana reaksinya tadi?” ucap Della dengan prihatin, “dia ketakutan, bingung, merasa hancur dan juga terluka. Istrimu, bukan lagi sosok yang kamu kenal kemarin, Arvyn. Rasa trauma yang di alaminya sangat besar, sehingga memengaruhi mentalnya.” Arvyn mendongak. Matanya mulai memancarkan rasa prihatin. Yang dikatakan Della benar. Dia pun merasakan jika Airyn berbeda. “Sebuah tragedi, sudah merampas kebahagiaan kami, Della.” “Tolong beritahu aku. Agar aku bisa membantunya. Please,” mohon Della dengan sangat. Jiwa kemanusiaan dalam hatinya terketuk untuk membantu istri pria yang dia cintai itu. “Aku tidak tau pasti kejadiannya. Tapi yang jelas. Seseorang sudah melecehkan kehormatannya.” “Apa?!” Della memekik kaget mendengar jawaban Arvyn. “lalu, di mana kamu saat dia ketakutan? Suami macam apa. kamu sampai tidak ada di saat istrimu membutuhkanmu, Arvyn? b******n!” Della mengumpat kasar. Sungguh, dia tidak menyangka, jika Arvyn se b******n ini. Arvyn menghembuskan napasnya kasar. “Aku di pukuli hingga pingsan, Della. Seseorang sudah merencanakan semua ini. Dan aku tidak bisa melacaknya, karena b******n itu sama sekali tak meninggalkan jejak.” “Ya Tuhan ... bagaimana semua ini bisa terjadi?” Della menghela napasnya—pasrah. Semua tragedi ini, pasti membuat rumah tangga Arvyn tak akan harmonis. Ruangan itu kembali hening. Della dan Arvyn berkutat dengan pikiran mereka masing-masing. “Arvyn, aku akan membantunya keluar dari rasa trauma. Tapi, kau juga harus ikut membantuku.” “Tentu saja, Dell. Dia istriku!” Della memutar bola matanya asal. Arvyn tetap saja dengan sikap Bossy nya yang menyebalkan. “Jauhi Airyn!” “Apa?! Kau gila?!” maki Arvyn penuh penekanan. Dia tak habis pikir. Bagaimana Della bisa menyuruhnya untuk menjauhi Airyn di saat sepeti ini? Sepertinya, Della yang mengalami gangguan kejiwaan, bukan istrinya. Della mengusap dadanya pelan. Menghadapi seorang Arvyn, butuh 1000 persen ekstra kesabaran. “Dasar bodoh! Aku punya alasan kuat kenapa aku memintamu untuk menjauhinya, Arvyn. Dia trauma. Trauma saat berdekatan dengan seorang laki-laki. Ingatannya tentang malam itu, pasti sangat membekas dan membuatnya ketakutan. Airyn merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia mengalami darurat kepercayaan diri. Dia merasa tidak pantas menjadi istrimu lagi. Kau mengerti?” Bukannya menjawab, Arvyn malah diam dengan wajah datarnya. “Aku tau motif di balik percobaan bunuh diri yang di lakukan Airyn. Dia malu, merasa kotor, hina dan merasa tak pantas menjadi istrimu. Airyn merasa ... keberadaannya di sisimu, hanya akan menjadi beban untukmu. Jadi, dia ingin pergi, agar kamu bisa bahagia dan melanjutkan hidupmu yang baru.” Della menjeda kalimatnya. Menjadi dokter ahli kejiwaan selama 2 tahun lamanya, membuatnya bisa membaca maksud dari perilaku menyimpang seseorang dari latar belakang rasa trauma yang mereka alami. “Bagaimana? Kamu mau membantuku 'kan?” tanya Della memastikan. Arvyn mengusap wajahnya kasar. Dengan penuh penyesalan, dia pun berkata, “Apa pun, akan aku lakukan agar Airyn sembuh dan menjadi Airyn ku yang dulu.” Della mengangguk. Jawaban Arvyn tentu saja, membuat Della mengingat kembali batasannya. Arvyn sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan berhenti lah mengharapkannya, Della. Batinnya bergemuruh hebat. “Oiya, apa kalian hanya tinggal berdua di sini?” tanya Della, yang baru menyadari jika di rumah itu benar-benar sepi. Arvyn mengangguk. Dia enggan untuk berbicara banyak. Kejadian hari ini, ingin membuatnya melepaskan diri sejenak. “Bolehkah jika aku tinggal untuk merawat istrimu?” suara Della terdengar lagi. Wanita itu meremas tangannya kuat. Berharap, Arvyn akan merespons baik. Arvyn menegakkan tubuhnya. Membuka matanya yang merah dan sembab. Dengan penuh keputusasaan dia pun berkata, “Bolehkah aku memelukmu? Sungguh, aku membutuhkan sahabatku.” Della tersenyum lebar, kemudian segera menghambur ke pelukan Arvyn. Sudah sangat lama, tubuh tegap itu tidak dia rasakan kehangatannya. “Berjuanglah Arvyn ...,” lirih Della. Teruslah berjuang, karena saat kau lelah nanti, aku yang akan memelukmu seperti ini. lanjut Della dalam hati tanpa bisa dia suarakan. **** Malam harinya. Arvyn mendekati pintu kamar Airyn yang tak pernah terbuka. Di tangannya ada nampan yang berisi nasi goreng dan segelas air putih. Airyn belum makan, dan dia tidak mau kondisi Airyn semakin memburuk jika terus menerus seperti ini. Tangannya terulur menyentuh gagang pintu, menekan tuasnya kemudian mendorongnya pelan. Di ranjang itu, dia mendapati Airyn tidur menyamping dengan posisi meringkuk berbantalkan lengannya yang kurus. Ingin dia melangkah mendekat, kemudian mendekap erat tubuh rapuh itu. Tapi, apa daya? Peringatan Della untuk tak mendekati Airyn, membuatnya mengurungkan niatnya. Dia memilih meletakkan nampan itu, kemudian berbalik arah dan pergi dari sana. Dari pada, Airyn terbangun dan histeris lagi saat melihatnya. Jadi, untuk beberapa hari ke depan, biarlah jarak memisahkan dirinya dan Airyn. Yang terpenting, Airyn membaik dan kembali seperti dulu lagi. Airyn yang sejak tadi terbangun, dan merasakan keberadaan Arvyn di dekatnya, memilih menutup mulutnya dengan rapat agar isakannya tak keluar. Dia tau, Arvyn berada di kamarnya, tepatnya berada di belakangnya dan sedang memandanginya. Tak ada suara apa pun. Sepertinya, Arvyn benci untuk sekedar mengatakan sesuatu di sana. Airyn mendengar langkah kaki Arvyn keluar dari kamar, seiring suara pintu yang tertutup. Dia pun memutar tubuhnya, dan mendapati nampan berisi makanan di atas nakas, membuat tangisnya semakin menderas. Kenapa Arvyn masih berpura-pura peduli? Tidak! Dia tidak mau seperti ini? Seharusnya, Arvyn mengatakan semuanya dengan jujur. Tidak perlu melakukan sandiwara palsu, yang akan membuatnya semakin merasa bersalah. Airyn bangkit dari ranjang. Dia mendekati nampan itu. Nampan berisi makanan yang Arvyn bawa karena mengasihaninya. Tanpa makanan itu, seharusnya Arvyn sudah tau, jika untuk mati pun dia tidak akan menyiksa diri dengan kelaparan. Mengambil nyawanya sendiri, itu perkara mudah. Tapi, dia tidak akan meninggalkan Arvyn dengan beban malu karena berita, istri seorang pengusaha kaya bunuh diri sehari setelah pernikahannya di rumahnya sendiri. Maaf, itu bukan cara yang etis lagi. Yang akan dia lakukan sekarang adalah, membuat Arvyn membencinya, kemudian menceraikannya. Maka, dia bisa pergi tanpa sedikit pun rasa bersalah. “Della, benar. Tidak ada pria yang akan bertahan saat memiliki seorang istri yang gila” Prrrraaannggggg!! Airyn melempar nampan itu hingga berserakan di lantai. Berharap sebentar lagi Arvyn akan datang, dan segera memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Ya ... itu lebih baik untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD