Bagian 8 - Takut

1022 Words
Arvyn mengangkat tubuh Airyn yang sudah tenggelam sepenuhnya di dalam genangan darah yang Arvyn belum tau berasal dari mana. “Airyn, bangun Airyn ... “ desak Arvyn dengan suara bergetar sambil menepuk pelan pipi Airyn yang lebam membiru. “Airyn, kenapa kau melakukan semua kebodohan ini? Pikiran macam apa, yang meracuni otakmu? Ayolah, Airyn. Buka matamu!” Jantung Arvyn berpacu dengan cepat. Istrinya sudah tidak bernafas. Entah sudah berapa lama, Airyn melakukan percobaan bunuh diri itu. Bahkan, wajah Airyn sudah pucat dan terasa—dingin. Tangan Arvyn bergerak mengecek pergelangan tangan Airyn yang masih mengeluarkan darah segar. Rupanya, genangan darah tadi, berasal dari goresan di pergelangan tangan Airyna. Tapi yang jelas, dia masih menemukan setitik harapan, kala mendapati denyut nadi di pergelangan tangan Airyn masih berfungsi. Arvyn membawa Airyn dan meletakkannya di ranjang. Dia pun, menekan d**a Airyn beberapa kali sebagai bentuk pertolongan pertama untuk orang yang tenggelam. Nihil. Airyn sama sekali tak menunjukkan reaksi adapun. Sepertinya, Airyn memang tak mau berusaha membantunya, untuk bangun. Arvyn bangkit dan dengan cepat, menelepon seseorang. Sungguh, dia merasa bingung sekaligus takut sekarang. Bagaimana bisa, Airyn ingin meninggalkannya secepat itu dan dengan cara seperti itu pula? Arvyn memakaikan Airyn baju hangat. Kemudian, membawanya ke lantai bawah dan meninggalkan kamar sialan itu. Mulai hari ini, dia akan mengunci kamar itu—selamanya. Arvyn membawa Airyn ke kamar yang berada di lantai bawah. Sebentar lagi, orang kepercayaannya akan datang. Untuk saat ini, Arvyn tak bisa berbuat banyak. Dia tak ingin, tragedi yang sudah terjadi, di dengar oleh Orang-orang di luar sana, dan mereka akan menilai buruk istrinya. Bagaimanapun, tak ada seorang pun wanita di dunia ini, yang ingin berada di posisi Airyna. Tak lama kemudian, seorang wanita se usia Airyn datang dengan tergesa-gesa. Pakaian kedokteran, masih melekat dengan pas di tubuhnya yang indah. “Arvyn, ada apa ini?” Bukannya menjawab, Arvyn malah menatap Airyn dengan khawatir dan berkata, “Tolong istriku, Della.” Dokter bernama Della itu pun melakukan tugasnya. Dia melakukan beberapa teknik pertolongan sambil sesekali melihat Arvyn dengan tanda tanya besar. Bagaimana Della tidak bingung? Sahabatnya itu baru menikah kemarin, dan hari ini, dia mendapati istri sahabatnya itu mengenaskan seperti ini. “Uhuk! Uhuk!” Airyn terbatuk beberapa kali dan mulai membuka matanya yang memerah. Begitu pandangannya terbuka, dia mendapati Arvyn yang menatapnya dengan tajam. Tidak. Bukan seperti ini yang Airyn inginkan. Airyn tak ingin melihat Arvyn lagi. Yang dia mau, saat membuka mata, dia hanya mendapati tanah yang berada di sekelilingnya. Grep! Airyn membeku dengan tubuhnya yang terasa ringan. Dia mungkin, sudah tak memiliki otak, rasa atau pun kehormatan. Tapi, setidaknya dia tau diri, jika hak untuk memiliki Arvyn lagi sebagai suaminya sudah tidak ada. "Apa yang ada di pikiranmu huh?! Kau ingin mati dan meninggalkan aku sendiri? Begitu?” Kata-kata Arvyn, tentu saja membuat hati Airyn semakin terluka. Tentu saja, Airyn ingin mati agar Arvyn bisa bahagia. Kenapa Arvyn masih menanyakannya? Arvyn menarik napasnya dalam. Tak peduli di sana ada Della yang akan mendengar semua rahasia ini. Karena, dia pun butuh Della, untuk membuat Airyn bisa melupakan semua tragedi itu. “Tolong, jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku Airyn.” Airyn menunduk dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia harus bisa mengambil sikap dan menyuarakan keinginan terbesarnya. “Biarkan aku pergi,” Lirihan kecil Airyn, bersamaan dengan gelengan kepala Arvyn yang kuat. “Tidak akan pernah!” “Aku ingin mati.” “Tidak akan aku biarkan!” Airyn berontak kuat dalam pelukan Arvyn. Dia tak seharusnya, membiarkan Arvyn bersentuhan dengan tubuhnya yang kotor. “Biarkan aku mati! Biarkan aku mati Arvyn! Aku ingin mati saja, aku ingin mati! Aku tidak pantas hidup. Aku tidak pantas menjadi istrimu lagi. Hiks ... hiks.... “ Tangis Airyn pecah. Airyn memegang kepalanya dan menjambak rambutnya kuat, kala ingatan itu kembali berputar-putar dalam kepalanya. “Aku ingin mati! Aku ingin mati!” Arvyn menyentak tubuh Airyn sedikit keras. Sakit? Tentu saja, Arvyn merasa hancur. Bagaimana mungkin, dia akan meninggalkan wanita yang sangat dia cintai dalam kondisi seperti ini? Arvyn berusaha mengalihkan fokus Airyn yang tak tentu arah. Arvyn mulai kehilangan jati diri Airyn lagi, lewat fokus mata Airyn yang ketakutan. Arvyn akan berusaha membawa Airyn kembali ke akal sehatnya. Bagaimana pun caranya. “Baik. Jika itu maumu aku akan mengabulkannya, Airyna. Dan kau adalah orang pertama yang akan melihat mayatku, karena kita akan mati bersama-sama. Bagaimana, kau puas sekarang?” Airyn menggeleng kuat dengan ekspresi kebingungan. "Tidak! Pergi sana! Aku kotor, Aku kotor ... Aku—menjijikkan! Aku mau mati. Aku mau mati!” setelah teriakan kesakitan itu, tiba-tiba Airyn tertawa lepas membuat Arvyn tentu saja tersentak. Melihat kondisi Airyn yang tiba-tiba seperti ini, tentu saja membuat Arvyn merasa—ketakutan. “Airyn, sadar Airyn. Tolong, jangan seperti ini,” mohon Arvyn sambil mencoba menyentuh Airyn, walaupun Airyn selalu menepisnya. Della mengambil sikap. Dia memang belum mengetahui, peristiwa apa yang sudah terjadi, sampai-sampai membuat istri Arvyn seperti ini. Tapi, keberadaan Arvyn di sana, justru akan semakin memperburuk kondisi Airyn, yang sepertinya akan mengalami gangguan mental. “Menyingkir, Arvyn!” tegas Della sambil menarik lengan Arvyn kuat-kuat. Arvyn pun beranjak walaupun sebenarnya dia enggan. Memberikan Della tempatnya tadi, untuk memeriksa kondisi Airyn. Della berusaha mengambil tangan Airyn yang terluka, walaupun sempat mendapat penolakan keras. Tangan Della bergerak lembut, mengusap tangan wanita yang beruntung mendapatkan Arvyn. Sahabatnya sekaligus pria yang dia cintai itu. Melihat kondisi Airyn yang seperti ini, bolehkah dia senang? Della menepis pikiran kotornya jauh-jauh. Demi apa, dia berpikiran seburuk itu sekarang? “Kenapa kau melukai tanganmu? Lihat, tanganmu berdarah dan darahnya terbuang percuma. Kau tidak tau, jika di luaran sana, banyak orang-orang yang membutuhkan donor darah untuk melanjutkan hidup mereka?” Suara lembut Della, nyatanya tetap membuat Airyn tak merespons lebih. Airyn tetap diam, sambil menelungkupkan wajahnya di sudut lengannya yang terlipat di atas lututnya. “Kapan-kapan, jika kamu mau melakukan donor darah, tinggal bilang sama aku,” ucap Della sambil membubuhi luka di tangan Airyn dengan obat kemudian melilitkan perban. Airyn tetap tak merespons. Della pun melirik Arvyn yang membatu di sampingnya dengan pandangan yang tak pernah lepas dari istrinya. “Aku akan memberinya obat penenang,” lirih Della dan Arvyn hanya meliriknya kilas. Airyn menggigiti bibir dalamnya. Membiarkan wanita bernama Della yang saat ini berada di dekatnya, menancapkan jarum suntik di lengannya dengan sedikit kuat. Tapi, tak apa. Obat penenang yang Della maksud, akan membuatnya tidur, dan dengan begitu, dia bisa memiliki ruang untuk menghindar dari Arvyn. Airyn tak se bodoh itu. Jika dia tak bisa meminta Arvyn untuk melepaskannya. Maka, dia yang akan membuat Arvyn memintanya untuk pergi dari kehidupannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD