Chapter 14 | Hari Pertemuan Keluarga
POV Ethan Kal Vardhan
Akhir pekan ini Zeina terlambat bangun, mungkin karena semalam dirinya sempat mabuk. Dia keluar dan duduk di meja makan, menerima jus yang biasa di minumnya yang telah disiapkan penjaga rumah.
“Minum ini juga” Zeina mengangguk saat menjaga rumah memberikannya air madu. “Anda tidak pergi berolahraga?” tanya menjaga rumah padaku, membuat Zeina juga melirikku yang tengah duduk di ruang tengah sambil membaca buku.
“Aku sudah melakukannya lebih pagi tadi” Jawabku yang membuat si penjaga rumah mengganggu kecil, mengurungkan niatnya untuk menyiapkan minuman protein untukku. Si penjaga rumah mendekati Zeina sambil memperhatikan saat Zeina memasukan beberapa potong roti ke mulutnya.
“Jadi seperti apa rencana malam ini nona?” Penjaga rumah itu duduk di samping Zeina seolah mereka sudah biasa mengobrol dengan santai. “Karena ayahku sedang terobsesi dengan ular tangga dia pasti akan membawanya lagi dan merusak suasana. Kakak iparku ingin membuat pentas jadi tidak ada yang bisa menentangnya malam ini” Penjaga ruma itu tersenyum, jika tidak salah ingat namanya adalah Rani, wanita berusia awal empat puluhan itu terus menatap wajah Zeina seolah dia suka memperhatikannya.
“Siapa yang akan menampilkan pertunjukan?” Tanya Rani bersemangat. “Semuanya” Rani tertawa kecil. “Pasti menyenangkan” komentarnya dengan semangat. “Sejak menggunakan cara nona, saya benar-benar lebih akrab dengan semua anggota keluarga saya. Saya bahkan bisa berbicara dengan santai dengan anak tiri saya sekarang” Rani tersenyum dengan bersemangat dan Zeina menanggapinya dengan balas tersenyum dan mengangguk kecil.
“Bawa saja papan permainan yang dibutuhkan jika acara bulanan sudah dekat, semuanya ada di studioku” Rani mengangguk bersemangat dan kembali menjalankan tugasnya.
Zeina kembali ke kamarnya setelah dia selesai dengan sarapannya. Dengan mengenakan gaun sederhana berwarna merah muda, Zeina keluar dari kamarnya sambil meraih kunci mobilnya.
“Bukankah supirmu tidak masuk hari ini?” tanyaku menghentikan langkahnya. “Aku mengemudi sendiri” jawabnya sambil melanjutkan kegiatannya memakai sepatu kets putih dan tas putih. Aku bangkit dan meraih kunci mobil di tangannya.
“Aku juga mau pergi ke supermarket” Jawabku sambil berjalan lebih dulu darinya. Zeina menyusul dan berjalan selangkah dibelakangku. “Tidak akan ada wartawan, kau tidak akan dikritik karena membiarkanku menyetir jadi tidak perlu memaksakan diri seperti itu” Zeina berpendapat saat berada di dalam lift.
“Kau selalu diikuti paparazi. Saat di rumah sakit pun ada yang mengikutimu” jawabku tanpa menghiraukan penolakannya. Aku masuk ke dalam mobilnya dan dia duduk di belakang dengan wajah tanpa dosa.
“Kau pikir aku supirmu?” Zeina menatapku melalui pantulan kaca sebelum mendesah kecil dan pindah ke kursi depan. Tidak ada percakapan di antara kami sampai datang ke supermarket.
“Nona Jia” sapa beberapa penjaga toko. Zeina mengangguk kecil untuk balas menyapa. Aku mengikutinya saat berkeliling supermarket dan dengan telaten ia memilih bahan. “Sepertinya hari ini hari pertemuan” seorang wanita paruh baya yang menjaga stand daging memasukan beberapa potong daging yang tampaknya biasa Zeina beli. “Apa ini, Jia kehilangan banyak berat badan?” wanita paruh baya itu memberi komentar. Zeina tersenyum kecil sambil menyentuh pipinya sendiri. “Benarkah” tanyanya yang di angguki wanita paruh baya itu. “Makan, kau harus makan yang banyak. Mengerti?” Zeina mengangguk dan melambai kecil sebelum melanjutkan langkahnya. Aku yang sedari tadi mengikuti dari kejauhan kini mulai menyusul dan berjalan di sampingnya. Mengambil alih troli yang tampaknya sudah cukup berat itu dari tangannya.
“Tampaknya kau cukup akrab dengan banyak orang” komentarku. “Aku hanya tidak akrab dengan orang sepertimu” jawabnya tanpa menghiraukan diriku. Zeina melanjutkan kegiatannya memilih bahan, memasukan ke dalam troli yang kubawa sebelum akhirnya berjalan menuju kasir.
Pemuda yang menjadi kasir itu terus mencuri pandang pada Zeina dan sengaja memperlambat laju kerjanya. “Anda terlihat lebih sehat” Zeina mengangkat kepalanya dan mengangguk kecil. Setelah selesai membayar, pemuda itu memberikan sebotol jus apel segar untuk Zeina dengan sebuah note yang bertuliskan bahwa Zeina harus tetap sehat.
Zeina mengambil jus itu dan mengucapkan terima kasih sebelum pergi.
Pria itu bahkan seolah tidak menyadari keberadaanku dan hanya terus menatap Zeina tanpa henti. Setelah masuk ke dalam mobil, Zeina terlihat meminum jus itu tanpa rasa curiga.
“Kau rupanya bisa dengan mudah menerima pemberian orang asing” Zeina menoleh dan menatap ku selama beberapa saat. “Aku sering melihatnya” Aku balas menatap. “Sering melihat bukan berarti kau mengenalnya. Kau menyadari bahwa dia menyukaimu kan?” Zeina tanpa ragu mengangguk.
“Di dunia ini, hanya kau yang tidak menyukaiku” jawabnya sambil mengalihkan pandangannya. “Kita harus mampir ke toko kue” seolah memberi perintah, aku hanya menjalankan mesin mobil dan mulai melaju.
Setelah membeli kue dan bahan masakan, gadis itu kemudian menatapku selama beberapa saat. “Dimana kau akan turun?” tanyanya padaku. “Kau mau menurunkanku di tengah jalan?” tanpa ragu Zeina mengangguk. “Aku harus pergi, terlalu merepotkan jika mengantarmu terlebih dahulu. Kau naik taxi saja” Zeina menunjuk sebuah pemberhentian taxi yang dilihatnya. Aku tidak menghentikan mobil dan melaju melewati pemberhentian taxi itu.
“Aku juga masih bagian keluarga, aku bisa ikut pertemuan itu dengan atau tanpa undangan” Zeina memandangku selama beberapa saat dan menghela nafas. “Terserah” jawabnya sambil mulai memainkan ponselnya.
Aku mengikuti maps yang sudah terpasang dan mendapati sebuah villa besar di pinggir kota yang menjadi tujuan. Taman dari villa itu terawat, bangunanya juga sangat mencerminkan kepribadian dari nenekku.
Jelas siapa pemilik villa ini.
“Bibi Jia” panggil suara bocah lelaki yang berlari menuju Zeina. “Siapa dia?” Zeina membalas pelukan bocah lelaki itu dan mengelus lembut kepalanya. “Ponakanmu” jawaban Zeina sambil berjalan bergandengan dengan bocah lelaki itu memasuki rumah. Meninggalkanku sendirian bersama semua barang belanjaannya.
“Bukankah dia masih balita?” gumamku pelan.
“Dia sudah mau berusia, sembilan tahun” seorang wanita yang kukenali bertolak pinggang dengan keranjang bunga di tangannya. “Lihat b******n ini, masih hidup rupanya” wanita itu berjalan melewatiku dan menghampiri Zeina sambil memeluk lembut gadis itu.
Kakak pertamaku rupanya akrab dengan Zeina juga.
Rasanya justru malah diriku yang merasa begitu asing di dalam keluargaku sendiri.
“Kenapa membawa manusia kaku itu ke sini?” tanya kakak perempuanku seolah tengah mengintrogasi Zeina. Aku berjalan menghampiri mereka dengan tangan penuh belanjaan yang Zeina beli.
“Tidak, dia ingin datang sendiri” jawab Zeina. Aku mendesah mendengar bagaimana diriku dibicarakan dan tidak diterima di tempat ini.
“Aku pergi” ujarku yang pada kedua wanita itu. Tidak ada respon dari keduanya seolah mereka memang lebih suka ketidakhadiranku.
Saat aku hendak berbalik, suara mobil yang baru datang menarik perhatianku. Pria yang tidak lain adalah kakak keduaku itu datang dan melambaikan tangan.
“Kakak” panggilnya pada kakak perempuan kami dan menghampiri sambil memeluknya. “Wow, kau makin cantik” ujarnya membuat kakak perempuanku itu tersenyum senang. “Apa ini, adik iparku juga makin cantik” dia juga memeluk Zeina tanpa ragu dan Zeina membalas pelukannya seolah mereka sudah terbiasa.
Sejak kapan Zeina sangat akrab dengan keluargaku?
Tunggu sejak awal ini aneh, sejak kapan mereka saling memperdulikan satu sama lain bahkan membuat pertemuan rutin begini? Kekanakan sekali.
“Oi adik bungsu, kau tidak pergi?” tanya Arfan, kakak laki-lakiku.
“Aku akan pergi” ujarku sambil berbalik.
“Jadi bagaimana adik ipar, kau akan membantuku kan?” suara merengek Arfan terdengar menjijikan. “Tidak” Zeina menolak tanpa berpikir.
“Jiaaa” rengek Arfan lagi sambil memegang tangan Zeina dan berjalan masuk ke dalam villa.
“Sebenarnya berapa laki-laki yang dekat dengannya?” Aku yang baru saja membuka pintu mobil terdiam sejenak. “Kau datang” nenekku yang baru saja datang dari arah taman sambil membawa keranjang bunga seperti kakak perempuanku datang menghampiri.
“Kau melihatnya? Suasana yang selalu kau dambakan saat kau masih kecil” Nenenku berbicara melantur. “Membawa Jia ke keluarga ini, adalah keputusan terbaik dalam hidupku” Nenekku tersenyum puas.
“Jika kau sibuk bekerja maka pergilah, tapi jika kau penasaran dengan apa yang kami lakukan setiap satu bulan sekali maka masuklah. Aku tidak akan memaksa, karena kau selalu mengabaikan undangan kami sejak empat tahun lalu. Meski rasanya seperti kedatangan tamu tidak diundang, namun cobalah. Kau akan menyukai hari pertemuan”. Nenekku tersenyum sambil melihat ke arah villa.
“Ini persis seperti hari-hari yang kau dambakan saat kecil” Nenekku berjalan lebih dulu.
“Meski kau mungkin sudah lama melupakan keinginan lama mu”. Nenekku masuk ke dalam Villa. Namun kakak perempuanku justru datang menghampiri. Mendekat dan berbisik padaku.
“Kau tahu bahwa Arfan menyukai istrimu kan? Lihat sendiri seperti apa hubungan mereka saat kau tidak ada” bisiknya sambil menatap wajahku dan tersenyum mengejek.