Chapter 15 | Kehangatan Keluarga

1046 Words
Chapter 15 | Kehangatan Keluarga POV Ethan Kal Vardhan Suasana Villa begitu hangat, alunan musik lawas terdengar. Aku melihat semua orang yang bergegas menaiki tangga dan menuju sebuah ruangan di lantai dua. Ku ikuti langkah mereka setelah menaruh kantong belanjaan. Mereka masuk ke dalam ruang musik dengan berbagai macam alat musik. Zeina duduk di tempat keyboard piano sedangkan Arfan bertindak sebagai drummer, nenekku sebagai gitaris dan kakak perempuanku sebagai vokalis. Arkana duduk di depan dan tampak bersemangat hendak menonton pertunjukan. Mungkin ini yang Zeina maksud sebagai pertunjukan. Kakak perempuannya dulu memang sangat menyukai musik. Jelas dia yang menginginkan hal ini. Wajah sumringahnya tidak pernah kulihat sejak perceraiannya lima tahun lalu. Memang aku juga sangat jarang bertemu dengannya. Tapi kini dia terlihat bersemangat sambil memegang microphone. “Tiga, dua, satu” Arfan menghitung sebelum menabuh alat musik. Zeina dan nenekku juga mulai memainkan alat musik, menciptakan alunan melodi yang saling selaras dan bertautan satu sama lain. Aku tahu lagu ini, ini adalah lagu dengan judul Beat it. Lagu kesukaan kakak perempuanku. Dia mulai menyanyi dengan suara yang lumayan bagus. Arin, kakak perempuanku itu terlihat sangat bersemangat sambil memegang gitar elektrik dan memainkan musik dengan piawai. Aku juga melihat nenekku yang begitu santai memainkan gitarnya, begitu pula Arfan yang menikmati alunan musik. Sambil sesekali melirik Zeina. Zeina juga terlihat menikmati suasana ini… Sejak kapan keluarganya mahir bersenang-senang begini? Situasi ini terus berlanjut, Arin menyanyikan beberapa lagu seperti Material Girl, Running Up That Hill, Girls Just Want to Have Fun juga beberapa lagu yang bahkan tidak aku ketahui. Saat sudah selesai, mereka bergegas turun ke lantai bawah dan duduk di sofa sambil mengambil nafas, beristirahat. Aku duduk di sisi kanan sofa yang mereka duduki, memperhatikan kedekatan dan keakraban mereka. “Aku akan menyiapkan meja makan, camilan dan memilih filem” Arin beranjak bangun. “Nenek akan memilih wine” nenekku juga bangun dan beranjak pergi. “Bukankah kita harus menyiapkan makan malam?” Arfan menatap Zeina dan Zeina mengangguk sambil beranjak menuju dapur. Arkana yang duduk di sampingku terus menatap ke arahku. “Aku sempat lupa kalau bibi Jia adalah istri paman” ujarnya sambil melihat ke arah Jia yang terlihat tengah memilah bahan makanan dengan Arfan yang tengah mencuci sayur mayur. “Aku akan mengambil bibi Jia dalam beberapa tahun. Sepertinya paman tidak akan keberatan jika aku mengambil bibi Jia. Tapi paman Arfan sepertinya akan menghalangi. Ah aku harus mencari cara” keluh bocah lelaki itu sambil bangkit dan menepuk pundakku. “Untung saja paman tidak terlihat suka pada bibi Jia. Jadi aku tidak begitu pusing” Arkana berlari menuju Zeina dan menawarkan bantuan. Arfan tertawa kecil dan mengangkat tubuh Arkana untuk duduk di samping Zeina yang tengah memotong bahan masakan. Arfan menyiapkan beberapa bumbu dan menyuapi Zeina untuk mencicipi bumbu buatannya. Zeina memberi komentar dan Arfan menambahkan beberapa bumbu lain sebelum menyuapi Zeina untuk kembali mencicipi, Zeina mengangguk dan Arfan langsung membaluri bumbu itu di atas daging yang akan di panggangnya. Arkana yang duduk di atas pantry membantu mengikat surai Zeina yang sempat menghalangi. Suasana ini… Mengapa terasa begitu mengusik? “Seperti inilah awal mula kehancuran biasa terjadi” Arin yang baru datang dengan kotak snack di tangannya duduk di sampingku sambil melihat ke arah dapur. “Siapapun akan mengira mereka sepasang suami istri dengan satu orang anak jika melihat ini” Arin menatap Arkana yang terlihat senang di sisi Zeina. Sambil memperhatikan Arfan yang terus melihat ke arah Zeina sambil tersenyum seraya tanganya tengah memanggang daging. “Siapapun bisa melihat ketertarikan dan hasrat terpendam dari mata itu” Aku melihat Arin, tersenyum. Kakak perempuanku itu menoleh dan menatapku lekat-lekat. “Kau tidak masalah? Jika istrimu di rebut kakakmu sendiri?” Arin menyentuh pundakku. “Masalah utama orang seperti kita adalah, kebodohan. Kita tidak dibesarkan dengan cinta, kita tidak mengerti cara mencintai dan cara menerima cinta. Saat merasakannya, kita mungkin akan mulai terobsesi dan justru melukainya” Arin melirik jemarinya yang masih mengenakan cincin pernikahan padahal sudah lama bercerai. “Orang sepertinya, yang begitu bersinar selalu membuat kita muak. Terkadang kita merasa kesal dan ingin menghancurkan sinar itu. Tapi saat merasakan kehangatannya, kau justru ingin memilikinya seorang diri. Perhatikan bagaimana dia menatap istrimu, itu bukan hanya tatapan ketertarikan semu. Dia ingin memilikinya, jika memiliki kesempatan. Dia tidak akan memperdulikanmu dan akan mengambil milikmu tanpa cela” Arin menyentuh pundakku—menepuknya beberapa kali. “Kira-kira, apa yang akan kau lakukan jika hal itu terjadi? Mempertahankan? Mencegah? Atau justru bersikap acuh dan membiarkannya?” Arin terus menelisik ekpresiku. “Melihatmu tidak terusik, sepertinya kau tidak keberatan. Dia sebatas rekan bisnis bagimu kan? Baguslah. Karena sekali lihat pun aku tahu begitu banyak yang menginginkan rangkulannya. Orang seperti kita, tidak pantas. Kita hanya bisa menerima tanpa mampu memberi” Arin meletakan keranjang snack di atas meja. “Ingat satu hal, jangan sampai terlambat menyadari keinginanmu. Karena saat sudah terlambat, semuanya tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Orang sepertinya, tidak akan terpaku pada kehancuran di masa lalu. Berapa kalipun hidupnya hancur, seseorang yang tumbuh dengan cinta yang murni memiliki kepercayaan diri tinggi untuk mampu membangun kembali. Satu-satunya cara membangun kembali sebuah kehancuran, adalah meninggalkan sang pembawa kehancuran itu sendiri. Saat orang sepertinya berhenti memilihmu dan memilih dirinya sendiri, saat itulah kau tidak akan memiliki kesempatan lagi” Aku memperhatikan Arin yang tersenyum sambil melirik cincin di jarinya. Memilihku? Omong kosong macam apa itu? Kami tidak saling memilih satu sama lain! “Aku melakukan kesalahan, aku tidak bisa memperbaikinya dan menghancurkan sinar mentariku. Aku menyesalinya, penyesalan ini terasa mencekikku” Arin menatap Arkana lekat-lekat. “Tapi dia memberikanku alasan untuk tidak menghancurkan diri dan larut dalam kehancuran seperti diriku biasanya. Orang seperti mereka, tidak pantas untuk kita”. Aku memperhatikan Arin yang berjalan menuju Arkana dan menurunkan anak yang terus mengganggu Jia itu dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya. Aku tidak tahu bahwa kakak perempuanku itu menyayangi mantan suaminya sedalam itu. Padahal mereka menikah karena ancaman nenekku, sama seperti pernikahanku. Zeina terlihat santai dan tidak sesinis seperti saat dirinya bersamaku. Aku kira Zeina masih kehilangan semangat hidupnya setelah tragedi itu. Dalam dokumenter yang kutonton, aku memang melihat bagaimana dirinya berusaha keras untuk membangun kembali hidupnya yang hancur. Sosok yang begitu menghargai kehidupan… Sosok yang begitu bersinar… Tampaknya dia belum kehilangan dirinya sendiri… Aku saja yang tidak mengetahuinya… Hanya aku yang tidak tahu…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD