Hawa dingin menjalar sepanjang tulang punggung. Bahkan untuk menelan ludah, rasanya susah. Rupanya setelah beberapa hari terlena, aku kembali disadarkan. Posisiku masih asing, masih orang baru yang datang mengandalkan secarik kertas usang. Harusnya aku tidak naif, harusnya aku tidak bermimpi, harusnya aku tidak berharap banyak. Dari awal, posisiku memang tidak beruntung.
“Asha?”
Kukerjapkan mata, berusaha tegar dengan mengulas senyum. “Maaf tidak mendengarkan, Oma ...” ucapku pelan, lantas menatap beliau. “Tadi aku ... melamun. Maaf karena terus-terusan melamun.”
“Tidak sama sekali, Sayang. Justru kami yang minta maaf, karena sempat melupakanmu. Pasti tidak nyaman, ya? Nasimu bahkan belum di sentuh.”
Kini tatapanku tertuju pada objek yang sama. Benar saja, saking kerasnya aku berpikir, aku sampai melupakan kami sedang makan. Tapi, jujur saja, di situasi sekarang aku tidak bisa menelan walau hanya sebutir nasi. Terlalu malu, karena tidak sadar diri. Karena tidak sadar posisi.
“Beginilah kondisi kalau Mas Bima pulang, Nak. Dia banyak bicara, mengundang orang lain jadi lawan mengobrolnya. Tidak pandang waktu dan tempat. Tadi aku sampai lupa, harusnya yang didiskusikan masalah kalian, bukan penasaran dengan kegiatannya selama di luar.”
“Sambil makan, Ma? Kukira setelahnya, seperti yang sudah-sudah,” sahut Om Pras. Beliau bahkan meletakkan sendok di piring, menyeka mulut dengan tisu, sembari menatapku dan Oma Ayu bergantian. “Makanya tadi topik bicara seputar kerjaan. Makan teraturkah dia di rumah sana, siapa saja yang bertamu selain oran tua dan temannya. Dia sudah berumur, kami tidak punya hak memantau 24 jam lagi. Jadi, supaya tidak terkesan lepas tangan sepenuhnya, kami menanyakan langsung saja.”
“Pa, aku masih 30 tahun. Apa-apaan sebutan berumur itu? Lagipula, berhenti mengaitkan aku dan gadis ini. Kami baru bertemu. Demi Tuhan, itu bahkan terjadi beberapa saat yang lalu. Jangan kelewatan. Satu atau dua kali pembicaraan ini diangkat, aku masih menyebutnya bercanda. Aku jauh lebih senang kalau ada fakta, gadis ini sepupu jauhku.”
“Namanya Asha, Mas!” tegur Oma Ayu tegas. Tidak ada lagi senyuman, bibir beliau bahkan membentuk garis lurus. “Apa di matamu, Oma orang yang suka bercanda? Oma pelawak, Mas? Sepertinya terlalu lama di luar, membuatmu jadi pembual.”
“Ma, benar kata Mas Pras. Lebih baik kita bicara setelah selesai makan.” Tante Rani menengahi. Karena Mas Bima tepat di sebelahnya, mataku menangkap beliau mengusap lengan Mas Bima. “Kamu juga, Mas. Apa yang kita hadapi ini rezeki. Kalau ribut di depan rezeki, sama saja kamu mengolok-olok pemberian Tuhan.”
Urat-urat di pergelangan tangan Mas Bima menonjol. Dia terlihat memaksakan senyum pada Tante Rani, lalu kembali menatap Oma Ayu. “Maaf membuat Oma tersinggung. Aku tidak menganggap Oma pelawak. Oma hanya Oma di mataku.”
“Dekat dengan orang salah membuatmu berubah, Mas. Oma tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalau nada bicara Oma sampai meninggi, itu artinya Oma sudah lelah. Harusnya nasihat yang lalu, jadikan renungan dan introspeksi. Bukan makin menjadi-jadi.”
“Ma, udah,” pinta Om Pras.
Oma Ayu menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Belau menoleh padaku, lantas menggenggam tanganku yang mematung di atas meja. “Maaf suasananya kurang nyaman, Sayang. Sekarang boleh, kok, lanjut makan.”
Aku mengangguk sekali. Begitu genggaman terlepas, aku langsung mengambil sendok dan garpu. Mungkin saja nasi di piring sudah dingin, sebab terlalu lama dianggurkan. Lagipula siapa yang bisa menelan, kalau ruang makan yang ditempati, sangat mencekam. Seandainya berhasil menyuap, mengunyah, bahkan menelanpun, itu pasti kulakukan berlandaskan menghormati.
Saat aku mendongakkan kepala, tatapanku langsung bertemu dengannya. Diam-diam hatiku menghitung lagi. Demi Tuhan bukan kemauanku. Seperti sebelumnya, ini sama, refleks begitu saja.
Dari iris mata sekelam malam, dia mengancamku. Rahang-rahang yang mengetat, menunjukkan betapa dia tidak suka dengan kehadiranku.
Hei, kalian, aku ingin memberitahu. Kita disukai semudah kita dibenci. Kita diterima semudah kita ditolak. Seperti keadaanku sekarang. Malu rasanya sempat berpikir lebih, sempat berharap, bahkan punya permohonan yang lebih. Lain kali, tolong buat diriku sadar dan ingat. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.
***
Pembicaraan di ruang keluarga sepenuhnya diambil alih Oma Ayu dan Mas Bima. Bahkan Om Pras sebagai papanya, Tante Rani sebagai mamanya, tidak berkutik sama sekali. Sementara aku ... diam bak patung di samping Oma Ayu. Bukan karena pasrah. Aku punya suara dan hak penuh atas diriku sendiri, tapi nanti dikeluarkan. Ada waktunya untukku.
“Mas, apa selama ini kurang puas mainnya? 30 tahun usiamu, Oma nggak pernah melarang berpasangan dengan perempuan ini, berpasangan dengan perempuan itu. Menentukan kriteria ini, menentukan kriteria itu. Nggak sama sekali. Tanyakan pada orang tuamu. Kalaupun ada, itu berupa nasihat karena kamu sendiri melewati batas, Mas. Sejak mengenal Alin, kami kehilangan sebagian dirimu. Kamu yang sekarang, bukan yang Oma kenal dulu.”
“Alin baik, Oma. Coba beri dia sedikit kesempatan, aku yakin dia bisa mengambil hati kalian. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku mempertahankannya mati-matian. Hampir satu tahun, Oma. Satu tahun kami menjalin hubungan, lalu mudahnya Oma meminta menikahi perempuan lain, yang bahkan baru kulihat pertama kali? Itu tidak logis!”
“Oma kecewa,” lirih Oma Ayu. Beliau menggelengkan kepala, dengan mata berkaca-kaca. “Bahkan sekarang kamu meragukan keluargamu sendiri, Mas. Coba pikir, apa Oma bisa menuduh tanpa bukti? Tanpa fakta? Nggak sepicik itu, Nak.”
“Kalau yang Oma bilang tas, sepatu, pakaian, dan uang, itu aku yang belikan. Atas kemauanku sendiri.”
“Rani, seringkah Bima membelikanmu sesuatu? Puluhan juta, setiap bulan, bahkan setiap minggu?” Semua kompak bungkam, termasuk Tante Rani sendiri. Aku yakin dia bukan tidak berani menjawab, tapi hanya mau menghindari perdebatan panjang. “Lihat sendiri, Mas? Dia bahkan orang tuamu, tapi tidak sering dapat barang seperti pacarmu. Perempuan baik tidak akan membuatmu lupa orang tua, justru dia yang mensupportmu untuk lebih memprioritaskan dan membahagiakan orang tua.”
Aku tahu Mas Bima tertampar. Dilihat dari raut wajahnya yang pias, dari tubuhnya yang membatu. Antara keluarga dan kekasih, pasti pilihan yang sulit. Terlebih dia cinta, bukan hanya sebatas suka saja. Lagipula tidak mungkin memberi barang mahal secara cuma-cuma, tanpa ada rasa di dalamnya. Mustahil sekali.
“Sudah, Oma nggak mau bahas yang lalu, Mas. Terlalu banyak, sampai nggak bisa didikte lagi. Sekarang dengar, mau Oma cuma satu, menikahlah dengan Asha. Ini jadi permohonan terakhir Oma, sekaligus bantu wujudkan keinginan terakhir opamu. Mungkin kamu sudah abai, atau bahkan lupa, tapi janji tetaplah janji, ikatan tetaplah ikatan, keinginan tetaplah keinginan yang harus dipenuhi. Kamu nggak mau ‘kan opamu di sana nggak tenang, Mas?”
Sekarang kupikir saatnya aku bicara. Bodohh rasanya jika pasrah saja. “Apa aku boleh menggunakan hak suaraku sekarang?” tanyaku dengan suara pelan, tapi berhasil menarik atensi yang ada. “Sebagai orang asing, yang bahkan lebih dari turut andil dalam janji yang dibuat, bolehkah aku menyuarakan isi pikiran dan hatiku?”
“Tentu, Nak. Silakan.”
Tatapanku mengedar pada mereka, kecuali Mas Bima. Karena tidak tahan dengan pandangan menghakiminya. Seolah aku penjahat, sementara dia bebas memainkan peran untuk mengadili.
“Aku mencintai kakek, lebih dari apa pun. Sama seperti kalian, karena pada dasarnya keluarga saling mencintai. Terlebih surat terakhirnya, kupikir walau merangkak sekalipun, sepertinya aku usahakan untuk mengabulkan. Hanya saja, aku tidak tahu kalau jadinya begini. Aku tidak tahu akan mengikat kami. Jadi, setelah mendengar pembicaraan, aku bulat memutuskan untuk mundur. Bukan karena menyerah, tapi memang tidak bisa dipaksakan. Biar keinginan kakek jadi urusanku, aku yang mempertanggungjawabkan nanti pada beliau. Aku hanya bilang, terima kasih banyak sudah menerimaku dengan baik.”
“Asha, tidak, Nak!” cegah Oma Ayu. Beliau sampai berdiri, dengan wajah memerah. “Mereka yang pergi pasti sakit hati mendengar ini. Jangan, Sayang. Oma tahu ini salah Mas Bima. Tidak seharusnya dia membuatmu mundur. Masih banyak peluang buat kalian.”
“Maaf, Oma ...” gelengku lemah.
Napas beliau memburu. Oma Ayu terlihat kesulitan, bahkan sampai memegang dadanya. Kalau aku tidak segera bangkit menahan, mungkin Oma Ayu limbung membentur sofa. “Tidak, Asha ...” ucap beliau lemah, “Kita sudah ... sepakat–” Semua orang panik. Mas Bima bahkan melompat, mengambil alih Oma Ayu dariku, lalu berusaha menggendong beliau. “Pa, tolong telepon dokter, Pa! Segera!”
“I-iya, Mas. Bawa oma ke kamar, Papa pastikan Hendrawan secepatnya datang.”
Sejurus kemudian, semua menuju kamar Oma Ayu. Termasuk aku dan Tante Rani. Dia bergerak membuka semua laci nakas, mengambil minyak kayu putih dari sana lalu membawanya ke hidung Oma Ayu. Aku turut membantu, dengan memijat tangan dan kaki beliau.
“Ini yang Mama takutkan, Mas. Kalau kamu keras kepala menolak, oma pasti tidak akan baik-baik saja.”
“Tapi, Ma–”
“Mau melihat oma menyusul opamu? Jangan sampai penyesalan datang terlambat, Mas.”
“Oke, oke!” Mas Bima berdiri, meremas rambut kasar kemudian berkacak pinggang. Tatapannya menghunus padaku, disertai telunjuk teracung tepat di wajahku. “Gadis ini, aku akan menikahinya!”
Setetes air mata, langsung jatuh begitu saja. Dari awal tahu Mas Bima tidak menerima, kepurusanku sudah bulat tidak ingin meneruskan. Namun rupanya, keadaan sekali lagi bercanda. Ini di luar dugaan dan sama sekali tidak kuinginkan.
Dilamar dengan bentakan dan sarat akan kebencian, gadis mana yang tidak sakit hati mendengarnya?
***