6 – Sepertinya ... Akhir dari Penolakan

1596 Words
Pingsannya Oma Ayu dipicu oleh stress dan rasa sakit yang terjadi tiba-tiba. Untuk sementara, beliau disuruh istirahat yang cukup. Dokter Hendrawan juga menyarankan agar ke rumah sakit besoknya, supaya lebih diketahui penyebab pasti dari keluhan yang Oma Ayu alami. Katanya nanti akan dilakukan pemeriksaan dan pemberian terapi kepada Oma Ayu, berdasarkan penyebab yang ditemukan serta kondisi Oma Ayu saat memeriksakan diri. Setelah menyampaikan hasil pemeriksaan, Om Pras langsung mengantar kepulangan Dokter Hendrawan sampai depan. Yang tersisa di kamar masih sama, aku, Tante Rani, Mas Bima. Selesai mengatakan setuju menikah denganku, tidak ada lagi pembicaraan terjadi. Selain karena dipotong kedatangan Dokter Hendrawan, aku memang syok sampai tidak bisa berkata-kata. Sekarang kupikir sudah tenang. Selain rasa nyeri yang berkurang, sepertinya aku cukup oke kalau bicara. Perlahan aku mendongak, berani menatap Mas Bima di sudut ruangan. Dia duduk di sofa, menenggelamkan wajah di telapak tangan. Aku yakin, dia frustasi. Akhir pekan harusnya menemui keluarga untuk melepas rindu, berakhir jadi kelabu. “Mas ...” Dia mendongak cepat, sementara Tante Rani menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Bicaranya melibatkan saya juga, Sha? Kalau tidak, sebaiknya di ruangan lain. Di sini  takutnya di dengar oma kalian. Maaf bukan bermaksud mengusir, tapi beliau memang butuh istirahat.” “Baik, Tante. Terima kasih banyak.” “Sama-sama, Sayang ...” Aku kembali menatap Mas Bima. Dia sudah menghadangku dengan tatapan tajam. Lucunya semakin lama kubalas, semakin liar dia menghunuskan. Jika diibaratkan dia api dan aku tisu, maka aku mudah tersulut lalu berakhir hangus jadi abu. Tapi, harusnya aku tidak jadi pihak tertindas, sebab aku tidak salah. “Mau bicara denganku?” Pertanyaan lugas kukeluarkan, sebab aku ingin terlihat biasa. Ingin memberitahukan kalau aku tidak terpengaruh sama sekali. “Maaf kalau lancang, tapi cepat atau lambat pada akhirnya kita akan bicara juga. Daripada menunggu nanti, kenapa tidak sekarang saja?” Rahangnya mengetat. Kupikir dia akan menjawab, tapi alih-alih demikian, dia justru bangkit. Dengan angkuh berjalan, keluar dari kamar tanpa menutupnya balik. Benakku bahkan memberi sematan, betapa angkuh dan arogannya pria ini. “Tante, aku ke Mas Bima dulu,” pamitku pada Tante Rani. “Iya. Saya cuma pesan, kalau mas emosi atau tidak sengaja bentak kamu, tolong maklumi dia Asha. Dia masih syok soal perjodohan, terlebih soal kondisi mama. Mereka tidak pernah seperti ini, mungkin tadi jadi pukulan sekali buat dia. Di satu sisi, saya memahami dia, Asha. Tapi di sisi lain, saya sangat menghormati mama dan almarhum papa. Lalu kamu, saya senang kamu tidak lemah. Cara bicaramu buat kami tahu, kamu gadis yang pintar.” “Terima kasih banyak, Tante.” Dia tersenyum, kemudian mengangguk. Setelah itu, baru aku keluar kamar. Sebenarnya sedikit kebingungan, sebab aku yang ajak Mas Bima bicara, tapi dia yang duluan pergi. Jadi, aku tidak tahu mesti ke mana. Saat memutuskan naik ke lantai dua berdasarkan feeling, di anak tangga ketiga tiba-tiba tanganku ditarik kuat. Tindakan tidak terduganya itu menyakitiku. Hebatnya, alih-alih berontak untuk lepas, aku justru diam menurut. Bahkan sesaat sempat menatap cengkeramannya di lenganku, sebelum kemudian mendongak, menatap punggungnya dengan raut datar. Kami baru mengenal, tapi aku sudah bisa menilai. Entah aku yang terlalu berekspektasi tinggi, atau dia yang gagal sebagai gambaran sempurna Oma Ayu. Karena kenyataannya, tidak kutemui sama sekali pria yang katanya tumbuh baik sesuai didikan dan harapan keluarganya. Dalam ajaran manapun, tidak pernah dibenarkan kekerasan pada perempuan. Jadi, dari cerita sebelumnya, bagian mana yang sesuai dengan penggambaran Oma Ayu? Ah, mungkin bagian dari penyayang keluarga dan tidak pernah meninggikan suara pada yang lebih tua. Kuakui itu benar. Saat berdebat dengan Oma Ayu tadi, intonasi Mas Bima masih terkendali. Dia menentang, tapi masih tenang. Dia emosi, tapi menekannya. Berbeda jika denganku, masih muda dan tentu saja dia tidak masalah kalau ingin membentak, mengkasari, bahkan menyeret-nyeret. Kami masuk ke sebuah kamar, yang tidak pernah sekalipun kumasukii selama di sini. Sempat melihat sekeliling beberapa saat, membuatku tahu ini kamar siapa. Kamar miliknya sendiri. “Dengar!” bentaknya, setelah menyentak lenganku kasar. “Jangan sok akrab denganku! Jangan memanggilku seolah kau bagian dari keluarga ini! Perlu diingat, kalau kau tidak muncul, oma tidak akan seperti tadi!” Aku menarik napas sebentar, kemudian mengembuskannya perlahan. Jantungku berdetak kencang, menandakan tidak suka dengan kata-kata Mas Bima. Kalimat yang keluar dari mulutnya, seolah menunjukkan aku bawa siall ke keluarga ini. “Kalau akhirnya begini, aku juga tidak mau muncul. Kamu hanya fokus sama dirimu, Mas, coba lihat sekeliling, yang lebih merugikan itu aku. Terikat paksa, jadi penghancur hubungan orang lain. Sudah kubilang, aku tidak mau pernikahan sejak kamu menolak. Tujuanku mengajak bicara cuma ini, menyampaikan ulang kalau aku tidak akan meneruskan perjodohan.” “Kau bercanda, hah?! Setelah membuat oma pingsan, kau mau lari begitu saja?” Tawa sinis terdengar, dia bahkan melangkah lebih dekat, mengintimidasiku. “Jangan munafiik! Akui saja, tujuanmu ke sini untuk ini, kan? Jangan pura-pura mundur, kau menjijikkann sekali!” Kelopak mataku sampai melebar. Merasa syok sekaligus tidak menyangka, bagaimana bisa seorang pria berkata seperti itu?! Image tanpa cela keluarga Wira, runtuh begitu saja dalam pandanganku, hanya karena setitik cela. Kekejaman Mas Bima. “Kamu keterlaluan. Kamu bahkan belum banyak mengenalku, Mas.” “Tidak butuh banyak waktu, di wajahmu sudah tertulis, perempuan tidak tahu malu. Ah, jangan-jangan kau butuh uang, jadi memanfaatkan keluargaku. Harusnya orang tuaku atau oma lebih teliti lagi. Benarkah kau cucu kenalannya atau bukan.” Tangan di sisi tubuh langsung mengepal. Dari sana, aku merasa keringat dingin keluar. Segala jenis emosi bercampur jadi satu. Selama hidup menghirup napas bebas di bumi, baru pertama kalinya aku ingin menampar seseorang. Dengan keras, sampai bisa merasakan puas. “Terserah mau menuduhku apa, karena tuduhanmu tidak benar sama sekali.” “Jangan sok suci! Kau, kuperingatkan sekali lagi, aku menyetujui pernikahan karena oma. Sampai kau menolak lagi, membuat kesehatannya memburuk lagi, jangan harap bisa menghirup napas bebas di sini. Camkan itu!” Selesai menumpahkan kemarahannya, Mas Bima pergi dari hadapanku. Dia bahkan sengaja menabrakkan sebagian bahunya padaku, membuatku terhuyung ke belakang. Sakit memang, tapi tidak setara dengan luka hati akibat kata-katanya. Mataku bahkan berkaca-kaca, tapi aku menolak keras menangis. Tiada guna menangisi orang semacam dia. Kembali kutarik napas, berusaha melegakan sedikit sesak yang mendera dadaa. Kupikir halangan terbesar mundurnya dari perjanjian itu bukan karena ancaman Mas Bima tadi, tapi kondisi kesehatan Oma Ayu. Piciknya, aku memang lemah. Beliau menerimaku, baik dalam memperlakukanku. Sampai membuat beliau down, maka seumur hidup aku merasa bersalah. *** Tiga hari setelah makan malam, semuanya kembali normal. Kondisi Oma Ayu membaik, beliau bahkan kembali seperti biasa. Tersenyum tulus, ramah padaku, bahkan tanpa absen memberiku makanan-makanan enak. Aku menerima segala perlakuan beliau, meskipun sebenarnya ada perasaan mengganjal. Bayangan rasa bersalah sekaligus serba salah menghantui, membuatku tidak tenang bahkan susah memejamkan mata setiap malam. Kenapa Oma Ayu harus sebaik ini? Dengan beliau yang begini, susah aku mencari cela. Malah semakin dipikirkan, desakan menyanggupi pernikahan semakin bercokol di d**a. Ini semua karena rasa bersalah. Sebab kalau tidak, aku yakin otakku masih bisa memikirkan banyak hal. Bukan seputar mundur atau maju, memenuhi atau menolak lagi. “Yang terakhir kali, aku minta maaf, Nak. Pasti kamu cemas sekali, tapi namanya juga orang tua. Tidak bisa emosi dikit, ada-ada saja penyakit yang naik,” celetuk Oma Ayu sambil tertawa kecil. “Kacau ‘kan ya malam itu. Harusnya kami buat kamu terkesan, tapi nyatanya melihat hal yang memalukan.” “Tidak sama sekali, Oma. Harusnya aku yang minta maaf, karena sebagian kekacauan itu aku yang buat.” “Kalau begitu, kita resmi saling memaafkan. Setuju?” Melihat tepat di mata Oma Ayu, tanpa sadar aku ikut tersenyum, juga mengangguk. “Setuju.” “Oke. Selanjutnya kita bahas hal lain.” Buku di paha Oma Ayu dipindahkan ke samping, berikut dengan kacamata bacanya. “Mas Bima sudah minta maaf. Dia bahkan turut mengantar ke rumah sakit keesokan paginya. Kamu tahu itu?” Aku menelan ludah, kemudian menggeleng. rasanya ingin sekali menghindari topik di mana ada nama ‘Mas Bima’, tapi tidak bisa. Sulit jika itu dengan Oma Ayu. “Dia bahkan berjongkok di depanku. Memang dari dulu anaknya selalu begitu, saat merasa bersalah, penyesalannya luar biasa besar. Cuma kalau menyangkut pacarnya, baru dia bebal. Itu yang paling kusayangkan.” Tatapan Oma Ayu tertuju ke depan, beliau menyandarkan punggung pada sandaran ayunan. Kami di halaman samping, menikmati suasana menjelang siang ditemani teh chamomile dan buku-buku. “Tapi, kamu tahu satu hal yang membuatku senang dari permintaan maafnya, Asha? Dia menerima perjodohan ini. Dia siap menikah denganmu.” Sudah kuduga, itulah topiknya. Sepertinya kamu serius, Mas. Apa yang kamu mau? Sudah tahu banyak ranjau, kamu malah memutuskan berlari ke sana. Sudah siap saling meledakkan diri, Mas? “Aku senang, Asha. Senang sekali sampai mau menangis. Rasanya hidupku bergantung pada keputusan kalian. Di saat yang satu merenima dan yang satunya menolak, aku terombang-ambing. Tapi saat kalian memutuskan menerima, aku yakin aku berhasil mencapai tepian.” “Oma tahu apa jadinya saat kami bersama? Sulit, Oma. Kenapa tidak pakai cara sedia payung sebelum hujan saja? Lebih baik menolak di awal daripada hancur di kemudian hari. Aku sedang melindungi diriku sendiri.” “Kamu tidak percaya kamu bisa, Nak?” “Entahlah, rasanya pesimis sekali, Oma ...” Ditarik beliau tanganku, digenggam erat. “Akan kubantu. Percayalah, bahkan yang sebuas harimau sekalipun, akan jinak kalau bertemu pawangnya.” Kutatap sekali lagi mata beliau, di sana terlihat penuh tekad dan percaya diri. “Kami manusia, Oma ...” “Bahkan manusia sekalipun,” tegasnya sekali lagi. “Percayalah, jika janji dulu itu dipenuhi, aku sepenuhnya berdiri di belakangmu, Sayang. Ingat ini.” Kebisuan mendera, aku bahkan melamun pada satu titik. Jika terus-terusan diyakini seperti ini, selain menerimanya, aku harus melakukan apa lagi? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD