Tiba di dapur, aku melihat Om Pras menikmati kopi sambil membaca koran. Sementara Tante Rani, sibuk membuat sesuatu sama Mbak Asri. Tidak ada yang sadar kedatanganku, setelah mendekati meja pantry, baru Tante Rani mendongak dari kegiatannya.
“Hai, Asha!” Senyum beliau sampai mata. Selalu tulus dalam pandanganku. “Kebiasaan saya kayak gini, nih. Setiap Mas Bima pulang, bawaannya mau bikin makanan banyak. Semua didominasi kesukaan dia.”
Aku tersenyum kikuk menanggapi. Tanpa sadar tanganku berpegangan di meja, mengundang tatapan jenaka dari Tante Rani. “Kenapa? Mau membantu?”
“Eh?” Apa raut wajahku terlihat begitu? “Memangnya ... boleh, Tante?”
“Tentu saja. Justru saya berterimakasih sekali, Asha.” Tante Rani melepas kerjaannya, kemudian memutari meja untuk menarikku. “Saya membuat opor ayam, sambal goreng hati, sayur labu siam, sambal goreng petai, sama gulai nangka. Sambal goreng petai itu kesukaan papanya.”
Merasa terpanggil, Om Pras mendongak menatap kami. Beliau sempat diam, lalu beberapa saat kemudian tersenyum. “Sudah lama di sini, Sha? Kenapa saya tidak dengar, ya? Tidak mungkin ‘kan kamu jalan ngambang.”
Sontak Tante Rani tertawa. “Papa ini niat ngelucu atau gimana? Jelas-jelas Asha manusia, masa disamain sama–” Sempat merotasi mata, dia kemudian melanjutkan, “Tadi jalan, kok. Papa bacanya khusyuk banget, jadi nggak dengar.”
Om Pras terkekeh. “Bercanda, Ma. Masa dianggap serius.”
Aku turut tertawa kecil. Mbak Asri tidak jauh beda. Di sela sibuk mengaduk masakan, rupanya dia masih bisa menangkap obrolan juga.
Sekarang aku bisa menyimpulkan, keluarga ini diisi orang-orang baik dan tulus. Aku menilai bukan berdasarkan pandangan dan perlakuan yang kuterima saja, tapi hatiku mengatakan hal yang sama. Jadi, tidak salahkah kalau aku mulai berpikir, Mas Bima punya sifat serupa? Bisa semenerima Oma Ayu, sebaik Tante Rani, seramah Om Pras. Seandainya iya, mungkin aku tidak keberatan melakukannya. Menjadi tembok pembatas itu.
***
Siang menjelang sore, Oma Ayu membawaku ke rumah kaca miliknya. Di sana ada banyak jenis bunga-bunga, berbagai macam warna, terawat, subur, dan indah. Aku bahkan terpesona di detik pandangan pertama.
“Semua bunga di sini, aku yang merawatnya, Asha,” ujar Oma Ayu. Beliau melepaskan rangkulan, kemudian mendekati salah satu bunga. Sepertinya anggrek. “Mereka seperti anak sendiri. Aku mengurusnya telaten, dari menanam, memangkas bagian yang layu, menyiram, bahkan menyingkirkan rumput liar kalau ada. Almarhum suamiku pernah cemburu, karena aku lebih perhatian ke mereka dibanding dia.”
Apa para orang tua memang romantis pada umumnya? Yang seperti ini, bukan kutemukan pada Oma Ayu saja, tapi kakek dan nenekku juga. Karena dirawat dan tumbuh bersama mereka, aku jadi melihat apa saja yang terjadi. Sepertinya, setiap hari aku menyaksikan kakek begitu perhatian dengan nenek. Sebaliknya, nenek bahkan lebih sabar dalam mengurus kakek.
Sekarang aku punya keinginan. Kalau seusia Tante Rani, aku ingin baik sepertinya, lalu sesetia ayah pada ibu. Kalau seusia Oma Ayu, aku ingin seromantis beliau dan suami, saling melengkapi seperti kakek dan nenek.
Tidak banyak, bukan? Mungkin untuk sekarang, rasanya itu lebih dari cukup.
“Nak, kamu melamun. Apa yang kamu pikirkan?”
Mataku berkedip pelan. Benar saja, aku tadi melamun. Cerita Oma Ayu tanpa sadar membuatku berpikir. “Maaf, Oma ...” Ringisan pelan kuberikan, tanda menyesal karena mengabaikan. “Tadi bicara apa? Saya ... tidak dengar.”
“Hanya seputar tanaman. Mereka selalu berhasil membuat pikiranku tenang, membuat tubuhku rileks. Terkadang Asha, saat merindukan seseorang, aku sering ke sini. Sering juga aku santai di sini, ditemani teh dan buku-buku. Terlebih mereka teman curhat yang menyenangkan. Mereka makhluk hidup seperti kita, Asha.”
“Kenapa Oma menyukai tanaman?” Bibirku otomatis merapat, karena dari sekian banyak penjelasan, hanya itu yang kutanyakan. “Maksud saya, apa yang membuat Oma menyukainya? Selama saya tumbuh, saya hanya menyukai kakek dan nenek. Selain itu, belum pernah.”
“Benarkah? Kalau begitu, akan kutambahkan. Kamu akan menyukai kami juga, karena kami keluargamu sekarang.” Oma Ayu meletakkan penyiram tanaman, lalu mendekatiku hanya untuk mengajak duduk di salah satu kursi. “Oh, ya, sebelum menjelaskan, boleh aku minta sesuatu, Nak?”
“Apa itu, Oma?”
“Jangan formal, Sayang. Kita keluarga. Kamu sama sekali bukan asing buat kami. Kamu hanya ... keluarga yang baru ditemui setelah sekian lama tinggal terpisah. Buang rasa canggung. Mari mulai terbiasa. Percayalah, setelah kamu melakukannya, kedekatan antara kita akan jelas terasa.”
“Akan say–aku coba, Oma ...”
“Terdengar lebih baik, Nak.” Telunjuk Oma Ayu menjawil puncak hidungku, bersamaan dengan senyumnya yang mengudara. “Mungkin hobi ini turunan dari mamaku. Beliau pencinta bunga-bunga. Karena sering melihatnya menyiram pagi dan sore hari, merawat di akhir pekan, tanpa sadar aku menyukainya.”
“Sejak kapan Oma membuat rumah kaca ini?”
“Terhitung sudah lumayan lama. Rumah kaca ini dibuat almarhum suamiku, sementara bunganya aku yang menanam. Alasan dibuatkan karena, dia ingin aku menikmati masa tua dengan melakukan apa yang menjadi hobiku. Tidak lagi memikirkan pekerjaan, bahkan hal-hal yang memicu kelelahan.”
“Manis sekali,” ucapku tanpa sadar.
“Kamu nanti akan begitu, sama Mas Bima,” papar Oma Ayu. Beliau menatapku lekat, penuh pengharapan. “Asha, keluarga ini dianugerahi laki-laki yang memperlakukan perempuannya seperti ratu saat mereka jatuh cinta. Almarhum ayahku, almarhum suamiku, bahkan anakku, Prasetyo.”
Aku menelan ludah pelan, mengatakan sesuatu dalam hatiku, itu kalau ada cinta, Oma. Kalau tidak ada, bagaimana? Bisakah aku merasakannya juga?
“Ah, sudah lama kita di sini. Sebelum Mas Bima tiba, harusnya kita siap-siap ‘kan, ya? Terlebih kamu, Asha. Mari buat dia pangling sama calon istrinya.” Oma Ayu berceletuk, beliau bahkan menyentuh ringan helai rambutku. “Kamu punya rambut bagus, begitu juga wajahmu. Aku menemukan bayangan Safiya di sana.”
“Terima kasih pujiannya, Oma.”
“Itu nyata, Sayang. Sekarang mari buktikan. Kalau Mas Bima menatapmu lebih dari lima detik, sudah dipastikan yang kubilang itu benar.”
Oma Ayu pandai sekali mengambil hatiku. Beliau bukan hanya perhatian, tapi ahli juga dalam melambungkan. Responku terlihat biasa, tapi ketahuilah aku merona di dalam sana. Perasaanku memang mudah merespon hal-hal yang menyanjung, bahkan menjatuhkan.
Akhirnya kami pergi dari rumah kaca. Gurat sore menghiasi langit, menandakan sudah lama kami mengobrol di dalam sana. Oma Ayu mengamit lenganku, beliau berjalan dengan lincah di usia yang tidak lagi muda. Aku terkesima, bagaimana tidak, usia seolah tidak mempengaruhi gerak tubuhnya.
Kami masuk lewat pintu samping. Melewati lorong beberapa menit, tidak lama bertemu ruang tamu. Di sana ada Tante Rani dan Mbak Asri. Mereka nonton tv, terlihat menarik sekali. “Rani, Pras di mana, Nak?”
Kompak Tante Rani dan Mbak Asri menoleh. “Di ruang kerja, Ma. Katanya ada berkas yang perlu diperiksa. Oh iya, Mas Bima tadi kirim pesan, katanya sebentar lagi berangkat ke sini. Dia bilang, Mama harus memotongkan buah untuknya.”
“Anak manja itu ...” Oma Ayu menggelengkan kepala, beliau terkekeh kecil, kemudian menatapku. “Asha, mandi ya, Sayang? Aku juga mau mandi. Kalau aku selesai lebih dulu, aku akan ke kamarmu. Kalau sebaliknya, kamulah yang datang ke kamarku. Kita perlu sesuatu buat persiapan.”
Meski mengernyit bingung, aku tetap mengangguk. “Baik, Oma.”
***
Pukul tujuh datang, makan malam yang dijanjikan sebentar lagi terlaksana. Entah kenapa, aku gugup karenanya. Tanpa sadar, aku meremas dress yang kukenakan. Ini aneh, harusnya tidak seperti ini. Kalaupun ada gugup, itu pasti dipicu rasa takut, sebab ini langkah pertama sekaligus penentuan apakah aku benar jadi orang ketiga atau tidak punya kesempatan sama sekali.
Tapi gugup yang ini beda. Semacam ada rasa penasaran yang turut andil, ada sedikit rasa ingin melihat, ada sedikit rasa ingin mengenal. Intinya campur jadi satu. Apa ini karena terlalu sering mendengar namanya, ceritanya, jadi secara tidak sadar, aku jadi mengharapkan bertemu dengannya.
“Asha, Bima sudah di depan. Kenapa melamun di sini, Sayang?”
Aku berjengit kecil mendengar suara Oma Ayu. Segera aku menoleh, memberi beliau senyum gugup. “Su-sudah datang, Oma?”
“Iya. Ayo ke depan, kita ngobrol sebentar sebelum makan.”
Aku menelan ludah, tapi tidak menolak saat Oma Ayu menarikku. Kami berdua keluar dari dapur, menuju depan. Sepertinya Om Pras dan Tante Rani sudah di sana, sebab aku belum menemukan keberadaan mereka.
Samar-samar obrolan mulai terdengar, detak jantungku kian meningkat. Rasanya jadi resah, aku panik dengan diriku sendiri.
“Sepertinya Oma cuma kebagian perintah memotong buah, sementara rindu dihabiskan buat orang tuanya.”
Celetukkan Oma Ayu memancing perhatian mereka yang kini di ruang tamu. Aku menegang di tempat, apalagi menemukan pria itu mulai berdiri, tersenyum lebar, tapi perhatiannya bukan tertuju padaku. “Kata siapa? Rinduku pada Oma bahkan jauh lebih besar. Jadi, jangan asal mengambil kesimpulan.”
“Kalau begitu, harusnya sebuah pelukan sebagai sambutan.”
Dia langsung menuruti. Dalam langkah besar, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai. Aku bahkan sedikit bergeser, saat dia merengkuh Oma Ayu. “Kita kayak beda kota ya, Oma. Dikatakan lama tidak bertemu juga tidak.”
“Iya, kamu yang berlebihan, Mas.” Setelah pelukan terturai, Oma Ayu mengusap lengannya. “Kamu lihat hal beda nggak, Mas?”
“Apa, ya? Oma terlihat lebih muda, bukan?”
“Salah total,” kekehnya, kemudian menoleh padaku. “Lihat, ada perempuan cantik di sini. Mubazir sekali kalau dilewati.”
Tatapannya mengikuti tatapan Oma Ayu. Tubuh tinggi besar itu, terlihat jelas menunduk. Aku jadi merasa kecil, merasa tidak ada apa-apanya. “Benar, aku melewatkannya, Oma. Siapa gadis ini?”
Sambil menuggu jawaban, tanpa sadar aku berhitung. Tidak, ini bukan kemauanku. Tadi refleks saja teringat ucapan Oma Ayu waktu di rumah kaca.
“Asha Lavana. Namannya cantik, kan?”
“Setiap nama pasti cantik, Oma. Apalagi perempuan.”
“Benar juga. Oh, Oma lupa satu hal, Mas, dia calon istrimu.”
Setelah kalimat itu keluar, secepat kilat ekspresinya berubah. Datar, berkilat dan was-was. Dia bahkan melongos di depanku, lalu menatap Oma Ayu. “Jangan bercanda. Aku bahkan tidak tertawa, Oma.”
“Siapa bilang bercanda? Oma serius, Mas.”
Detik itu juga, keheningan langsung menyapa. Aku bahkan merasa, suasana mendadak jadi beda. Debar jantungku tadi, gugupku tadi, terlalu tinggi berekspektasi. Alih-alih bisa saling memperkenalkan diri, bahkan saling menyapa, sepertinya semua tidak akan pernah jadi apa-apa.
***