Ayunia Wardani, nama panjang dari Oma Ayu.
Hari kedua aku di sini, Oma Ayu melakukan pendekatan dengan cara menjelaskan anggota keluarganya. Dimulai dari beliau sendiri. Usia Oma Ayu sekarang 73 tahun, beliau ditinggal suami di umur 62 tahun. Hanya punya satu anak, yaitu Prasetyo Adiguna Wira.
Dari sepotong cerita ini, aku sempat termenung. Kenapa bisa sama seperti kakek dan nenek? Mereka juga punya anak laki-laki semata wayang. Ayahku. Seolah diatur sedemikian rupa, perjanjian yang dibuat dulu memang dikhususkan untuk cucu. Sebuah kebetulan yang aneh dalam pandanganku.
Kemudian Oma Ayu membicarakan Tante Rani. Harusnya aku memannggil beliau Mama Rani, itu yang disuruh Oma Ayu. Tapi, karena masih baru dan belum terbiasa, aku memanggilnya senyamanku.
Rania Putri nama lengkap dari Tante Rani. Awalnya mereka tinggal terpisah, namun sejak meninggalnya suami Oma Ayu, mereka memutuskan pindah ke sini. Adapun rumah di sana, sekarang ditempati anak satu-satunya.
Yang mengherankan selalu ada persamaan. Aku anak tunggal karena ibu meninggal saat melahirkan, terlebih ayah memang tidak menikah lagi sampai beliau menyusul ibu. Sementara Tante Rani, aku tidak tahu alasannya apa. Terlalu lancang kalau bertanya. Lagipula, bukan urusanku.
Anggota keluarga terakhir, cucu Oma Ayu satu-satunya, Raden Bimantara Wira. Beliau bilang, usianya terhitung jauh di atasku. Tidak diberitahu berapa, intinya ada rentang yang lumayan. Nama Raden disematkan karena ada sedikit darah bangsawan mengalir dari pihak Tante Rania.
Panggilan khas dari keluarga ini untuknya, Mas Bima. Karena jadi anak dan cucu satu-satunya, dia dididik dengan baik. Diajarkan lembut pada yang seharusnya, tegas pada yang seharusnya. Oma Ayu berbinar-binar saat menceritakan sisi hebat Mas Bima. Beliau bilang, berkat didikan itu, Mas Bima tumbuh sesuai harapan. Penyayang keluarga, tidak pernah meninggikan suara pada yang lebih tua, pekerja keras, bahkan selalu menuruti keinginan Oma Ayu.
Sayang manusia tidak ada yang sempurna. Aku mendengar nada sedih Oma Ayu, saat bilang kalau Mas Bima fatal dalam satu hal, tidak pandai menilai perempuan yang dikencaninya. Oma Ayu terang-terangan bilang, Mas Bima punya kekasih matre luar biasa. Bodohhnya, Mas Bima buta. Berkali-kali Oma Ayu atau Tante Rani menasihati, namun Mas Bima keras kepala. Dia bilang dia jatuh cinta, jadi karena cinta dia selalu membela kekasihnya. Dia juga menyakinkan, kalau kekasihnya tidak seburuk pandang Oma Ayu dan Tante Rania.
Sampai mereka kehilangan cara untuk memisahkan. Tindakan terakhir yang dilakukan, mengabaikan. Harapannya agar Mas Bima sadar, nyatanya tidak sama sekali. Malah sekarang makin menjadi, satu minggu yang lalu Mas Bima sampai bilang ingin mengenalkan kekasihnya secara resmi ke keluarga. Hal itu buat Oma Ayu dan Tante Rani resah luar biasa. Sebab kalau dikenalkan, otomatis akan naik ke jenjang lebih serius.
Kedatangan tidak terdugaku jadi hal yang disyukuri untuk kesekian kalinya. Oma Ayu bilang seolah menemukan solusi setelah lama memendam keresahan. Oma Ayu sampai menangkup erat tanganku, memohon dengan mata berkaca-kaca untuk jadi tembok pemisah antara Mas Bima dan kekasihnya.
Saat diminta hal itu, jujur aku sesak luar biasa. Selain perjodohan yang mengikat, aku diberi cobaan jadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Kurang menyedihkan apa nasibku? Rasanya ingin sekali mengeluh panjang, betapa berat masalah yang menimpaku. Tapi, aku sadar itu tidak berarti. Alih-alih dapat solusi, aku justru makin menyedihkan.
Sempat terbesit untuk berhenti, tapi bayangan surat kakek mengisi kepalaku. Keinginan beliau terakhir kalinya, haruskah aku menolak mewujudkan itu? Apa yang akan terjadi? Kecewakah beliau di atas sana?
Situasiku ... kurang menguntungkan. Maju dicap perusak, mundur tetap tidak tenang.
Di sini yang jadi taruhan, diriku ... kebahagiaanku ... hidupku. Setiap langkah yang diambil, tak ubahnya bagai duri. Siap menusuk kapan saja, memberi rasa sakit luar biasa.
“Maaf menempatkanmu di posisi sulit, Asha. Maaf juga tidak bisa memastikan Bima masih sendiri. Tertarik, jatuh cinta, berpacaran, itu normal. Untuk ukuran Bima yang belum menikah di usianya sekarang, aku tidak mempermasalahkan dia berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya dalam hal itu dia bebas memilih. Sementara posisi istri, tetap aku pastikan kosong untukmu. Tidak mudah menjaga janji, Asha. Tapi aku percaya, sesuatu yang kami buat dulu dalam kondisi baik, pasti akan berakhir baik pula.”
Aku menelan ludah tercekat. Apa Oma Ayu pernah berpikir, yang beliau katakan tidak semudah itu saat dilakukan. Memang bisa memilih jatuh cinta pada siapa, tapi tidak bisa mengatur jodoh itu akan jatuh ke mana. Hanya saja beliau membebaskan Mas Bima tanpa persiapan. Kalau pada akhirnya Mas Bima jatuh cinta dengan perempuan pilihannya, lalu berniat menikahi, itu bukan salahnya. Toh memang sedari awal, Oma Ayu-lah yang memberi kebebasan.
Harusnya beliau mempertanggungjawabkan apa yang beliau buat, bukan menyeretku sebagai alasan di dalamnya. Kesampingkan dulu masalah janji, sebab ini lebih rumit dari yang dikira. Pertaruhannya diriku.
“Apa–” Aku berdehem pelan, karena suara yang keluar begitu serak. “Apa sebaiknya ... Oma menyerah saja? Mas Bima ... pasti tidak mudah buat dia. Dipisahkan dengan seseorang yang disayangi itu berat. Saya sering merasakannya ...”
“Tidak bisa, Nak. Sampai kapanpun aku tidak mengizinkan. Kalau saja Bima menemukan seseorang yang memang pantas dipertahankan, mungkin aku akan berpikir demikian. Tapi, perempuan itu ...” Ada jeda sejenak, kulihat wajah Oma Ayu muram. Beliau benar-benar dirundung sedih campur kecewa. “Dia benar-benar susah diterima. Mereka bekerja di satu perusahaan yang sama, Asha. Itu sebabnya aku tahu lebih dari apa pun.”
“Lantas saya harus bagaimana ...” lirihku akhirnya.
“Ingat kakekmu, Sayang. Kamu memutuskan ke sini, itu karena kamu menyayanginya. Kamu memprioritaskan keinginan terakhir kakekmu melebihi ketidaktahuanmu sendiri. Selangkah lagi, Nak. Selangkah lagi kamu akan sampai. Soal Bima, Oma sendiri yang memastikan dia menerima. Cinta akan datang setelahnya, setelah kalian berdua saling mengenal dan terbiasa.”
Apa yang Oma Ayu ucapkan, berhasil membuatku bungkam. Bibirku boleh saja merapat, tapi kepala dan hatiku saling beradu argumen. Ada pertentangan, yang satu bersikeras menolak dan satunya lagi bersikeras menerima. Lelah sekali. Baru dua hari di sini, tapi beban pikiranku makin bertambah.
“Maaf, Asha,” bisik Oma Ayu sesaat setelah menarikku dalam pelukan. “Dari awal kamu sudah jadi pilihan. Telat bertemu bukan alasan untuk mundur. Kali ini aku sepakat dengan almarhum suamiku, percaya sepenuhnya pada apa yang kurasakan. Dan sekarang, Oma mempercayaimu.”
***
Sebenarnya, keluarga macam apa Wira ini?
Terlalu fokus pada tujuan, aku sampai melewatkan beberapa hal. Salah satunya, keindahan rumah yang kutinggali ini.
Dari depan, jarak antara pagar tinggi dan teras depan tidak begitu jauh, tapi bagian ke samping begitu luas. Dengan pilar besar di bagian tengah rumah, banyak ukiran-ukiran ditemukan, juga menggunakan warna cukup mentereng. Jika hidup di zaman dulu, mungkin penghuninya dari kalangan bangsawan.
Berdiri di dekat jendela dengan tatapan lurus ke depan, sedikit banyaknya memberiku penghiburan. Rumput hijau yang terpangkas rapi, jadi penenang tersendiri. Angin bertiup pelan, berhasil membuatku rileks.
Aku di kamar. Beberapa menit yang lalu, asisten rumah tangga baru saja keluar. Namanya Mbak Asri, perkiraan usia 29 tahunan. Dia memberiku jus nanas juga membawakan cookies, atas perintah dari Oma Ayu. Beliau selalu memastikan kebutuhan makanku tercukupi, sekalipun aku tidak minta.
Belum sempat mencicipi, aku justru tertarik pada satu hal. Di bawah sana, tidak jauh dari objek yang kulihat tadi, Oma Ayu datang dengan Om Pras. Mereka menempati kursi santai yang tersedia, duduk saling berhadapan. Terlihat saling senyum, kemudian berubah serius saat Om Pras mengeluarkan sesuatu.
Aku bukan jenis orang yang kepo, tapi penasaran rasanya dengan perubahan raut wajah secepat itu. Tapi, kupikir lagi ini bukan urusanku. Alangkah baiknya aku memikirkan diriku sendiri saja.
Saat akan beranjak, tiba-tiba Oma Ayu menoleh tepat ke arahku. Beliau tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan. Terlihat bibir beliau bergerak, menbuatku langsung memfokuskan tatapan.
“Sudah diputuskan ...” Aku bisa membacanya. Beliau mengatakan pelan-pelan, paham betul kalau aku butuh beberapa saat untuk mengeja. “Malam akhir pekan ... makan malam keluarga ... akan dilaksanakan. Kamu juga ... bertemu Mas Bima ... Asha.”
Sejenak aku diam, menatap Oma Ayu sekali lagi dengan raut tak terbaca. Sebaliknya, beliau justru makin berseri. Beliau mengangguk sekali, juga mengacungkan jempol. Kuartikan acungan jempol itu dengan, “semuanya akan berjalan lancar, Asha”.
***