[13]

1264 Words
Suara pintu yang diketuk membuat Justin menghentikan pekerjaannya. “Masuk,” katanya singkat sembari menunggu, siapa pengganggunya siang ini. Ternyata Hans. Dari divisi marketing yang sangat bisa ia andalkan. “Ada apa?” Justin pun meninggalkan kursinya. Meminta Hans untuk duduk di sofa yang tersedia. Sengaja ia buat ruang kerjanya jauh lebih luas dibanding ruang lain. ada sofa besar yang biasa ia gunakan untuk diskusi dengan banyak staf-nya, juga ruang meeting khusus dengan banyak agenda di bagian belakang. Pun tak lupa lemari besar berisikan sample design yang tengah ia garap. “Ada tamu yang ingin berkunjung.” Kening Justin berkerut dalam. “Tamu?” pertanyaan itu segera mendapatkan jawaban berupa anggukan dari Hans. “Kenapa kau yang menyambutnya?” Hans menyeringai. “Kami mendiskusikan banyak hal terkait jalannya promo di SEO terutama untuk model-model magang. Mereka butuh tempat yang sesuai dengan penempatan yang kita inginkan, kan?” Penjabaran Hans semakin membuat Justin memicing curiga. “Siapa tamunya?” Hans tersenyum lebar. “Pemilik The Collage. Kurasa kalau kita menjalin kerja sama, mereka bisa membantu kita jauh dari apa yang pernah dibayangkan.” Hans sedikit menegakkan punggung. “Kau tahu sepak terjang pencari berita dari The Collage, kan? Jarang sekali berita yang mereka tulis atau apa pun yang diangkat ke media sosial, gagal menarik perhatian umum. Aku rasa, jika kita punya koneksi seluas dan sebagus itu, tak ada ruginya.” Justin tahu ke arah mana ucapan Hans barusan. mengingat kejadian dua malam lalu di kediaman Duta Besar, Justin sudah bisa memprediksi kedatangan Andrew ke kantornya. Tapi tak ia sangka, jika kedatangan sang pemilik The Collage secepat ini menemuinya. Di saat yang kurang tepat Justin rasa. Karena sore nanti, Justin ada meeting panjang dengan pemilik saham yang lain untuk menjabarkan perencanaan satu tahun ke depan SEO. Termasuk pagelaran untuk tahun depan yang digadang-gadang mampu meraup untung lebih dari apa yang ditargetkan. Tapi ... kesempatan untuk semakin menyudutkan Andrew tak akan ia sia-sia sampai Justin dapatkan alasan pria itu mendekati Giselle. Apa pun yang sudah ada di genggamannya, tak akan mudah untuk diganggu. Apalagi sampai membuat Giselle tak nyaman. Jangankan Giselle, model junior yang terlibat skandal dengan aktor senior yang membuat model itu ketakutan setengah mati saja, Justin pasang badan. Bagaimana kalau sampai Giselle yang terluka? Tak akan Justin biarkan itu terjadi. Senyum Justin tersungging tipis sekali. Diambilnya rokok yang selalu ada di saku, dinyalakan segera ujungnya, dan mulai ia nikmati asap serta rasa nikotin yang menjalari bibirnya. “Sebenarnya aku sibuk tapi tanyakan padanya, jika penawaran yang ia ajukan menarik untukku, pintu ruanganku terbuka lebar.” Hans mengernyit bingung tapi segera mengangguk patuh. Meski menyimpan tanya namun Hans tak bisa sembarangan bertanya. Sang bos terlihat sudah bersandar nyaman di sofa, tanda tak ingin diganggu. Hans pun segera meninggalkan Justin yang asyik dengan kepulan asap rokoknya. Justin tak jadi soal. ia justru jadi teringat pertemuannya dengan seseorang satu hari sebelum mereka mendatangi perjamuan di rumah Duta Besar. “Jadi ... kau tertarik dengan informasi yang kupunya?” tanya Justin sembari menatap lawan bicaranya lekat. Ia sebenarnya punya ketakutan sendiri siapa tahu ditolak mentah-mentah apa yang ia bawa ini. deretan foto serta beberapa orang yang terlibat di dalamnya. Termasuk orang kepercayaan dari pemilik tempat yang didatangi oleh informan Justin. Sementara sang lawan bicara, setelah memeriksa semua berkas yang diberikan Justin, hanya bisa menghela napas panjang. “Kenapa kegemaranmu menarik pertaruhan yang besar?” Justin tertawa. “Andai dia tak mengusikku, aku tak ingin melakukan hal ini.” Pria itu membenahi duduknya. Seragam yang ia kenakan memang agak merepotkan tapi itu bagian dari hidupnya sekarang. jabatannya sebagai kepala polisi di wilayah yang cukup besar; baik angka kriminal serta banyak hal berupa keburukan, entah yang mengancam atau membuat ngeri, sudah ia sandang dua tahun lalu. bergelut di bidang yang sangat berseberangan dengan saudaranya ini, tak membuat komunikasi mereka terputus. Namanya Zephyr Anderson. Hubungan mereka tak sedarah tapi Zephyr selalu menganggap Justin adalah adiknya. Yang harus dilindungi dan dikasihi sejak kedatangan bocah malang itu belasan tahun silam. Sang ibu berkata, Justin adalah anak yang beruntung bisa lolos dari maut. Dan Justin sangat membutuhkan kasih sayang. Tinggal bersama seorang ibu yang memiliki hati serta perangai yang begitu lembut, membuat Zephyr juga memahami, jika Justin memang membutuhkan pertolongan. Juga kasih sayang. makanya sampai kapan pun, Justin selalu ia awasi. Meski tak jarang, ulahnya yang terlalu ekstrem seperti ini membuat jantung Zephyr tak pernah berdetak lega. “Tapi apa yang kubawakan untukmu tak main-main, Z. Jika kau bisa menangkap bandar serta menghentikan peredaran di sana, aku yakin tahun ini pangkatmu naik.” Zephyr mengibas pelan. “Bukan masalah naik atau tidaknya jabatanku, tapi kau!” tunjuknya tepat di hidung Justin. “bagaimana bisa kau dengan santainya bicara seperti ini? mengambil foto dengan jarak sedekat ini tanpa dicurigai? Kau benar-benar tak waras!” Justin tergelak heboh. “Bahkan Mama pun mengatakan hal yang sama, kan?” Zephyr tepuk jidat. “Siapa yang kau lindungi sampai berbuat segila ini?” Justin tak lagi tertawa. Kini matanya menatap serius pada pria yang ia segani, hargai, juga hormati ini. bagi Justin, Zephyr adalah panutannya sepanjang masa. “Dia salah satu penari erotiss di sana. Aku memintanya dengan jalan legal tapi si pemilik sepertinya ingin memeras dan memanfaatkan masa lalu si gadis. Padahal tangga yang tengah ditapaki mulai ada di puncak dan aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi.” Sang lawan bicara menghela panjang. “Giselle?” “Yaps.” “Baiklah.” Zephyr menghela panjang, tak mungkin menolak apa yang diminta adiknya. “Tapi jangan pernah melakukan hal seperti ini sendiri, Justin. Berbahaya! Apa yang kau bangun bisa berantakan hanya karena masalah ini.” “Oh, tentu tidak!” Justin melipat tangannya di d**a. “Mereka tak tahu berurusan dengan rubah licik sepertiku, Z.” “Meski kuakui,” berkas tadi pun kembali diteliti oleh Zephyr. “Apa yang kau dapati ini benar-benar harta karun bagiku. Apakah aku harus mengucapkan terima kasih?” Justin menggeleng segera. “Pastikan pemiliknya tak berkutik tiap kali bertemu denganku. Kau tahu pengaruh yang kau miliki, kan?” Zephyr tergelak. “Baiklah. Kau menang. Ahli strategi yang mumpuni sepertimu itu sangat disayangkan jika bergelut dengan kain dan majalah mode.” “Kau bilang kau mendukungku,” decak Justin dengan sorot kesal. Mama saja memercayakan apa yang kulakukan ini, kenapa kau mempertanyakannya kembali?” Zephyr menyerah. “Asal kau bahagia dan mampu menjalaninya, Justin. Sebagai seorang kakak, tugasnya mendukung dan membantu meski terkadang bantuanku ini digunakan hanya saat-saat tertentu.” Justin kembali tergelak. “Terima kasih, Z. Kau benar-benar kakak yang sangat baik.” Zephyr mencebik. “Sesekali main ke rumah, Justin. Kau tak ingin makan malam bersama? Rosaline sering menanyakanmu. Apalagi Bella. Dia merindukan paman kecilnya yang berisik.” Justin tak bisa menyembunyikan tawa bahagianya. Meski setelahnya obrolan mereka dipenuhi dengan pembicaraan berbau nostalgia, tapi dalam benak Justin, dirinya sudah merancang apa yang akan dilakukan saat datang di perjamuan nanti. Gelembung ingatan itu pecah di saat pintu ruangannya kembali terbuka. dan kali ini, bukan hanya sosok Hans yang datang melainkan bersama Andrew. Yang masih sama seperti terakhir kali Justin bertemu; angkuh. Tak jadi soal, toh bukan Justin yang ingin bertemu melainkan pria yang kini duduk di depannya. Tentu saja setelah Justin persilakan. “Hans, tolong siapkan minum serta beberapa camilan. Kurasa pembicaraan kami akan memakan waktu.” Andrew menatap Justin dengan sorot tak suka, berdecih seraya melirik sinis pada pria yang jadi lawan bicara. Kendati begitu, apa yang akan mereka bicarakan memang tak bisa ditempuh dengan waktu singkat. Apalagi setelah ada kejadian kemarin. Sial! Justin tak bisa dianggap sepele oleh Andrew. “Jadi ... ada yang ingin kau katakan, Tuan Kingston?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD