"Berapa jam perjalanan kita?" Tanya David yang masih sibuk dengan berkas-berkas di meja kantornya.
"Kurang lebih 11 jam." Jawab Sammy setelah mengecek jadwal penerbangan mereka di layar ponselnya.
David mengangguk paham. "Baiklah."
"Baik, Tuan. Saya permisi dulu," Sammy meninggalkan Tuannya yang masih bekutat dengan berkas yang harus diselesaikan sebelum berangkat.
Setelah Sammy memberitahu David tentang Kai yang bersedia bertemu, tanpa buang-buang waktu David langsung memutuskan untuk berangkat ke New York keesokan harinya. Karena hanya minggu ini jadwal David yang sedikit longgar mengingat minggu depan ia akan kembali bekerja.
***
"Kita mau kemana?" Tanya Joe menatap Jae yang sedang memasangkan sepatu putih sneakers couple milik mereka.
"Kita akan berkencan, sayang. Ayo!" Antusias Jae meraih lengan kecil Putranya.
Hari ini Jae off bekerja, ia manfaatkan untuk bejalan-jalan dengan Putranya. Setelah memperhatikan keluarga kecil kemarin, Jae jadi ingin menghabiskan waktu bersama Joe lagi seharian penuh di taman kota. Semoga saja Joe tidak kelelahan nantinya.
"Apa tak masalah Joe tidak sekolah hari ini, Mom?" Tanya Joe mendongak menatap sang Mommy sambil jalan santai bergandengan tangan menuju sebuah halte.
"Kau tenang saja, nanti Mommy yang akan bertanggung jawab bicara pada Mam Dessy." Ucap Jae sambil menarik kecil hidung mungil Joe.
"Aw! Sakit Mommy!" Joe mempoutkan bibirnya karena kejahilan Jae.
Dengan sigap Jae berjongkok mengecup bibir dan hidung kecil Putranya. "Ututu~, lucunya anak Mommy. Sebagai gantinya, Joe mau apa? Kue coklat atau es krim? Mommy akan membelikannya untukmu," Tanya Jae menaik-turunkan kedua alisnya sambil mencubit pelan kedua pipi Joe ketika mereka sudah berada di depan halte.
"Hmm..." mata Joe berputar kesana-kemari memikirkan keputusannya untuk memilih. "Dua-duanya!" Jawab Joe teriak tiba-tiba membuat Jae terpenjat kaget.
"Ommo! Kau membuat Mommy kaget," Ucap Jae dibuat-buat mengusap pelan dadanya membuat Joe tertawa.
"Baiklah, akan Mommy kabulkan khusus kencan kita hari ini. Tapi ada satu syarat," gantung Jae yang membuat kedua alis kecil Putranya itu terangkat dengan lucu.
"Berikan satu kecupan untuk bayarannya." Sambung Jae menyodorkan pipi kanannya yang sudah siap menerima kecupan dari Joe.
Cup~ Jae sangat suka ketika Joe menciumnya. Rasanya seperti anak kucing memberikan sebuah kecupan, gemasnya lagi selalu meninggalkan sedikit jejak air liur terasa di pipinya.
"Satunya?" pinta Jae lagi menyodorkan pipi kirinya.
"Kata Mommy hanya satu syarat, kenapa jadi dua?" protes Joe tidak terima.
"Ayolah~ kalau tidak, Mommy tidak akan--" Joe memberi kecupannya dengan cepat agar Mommynya tak berubah pikiran. Padahal Jae hanya sekedar bergurau.
"Okay, permintaan Tuan muda Joevanca dikabulkan! Ayo kita naik bus sekarang." Jae menarih tangan Joe menuntunnya manaiki bus yang sudah berhenti di depan mereka.
Wajah mereka berseri karena akan menghabiskan seharian penuh melakukan hal yang menyenangkan bersama. Hanya mereka berdua, karena bagi keduanya sudah sangat sempurna walau tidak seperti keluarga kecil lainnya. Hanya Joe satu-satunya keluarga yang Jae miliki saat ini, begitupun sebaliknya. Jadi tak ada alasan yang lain sumber kebahagian yang mereka rasakan saat ini.
***
"Apa David sudah berangkat?" Tanya Yungmi pada Kepala Kim—asisten pribadi suaminya itu.
"Sudah Nyonya, Tuan David sudah berangkat setelah makan siang di kantor bersama klien."
Yungmi mengangguk mengerti. "Sekarang kau boleh pergi," Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari sang Suami yang masih belum sadarkan diri.
Yungmin tahu, David sedang marah dengan mereka bedua karena pengakuan Suaminya kemarin. Hingga berangkat ke New York pun Putranya enggan memberitahu langsung, hanya melalui Kepala Kim untuk menyampaikan padanya. David bukanlah anak yang akan mengeluarkan emosinya secara langsung jika marah dengan Yungmi maupun Sungjin. Karena menurut David, itu tidak patut untuk dilakukan seorang anak pada kedua orangtuanya.
Seperti sekarang, marah David hanya sebatas tidak mengunjungi kediaman mereka beberapa minggu atau paling lama satu bulan. Jika David mulai mengerti maksud dari orangtuanya atau tidak marah lagi, anak itu akan merindukan mereka dan menyesali atas perbuatannya yang tidak mengujungi dalam waktu panjang.
"Semoga Putra kita mengerti maksudmu menutupi ini semua, sayang." Tatap sendu Yungmi pada suaminya sambil mengusap punggung tangannya.
***
"Ini diaaa," Jae meraih dua cup es krim yang sudah ada ditangannya lalu memberikan satunya pada Joe.
"Berapa totalnya, sir?" Tanya Jae meraih dompetnya di dalam tas dengan satu tangan.
"Aku pesan satu es krim coklat dan ini uangnya, sekalian bayar dua es krim wanita ini." Ucap seorang pria yang tidak asing di telinga Ibu dan anak itu. Jae langsung mendongak ke arah sumber suara, yang diikuti oleh Joe.
"Uncle Kai?" Joe tidak bisa menutupi rasa terkejutannya kehadiran Kai di depannya sekarang, ia lupa tentang sang Mommy yang kini menatapnya bingung. Seolah bertanya ‘bagaimana bisa mereka saling kenal?’
Jae memang pernah menceritakan pada Kai, bahwa dirinya sudah mempunyai anak laki-laki dan seorang singel parent. Tapi tidak pernah mengenalkan Joevanca adalah anaknya.
‘Apa mereka sering bertemu?’ Batin Jae bertanya-tanya saat melihat Putranya menatap Kai seperti sudah sering bertemu.
"Kau mengenalnya, Joe?" Tanya Jae tiba-tiba yang membuat Joe mengangguk dengan hati-hati.
"Aku tidak menyangka kalau kau adalah orangtua Joe. Aku sering bertemu dengannya yang sering melewati depan mini market tempat aku bekerja." Penjelasan Kai yang membuat Jae semakin bingung.
Jae sangat ingat saat pertama kali bertemu dengan Kai mengenakan setelan jas dan aksassoris mahal. Kalau benar Kai bekerja di mini market, bagaimana bisa pria itu mendapatkan setelan jas dan jam semahal itu? Jae memang bukan wanita kaya tapi ia tahu barang-barang mahal selama berteman dengan Anggie.
Jae menatap Kai penuh selidik, ia merasa ada yang tidak beres disini. Sebenarnya Jae ingin bertanya beberapa hal tapi ia urung karena sekarang ia tidak ingin merusak acara kencannya dengan Joevanca.
Merasa salah tingkah, Kai ikut menatap mata coklat Jae hingga mereka saling bertatap wajah. "Berhenti menatapku seperti itu, kau membuatku malu.” Jedanya berdeham. “Apa aku boleh ikut kalian jalan-jalan? Kebetulan aku juga libur hari ini dan bingung ingin melakukan apa di rumah." Kai menawarkan diri sambil menggaruk tekuk lehernya yang tidak gatal sama sekali.
Joe yang bingung hanya menatap Mommy-nya yang terlihat berpikir sebelum menyetujuinya, lalu mereka berjalan menuju taman di depan mereka.
***
"Dia sudah tertidur?" Tanya Kai pada Jae yang duduk di sampingnya sedang memeluk tubuh kecil Joe.
"Hm," Jae mengangguk sebagai jawaban.
Dengan lembut Jae mengusap punggung Putranya yang bernafas teratur, Joe terlelap menikmati hembusan angin sore. Mereka sedang duduk di kursi taman setelah makan dan bermain bersama.
Kali pertama untuk Kai melihat kedua orang yang sedang berpelukan ini secara dekat. Sangat dekat. Biasanya, Kai hanya bisa memantau dari kejauhan jika keduanya sedang bersama. Bahkan seharian ini mereka bertiga bermain layaknya keluarga kecil sedang quality time diwaktu senggang.
Kai tahu semenjak ia datang menghampiri, Jae menaruh kecurigaan terhadap dirinya yang tak tertuga sudah mengenal Joe. Joe pun bereaksi terkejut menggemaskan saat ia menghampiri keduanya. Kai tidak perduli dengan itu. Ia ingin merasakan kehangatan keduanya saat bersama, dan kehangatan itu membuat Kai egois. Ingin melindungi mereka disetiap harinya, dalam jangkauan sedekat ini. Pasti sangat menyenangkan, pikir Kai.
Katakan Kai bodoh, mengharapkan ibu dan anak ini menjadi keluarga kecilnya suatu saat nanti. Ia tersenyum miris mengingat statusnya saat ini, hanya sebatas pemantau atas suruhan atasannya.
Anggap saja ini adalah pertemuan terakhir yang mengesankan bagi Kai, karena ia ingin memberitahu semuanya sebelum wanita itu mengetahui dengan sendirinya. Mengingat David akan segera datang dan secara otomatis penyamaran Kai selama ini akan terbongkar.
Lagi-lagi ketakutan kembali menghantui Kai. Akalnya memaksa untuk mengatakan sekarang, tapi hatinya berkata tidak dan membuat lidahnya kelu tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Kai bisa merasakan kehangatan keluarga ini walaupun tidak ada sosok pria yang melindungi mereka.
Kai tidak bisa membayangkan jika Jae sudah mendengar pengakuannya, sudah pasti ia tidak akan tega melihat keduanya merasa terintimidasi karenanya. Wanita yang ia kagumi ini pasti akan menjauh. Menjauh dari keduanya adalah suatu resiko yang belum bisa Kai terima, dan itu pasti akan terjadi.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Jae pelan yang masih setia memeluk Joe dalam dekapannya, takut Putra kecilnya akan terbangun.
Detak jantung Kai mulai memburu cepat. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Menanyakan kecurigaan yang sedari tadi Jae tahan untuk bertanya padanya. Kai menghela nafas menetralkan jantungnya agar tidak terlihat gugup, lalu menoleh kesumber suara dengan senyum tipis.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Ucap Kai yang mencoba sesantai mungkin seolah tidak mengerti arah pembicaraan yang mehadang.
"Sejak kapan kau mengenal Putraku?"
Awalnya Jae mencoba berpikir biasa saja terhadap pria di sampingnya ini. Tapi jika menyangkut Putra kecilnya, ia tidak bisa hanya berpikir demikian karena Kai terlihat bukan pria sembarangan. kewaspadaan Jae meningkat semenjak mengetahui Bella menelantarkan Joe. Setelahnya ia merutuki dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak berfikir negatif pada orang yang belum tentu melakukan kesalahan.
"Aku tau kau khawatir tentang Joe ‘bukan?" sambil tersenyum Kai melanjutkan bicaranya. "Kau tenang saja, Joe seperti teman bagiku. Dia selalu menghiburku dengan sikap juteknya disaat aku lelah akan pekerjaan. Aku terlalu banyak mengoceh saat bersamanya dan berakhir dia selalu mencibirku dengan mulut kecilnya yang lucu. Padahal aku sadar, aku terlalu banyak bicara jika bersamanya. Ya, anggap saja dia teman curhatku walau dia tidak mengerti apa yang aku bicarakan." Kai terkekeh lalu mengangkat tangannya untuk mengusap kepala kecil Joe dengan pelan.
Semua yang dikatakan Kai itu benar adanya. Kai akan pergi ke depan sekolah atau flat Jae jika ia lelah dengan pekerjaan kantornya yang menumpuk, dan berharap Joe akan keluar lalu berdebat kecil dengannya walau ucapan Kai terlalu sering diacuhkan. Tapi Kai tidak masalah, ia malah gemas dan ingin selalu menganggu Joe. Hal itu benar-benar bisa membantu Kai melupakan pekerjaannya sejenak tanpa menegak alkohol yang biasa ia minum.
"Maafkan aku, Kai. Aku sempat berfikir negatif tentangmu." Jae tidak bisa menutupi rasa bersalahnya, dan juga terselip perasaan lega.
"Tak apa, aku mengerti apa yang kau rasakan." Kai mencoba mengurangi rasa bersalah Jae.
‘Joe mengacuhkan Kai dan mencibir? Itu seperti bukan Joevanca yang selalu bemanja-manja denganku.’ Jae menghela nafasnya dengan pasrah, lagi-lagi ia harus dikejutkan dengan sikap Joe. Sepertinya Jae harus mengenal Putranya lebih baik lagi, pikirnya.
Cahaya oren mulai menyinari mereka. Yang artinya mereka harus pulang untuk makan malam lalu beristirahat. Untuk menebus rasa bersalah, Jae mengajak Kai makan malam bersama di flat sederhananya, dan pria itu menyetujuinya.
Sesampai di flat, Jae langsung meletakkan tubuh mungil Putranya dengan hati-hati. Jae ingin memasak sesuatu, ternyata persediaan makanan hanya tersisa 3 potong roti gandum. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli makanan terdekat yang ditemani oleh Kai.
"Aku akan membeli nutella dan roti di mini market seberang sana untuk Joe sarapan esok pagi. Untuk menghemat waktu, bagaimana kau yang membeli makan dan aku kesana?" Tanya Jae sambil menunjuk mini market di depan mereka meminta persetujuan dari lawan bicaranya, karena mereka meninggalkan Joe sendirian yang masih tidur.
"Baiklah. Jika sudah, kau langsung saja kembali ke atas. Biar aku yang membeli makan malam." Kai mengerti dengan rasa khawatir Jae.
Hati Kai kembali menghangat, betapa besarnya Jae menyayangi Putra kecilnya. Mengingat Jae wanita yang sangat mandiri menghadapi semua cobaan dihidupnya selama ini. Entah sudah berapa kali hari ini Kai memuji wanita itu di dalam hatinya. Sampai-sampai Kai benar-benar lupa dengan tujuan utamanya bertemu dengan Jae, mengakui semuanya. Ayolah, Kai masih sangat belum siap melihat wajah wanita itu menatapnya tidak suka, atau mungkin benci nantinya.
Sesampai mini market, tanpa memilih-milih Jae langsung mengambil roti dan nutella kesukan Putranya lalu menuju kasir sedikit tergesa-gesa.
Brug
Jae merasakan sedikit pening di kepalanya setelah menabrak bahu kekar seorang pria tinggi yang berpakaian santai sedang memilih beberapa minuman kaleng yang hampir jatuh dari genggamannya.
"Maaf, saya tidak melihat dan terburu-buru." Jae menundukkan kepalanya merasa bersalah.
"Apa anda baik-baik saja? Saya merasakan benturan cukup keras di bahu saya tadi," Suara berat pria ini membuat Jae mengangkat kepalanya dengan tangannya memeggang kening.
Deg
Jantung Jae seperti berhenti berdetak. Ia tersentak kaget melihat manik hitam milik seorang pria di depannya. Sudah hapir 6 tahun ini tak melihatnya, sejak malam dimana ia diperlakukan seperti jalang dan menghasilkan seorang anak yang tampan bernama Joevanca.
David Jerrold, atau Park Chanyeol. Keluarga bermarga Park. Mungkin hanya Jae yang mengenalinya, terlihat jelas dari raut wajah pria tinggi di depannya ini. Sudah pasti pria ini tidak mengenalinya, karena mungkin sudah banyak wanita jalang di luar sana yang dia tiduri selain Jae. Sehingga lupa dengan wanita yang hanya sekali dia tiduri, pikir Jae.
Detak jantung Jae masih memburu karena rasa marahnya melebur seperti api membakar hatinya. Bagaimana bisa ia bertemu dengan pria ini setelah mengahabiskan waktu bersenang-senang dengan Joe.
Tanpa menjawab pria itu, Jae melaluinya bergegas ke kasir untuk membayar belanjaan.