Episode 6: Menolak Jujur

1642 Words
Dalam restaurant mewah yang berhadapan dengan keindahan malam kota Jakarta warna-warna lampu kelap-kerlip menghiasi gedung sekelilingnya. Netra bermanik cokkat dan berbulu mata lentik milik Amara memutar ke kanan kiri. Mengelilingi makanan di atas meja bundar  yang terdapat banyak menu yang merupakan, tiram, salmon segar ada juga steak dengan saus apel dan ada menu makanan minuman lainnya sehingga hampir memenuhi meja. Tampaknya Kafeel malam ini memesan tempat makan malam dengan harga cukup mahal sehingga Amara merasa mendapat suguhan spesial. Tak hanya makanan saja, bahkan kini mereka ditemani suara alunan musik piano yang dimainkan dengan merdu memanjakan telinga. Mendapat perlakuan seperti ini membuat Amara semakin tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya. Kefeel kini sedang menyuap potongan daging ke mulutnya menatap Amara yang sedang menggenggam pisau kecil dan garpu dikedua tangannya seiring wajahnya yang gelisah. Wajah gadis itu bahkan tidak terlihat seperti biasanya, selalu ceria dan bahagia saat bertemu dengannya. “Kenapa kamu tidak makan, Amara?” tanya lelaki memiliki hidung lancip dan berkulit putih itu. “Apa kamu sedang tidak enak badan? Atau mungkin tidak suka sama menu makanannya? Bilang aja, Amara, aku akan minta pelayan untuk menggantinya?” Amara menggeleng, melihat dari menunya sudah jelas-jelas itu adalah menu spesial semua sudah berjejer rapi. Mana mungkin ia tidak menyukainya, hanya saja kini semua terlihat hambar menjadi hitam putih. “Nggak perlu, Kak, kamu tahu kalau ini semua menu makanan favoritku, walau makan kalau ada traktiran aja sama teman-teman. Tapi aku suka ini.” Amara menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum terpaksa. “Kalau kamu suka dimakanlah, calon istriku.” Amara seketika mengerjap, kedipan matanya beruntun. Tiba-tiba hatinya berdenyut saat mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Kafeel. Ia bungkam akan tetapi masih berusaha untuk tersenyum sambil menundukkan mata. “Aku akan makan, Kak.” Memotong sedikit daging dari atas piring lalu memakannya dengan perasaan canggung. “Nah, gitu dong… apa mau aku yang suapin. Buka mulutnya, aakkk.” “Nggak usah, Kak. Aku bisa makan sendiri.” Amara menggeleng sambil cepat-cepat memasukkan makanan di ujung garpu ke dalam mulutnya sebelum Kafeel menyuapkan makanan. “Sekarang aja malu-malu begitu, nggak ingat gimana dulu manjanya tiap mainan ke rumah minta disuapin sama aku?” “Ah, Kakak, kan Amara jadi malu.” Gadis itu seketika tersipu malu sambil menundukkan pandamgannya. Wajah Amara seketika memerah saat Kafeel mengingatkan kejadian-kejadian masa lalu. Memang benar ia sangat manja pada Kafeel dulu, bahkan sampai kini saat mereka menjelang pernikahan. Kafeel menurut Amara adalah sesosok yang dewasa selalu mengerti perasaanya, bahkan Amara bisa melihat wajah sesosok Ayahnya pada diri lelaki itu. Sungguh lelaki tambatan hati Amara sejak dulu. Namun, perasaan berbunga-bunga Amara tak bertahan lama ketika teringat dengan penghianatan yang dia lakukan. Bahkan ia mengingat dalam pikiran saja sangat memalukan. Andai saja Amara mendengarkan nasihat sang bunda, tak memilih bersenang-senang bersama teman-temannya pergi ke Bali. Pasti semua mala petaka ini tidak akan terjadi. Padahal sebelum pergi, Ayah Amara walau sudah memberinya izin tetap berkata, “Seharusnya satu bulan sebelum hari penikahan itu kalau orang jaman dulu seperti bundamu itu dilarang keluar jauh, tapi… Ayah nggak bisa melarang juga, karena jaman sekarang sama jaman sekarang sudah beda, nggak bisa dimasaratakan.” Andai saja Amara mendengarkan, menahan diri, mengabaikan permintaan teman-temannya yang mengatakan, kalau pergi untuk merayakan masa lajangnya sekaligus telah selesai menempuh pendidikan di universitas yang sama. dadanya Amara seketika sesak saat mengingat hal itu, bahkan kini ia belum bertemu dengan teman-temannya yang masih di Bali. “Untuk gaun pengantin kamu mau pakai yang itu saja, atau mau ganti warna lain?” tanya Kafeel menyentak lamunan Amara yang kini memiliki pikiran campur aduk seperti kopi s**u. Amara sontak menggeleng, “Nggak ada baju pengantin, Kak.” “Maksud kamu?” Kafeel sektika menghentikan tangannya saat mendengarkan ucapan Amara. “Sebenarnya….” Tangan Amara bergetar, gadis itu terus saja menggigit bibir bawahnya untuk menutupi kegelisahan. Bagaimana pun kini ia harus mengatakan pada Kafeel, sebelum semua terlambat dan membuat kecewa lebih banyak. “Kamu nggak apa-apa kan, Mara?” lelaki itu terlihat begitu khawatir. “Ah, iya aku lupa. Kafeel menaikkan tangannya bertepuk memanggil pelayan yang sejak tadi berdiri di samping bar ada di ujung ruangan. Entah apa yang diinginkan Kafeel, saat dia menepuk tangan pelayan laki-laki mengangguk tapi justru meninggalkan ruangan pergi masuk ke dalam salah satu ruang lainya. Amara masih tidak mengerti sedangkan Kafeel terus saja menatapnya tak berkedip sehingga membuatnya salah tingkah. “Setelah ini aku tidak mau melihat wajah murung ditekuk lagi, aku punya kejutan kecil untukmu. Kuharap kamu menyukainya.” “Apa?” Tidak lama berselang Amara dibuat terperangah oleh kedatangan empat orang yang memasuki ruangan dengan membawa barang masing-masing di tangannya, mereka semua berjalan menghamprinya. Gadis itu bahkan sampai menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Kafeel lelaki yang tak banyak bicara menyiapkan surprise untuknya. Mereka satu persatu pelayan maju, pertama menyerahkan buket bunga, kedua memberikan buket coklat dan ketiga memberikan kotak kecil pada Kafeel. Amara menghirup aroma semerbak bunga mawar putih di dekapannya. Jari jemarinya merayapi kelopak bunga. "Ini semua kamu yang siapkan, Kak?" Kafeel tersenyum seiring kepalanya yang mengangguk. Kemudian lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu berdiri lebih dekat di hadapan Amara. Tangannya membuka kotak kecil dalam genggaman, ternyata itu adalah cincin berlian yang didesain cukup elegan. "Untuk kamu, sebagai calon istriku." "Kak, ini?" Bibir Amara bergerak-gerak akan tetapi tidak bicara. Ia kehabisan kata-kata tak tahu harus bilang seperti apa untuk mengungkapkan perasaannya. Ia ingin sekali rasanya mau lompat saat ada dalam situasi seperti ini. Moments yang sangat dia impikan sejak kecil, bahkan mereka dulu hanya menggunakan ranting pohon sebagai cincin. "Aku tahu, dihari lamaran sudah memberikan cincin. Tapi kali ini kuberikan lagi cincin lain, yang lebih spesial, karena kamu wanita spesial dalam hidupku." Amara terus saja memandang jari tengahnya baru saja disematkan oleh Kafeel. "Ini harganya mahal banget, Kak. Apa nggak masalah, kalau kakak buang uang hanya karena ini? Gimana kalau tante Clarita nggak suka?" Lagi pula Amara sudah tidak pantas mendapatkan cincin ini. Jangan barang dengan harga ratusan juta, bahkan cincin perak seharga puluhan ribu pemberian Kafeel, ia sama sekali tidak pantas! Amara mengurut jarinya untuk menarik cincin yang bersemayam di tangannya. Akan tetapi tangan Kafeel dengan cepat mencegahnya sambil menggelengkan kepala pelan. "Aku tahu kamu merasa nggak enak sama Mami. Tapi beneran, beliau tidak apa-apa kalau aku beli ini buat kamu, bahkan sebelum pergi memesan cincin berlian ini aku sudah minta izin padanya." Tampaknya Kafeel salah mengerti artian yang dimaksud Amara. Gadis itu bukan merasa tidak enak pada Mami Kafeel, tetapi dia merasa tidak pantas karena sudah menjadi penghianat. "Bukan begitu, Kak. Tapi ada lain hal yang memfaktori penolakanku ini. Aku merasa memang nggak pantes terima ini dari kamu," ucap Amara seiring tatapan nanar, menatap dalam sedalam sumur. "Oke, kamu boleh nolak pemberianku ini, tapi aku minta satu hal, kamu harus mengatakan alasan yang tepat. Aku yakin, ada hal lain yang kamu sembunyikan. Kamu beda dari biasanya, Mara." Ya, memang benar Amara sangat berbeda, bahkan ia sendiri tidak menyangka seperti ini. Jika saja ia tidak melakukan kesalahan, pasti sudah menerima cincin pemberian Kafeel, setelah pulang loncat di atas kasur kegirangan. Namun kini apa? Dengan terpaksa ia harus memberikan cincin yang sudah tersemat di jarinya sambil berkata, "Nggak usah kak, aku benar-benar nggak mau terima barang ini. Mungkin kamu bisa menyimpannya dan menggunakan saat suatu saat nanti butuh." Untung saja kali ini Kefeel mengangguk menerima cincinnya. "Baiklah kalau seperti itu mau kamu. Aku juga tidak memaksa, kan?" Melihat Kafeel masukkan kotak kecil ke dalam saku celana itu rasanya Amara merasa berat. Tak lama berselang keheningan mereka berdua terpecahkan saat suara denting ponsel di atas meja milik Kafeel berbunyi. "Mara, maaf, sepertinya makan malam kita harus dihentikan sampai sini. Mami baru saja telepon, kalau Papi minta dijemput di rumah sakit, beliau tidak mau siapa pun kalau bukan aku." Sambil menyedot minuman di mulutnya, Amara mengangguk. Meskipun ia belum mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia rasa lebih baik mengatakan kalau diwaktu yang tepat. Suasana romantis seperti ini tidak pantas jika ia menghancurkan begitu saja. "Baik, kebetulan aku juga sudah ngantuk banget nih... takut pulang kemaman dikunciin sama Bunda." Amara beranjak lebih dulu berdiri menenteng tasnya di pundak kiri. Ia segera menjauhkan muka saat Kafeel merengkuh pinggangnya ingin mencium pipi. "Oh iya, aku lupa kalau kita belum muhrim." Amara hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum terpaksa. "Hati-hati di jalan, Kak. Sampaikan salanku sama om, semoga hasil cek upnya bagus." "Aamiin," jawab Kafeel kemudian mengusap pucuk kepala Amara seperti yang dia lakukan biasanya sejak kecil. "Ayo aku anterin." Lelaki itu menarik pergelangan tangan Amara, membalik badan akan pergi. Namun, dengan cepat Amara menepisnya, "Ga usah, Kak. Aku mau pulang sendiri, mending kamu cepat-cepat jemput Om Arbian deh, takut beliau lama nunggu." Kefeel mengerutkan dahi seiring sebelah alisnya yang terangkat. "Yakin? Ini sudah malam banget." Amara menarik kedua sudutnya untuk tersenyum sambil mengangguk yakin. "Lagian rumah aku dari sini juga nggak terlalu jauh, kan? Aku bisa pesan taksi." "Justru deket, biar aku anterin." "Ga perlu, Kak... aku masih ada urusan di dekat sini." Handphone Kafeel berbunyi lagi, sontak membuat lelaki itu mendesah kesal. Tampaknya itu adalah Papinya yang sudah tidak sabar menunggu. "Iya Pi, aku akan langsung ke sana, ini lagi on the way. Sabar dulu," ucap Kefeel beberapa detik kemudian mematikan sambungan telepon. "Kalau mau pulang sendiri kamu harus hati-hati, jangan belok kanan kiri, car driver cewek, jangan lupa pakai sabuk pengaman." Amara mengangguk mendengarkan semua pesan Kafeel. "Satu lagi, setelah sampai kamu harus langsung tidur, udah salat isya, kan, sebelum ke sini?" Amara mengangguk lagi benar-benar terkekeh mendengarkan semua pesan Kafeel. Sudah seperti pesan neneknya dulu ketika masih hidup. "Aku pergi dulu, assalamualaikum. Ingat, langsung pulang." Bahkan Kefeel mengatakan itu tidak cukup sekali. "Waalikumsalam." Amara masih berdiri di sana menunggu sampai Kafeel pergi lebih dulu darinya. Bahkan, saat lelaki itu menghilang berikut seribu bayangan, Amara menyempatkan untuk kembali duduk. Ia seperti tidak punya tenaga untuk berjalan keluar dari restoran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD