Di sudut restoran Amara duduk sendiri sambil memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut, pening. Ia sendiri bingung sebenarnya, mengingat banyaknya pengeluaran yang sudah tanggung oleh sang Ayah untuk biaya pernikahan. Ia rasa sangat disayangkan jika rencana pernikahan itu berakhir dengan percuma.
Jika seperti itu, haruskah Amara melanjutkan niatnya untuk membatalkan, atau ia harus melanjutkan rencana ini, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Gadis itu segera menggeleng, ia rasa akan menjadi orang durjana sepanjang masa dan abad jika berani melanjutkan pernikahan ini. Berkali-kali ia mengusap wajahnya begitu terlihat putus asa. Ia benar-benar bingung harus mengatakan apa.
"Kasian banget hidup dia, hahaha."
"Orang tua dia pasti malu udah melahirkan anak culun kayak gini. Hahaha!"
"Mampos lo!"
Amara membuka matanya saat mendengar suara seperti sedang menghina dirinya. Namun ternyata ricuh dari arah smoking area. Suara kegaduhan mereka benar-benar mengusik dirinya yang kini sedang butuh ketenangan.
"Disayang dong... mamasnya. Masa diemin aja!"
Amara mencoba mengabaikan suara gerombolan cowok urakan itu. Sungguh, ia ingin ketenangan kini, belum ingin pulang. Ia menghela napas lalu menghabiskan minuman di tangannya. Menurut Amara yang mata duitan dan perhitungan sangat disayangkan jika minuman atau makanan yang sudah dibayar mahal diabaikan begitu saja.
Setelah ini bahkan dia akan meminta pelayanan untuk membungkus makanan yang belum sama sekali tersentuh.
Brush!
Seketika minuman di dalam mulutnya menyembur keluar. Sepasang netra indah Amara membulat, seiring tubuh condong ke depan sambil sesekali mengucek untuk memastikan.
Dadanya bergemuruh, rahang mengeras kedua tangan mengepal. Melihat kelompok pemuda yang berjumlah empat orang duduk, sementara ada sepasang cowok dan cewek berdiri di hadapan mereka.
Darah Amara semakin memanas saat melihat sesosok cowok memakai kaos hitam duduk bersandar di sofa sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Di tengah-tengah temannya dia terlihat berkuasa, menikmati tontonan sepasang kekasih yang sedang dipermalukan.
"Semenjak kuliah, dia dan teman bubuk rengginangnya itu nggak pernah berubah. Selalu cari kesenangan dengan cara menyakiti orang!" batin Amara sambil memukulkan kepalan tangannya ke atas meja. Meskipun kemudian ia merasakan sakit akibat benturan.
"Kenapa diam? Ditium dong... kita udah gak sabar nih, nunggu!"
Amara menggeleng tidak habis pikir, melihat sikap urakan mereka.
Kedua teman Arkha berdiri setelah mematikan kuntum rokoknya, kemudian satu memegang cowok yang berdiri bersama pacarnya, sedangkan satu lagi memegang tengkuk cewek.
"Kalau berani pacaran harus gentleman, jangan malu-malu kucing. Kayak anak TK aja lo!" Teman Arkha menoyor kepala si cowok pendiam.
Yang membuat Amara merasa heran, meskipun mendapatkan perlakuan tidak layak seperti mereka diam saja. Seadanya Amara yang ada di sana mungkin saja kini sudah mengigit telinga mereka semua satu persatu.
"Ayo tunggu apa lagi, cepat mainkan, gue udah nggak sabar!" ucap Arkha yang langsung mendapat respon dari teman-temannya.
Lihat, berapa berpengaruhnya cowok itu!
Kedua orang yang memegang kedua tengkuk sepasang kekasih itu justru semakin menekan sehingga membuat mereka maju dengan wajah saling berhadapan mereka dipaksa untuk berciuman!
"Astaghfirullah lazim!" Amara lagi-lagi menggeleng memijat pelipisnya.
"Bingung gue, kenapa di dunia ada mahkluk kayak mereka." Menggertak kan gigi seiring kedua mata menyipit menatap Arkha yang kini terlihat puas melihat teman-temannya mem bully orang sampai jadi tontonan sekelilingnya.
"Lain kali pastikan dulu kalau mau pacaran, kalau di restoran sudah jelas banyak keramaian. Besok pilih hotel aja, biar nggak kepergok sama kami."
"Sip oke!"
Mereka semua menoleh pada Amara yang kini berdiri sambil menyeringai sambil memegang handphonenya.
"Ayo lakuin lagi, apa yang kalian inginkan. Biar jelas gue punya bukti, aduin ke polisi!"
"Eh, apa yang lo lakukin, hah?!"
Satu cowok mengangkat satu tangannya maju sambil menunjuk Amara. Meskipun sebenarnya gugup, Amara berusaha terlihat berani dengan terus saja menghidupkan kameranya.
"Matiin nggak, gue bilang!"
"Lepasin mereka berdua, setelah itu kita impas," imbuh Amara tak mau kalah.
Salah satu teman Arkha tersulut emosi, dengan wajah memerah. Seiring kedua alis menyatu mengayunkan kaki akan menghampiri Amara. Akan tetapi Arkha secara cepat mengangkat satu tangan mencegah, sehingga membuat cowok itu mengurungkan niatnya.
Kini Arkha sambil terus saja menatap Amara yang masih saja sibuk merekam mereka semua dengan tatapan mematri, dingin dan datar.
"Kalian semua nggak bisa lagi ngelak, ya. Gue udah punya bukti kuat, kalau kalian sudah bersikap nggak bener sama mereka berdua!" Amara menyeringai puas melihat ponselnya, sehingga tidak menghiraukan Arkha yang semakin mendekatinya.
"Eh, mau apa lo?" tanyanya saat cowok itu sudah tepat di hadapannya.
Bahkan di saat jarak keduanya sudah dekat, Arkha terus saja bergerak maju. Sontak membuat Amara memundurkan langkah, akan tetapi ruang di belakangnya terbatas saat paha atasnya berbenturan dengan meja.
Arkha semakin mendekatkan tubuhnya, seiring matanya mencoba membuainya. Dengan kedua tangan, cowok itu memegangi sudut meja sehingga mengunci pergerakan Amara, tidak bisa berkutik dibuatnya.
Meskipun ini bukan kali pertama Amara berhadapan dengan Arkha, tapi kali ini sangat menegangkan sebab ia dalam keadaan sadar sesadarnya.
"Apaan sih, deket-deket!" ucap Amara berusaha mendorong cowok terkenal urakan di hadapannya itu. Tapi ia kesulitan, tubuh Arkha berat.
"Pergi, gue nggak suka deket sama lo, ketua genk kelompok bubuk rengginang!"
Arkha menyeringai, bahkan sampai mengalihkan pandangannya menahan tawa. Namun beberapa saat kemudian sorot matanya kembali memaku Amara.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan ponsel di belakang tubuhnya, mencegah supaya Arkha tidak mengambilnya. Ini adalah salah satu cara untuk membalas perbuatan cowok itu, meskipun tidak seimbang setidaknya ia punya sedikit senjata untuk balik menyerang Arkha!
"Mana hp lo?" Arkha menadahkan tangan, sedangkan bagian tubuhnya sudah menempel seperti cicak di dinding.
Amara bersikukuh menyembunyikan ponselnya. Bagaimana pun alasannya ia tidak akan pernah memberikan pada Arkha. Enak saja cowok itu.
Namun, bukan Arkha namanya kalau tidak dituruti keinginannya akan diam saja. Dia kini terus mendesak Amara sehingga tidak ada jarak lagi, kemudian melingkarkan satu tangannya untuk memeluk gadis itu.
Wajah Amara memerah kini, merasa sangat dipermalukan, saat tiba-tiba dingin merayap di bibirnya, dengan cepat ponselnya bahkan sudah berpindah ke tangan Arkha.
Di depan umum Amara dipermalukan seperti ini!
"Sudah kedua kalinya lo, bersikap keterlaluan sama gue! Pertama-" kata-kata Amara menggantung saat mengingat kejadian di Bali adalah hal rahasia yang harus dia jaga dari siapa pun.
"Terus, mau lo apa?" tanya Arkha memasang wajah menantang.
"Bukankah gue sudah nawarin pertanggungjawaban?" bisiknya hanya Amara yang mendengar.
"Pokoknya gue nggak terima diperlakukan seperti ini! Lo, dan kalian semua pasti dapat hukuman!" ancam Amara disertai amarah yang menggebu-gebu.
Arkha tidak merasa bergeming sama sekali, justru menyunggingkan bibir sambil bersidekap, santai.
"Di restoran ini pasti ada CCTV, kalian semua nggak akan bisa lolos lagi."
Bukan hanya Arkha, teman-temannya pun ikut terkekeh ingin menertawakan Amara yang kini sedang sibuk mengusap bibirnya.
"Lihat saja nanti, gue akan jadi orang yang antar kalian ke kepolisian, biar orang tua elo semua malu, punya anak kayak kalian!"
"Mbak, tau di mana ruang monitor CCTV?" Amara terlihat sibuk sendiri mondar mandir tak tentu arah.
Pelayanan perempuan yang sedang ditanyai hanya menggeleng sambil menatap Arkha di belakang Amara diiringi perasaan takut.
"Ya nggak mungkin kalau kamu nggak tau, Mbak! Mau coba-coba melindungi kejahatan?" hardik Amara. Namun tidak mendapatkan jawaban apa pun.
"Udah?" tanya Arkha kini memegang lengan Amara. Langsung ditepis oleh gadis itu seiring kedua matanya yang melirik malas.
"Sebelum masuk apa lo sudah baca?" tanya Arkha.
"Apa yang dibaca? Mukamu?"
"Masih bisa ngelunjak ya ngomongnya, padahal udah jelas-jelas gue megang kartu as-nya?"
Raut wajah Amara kini terlihat sedikit melemah. Bahkan beralih menatap Arkha, walau dengan kesal.
"Satu yang harus elo tau, kalau restoran ini adalah milik gue. Jadi siapa yang berkuasa?"
Amara membulatkan mata, tidak percaya. Kemudian melirik dinding belakang meja resepsionis, ada tulisan Williams. Itu berarti benar, kalau tempat ia berpijak adalah Arkha seperti bagaimana diambil dari nama besar Ayahnya, pengusaha sukses yang cukup terkenal bernama Erick Williams.
Saat harapan untuk mendapatkan rekaman CCTV sia-sia, kini Amara melirik ponselnya yang ada di genggaman cowok itu, sebab adalah benda satu-satunya yang bisa menjadi alat bantu dirinya.
Dengan cepat Amara ingin merebut, tapi Arkha segera mengangkat tangannya. Kemudian secara sengaja menjatuhkan ponsel itu.
"Sorry, Amara, gue bener nggak sengaja. Ups, sorry kedua kalinya, yah... pecah."
Arkha dengan wajah mengejek berdiri di atas ponsel Amara. Sangat menguji kesabaran gadis itu, sehingga membuat darahnya memanas ingin rasanya mencekik cowok di hadapannya sampai jiun!
"Hepe gue, lo pasti sengaja, kan?" Amara menatap miris ponselnya yang kini layarnya pecah dan tak karuan wujudnya itu.
Belum cukupkah, Arkha menghancurkan hidupnya, kini harus menghancurkan ponselnya juga?
"Kalau hp remuk begini, gimana online shop gue?!" Amara tidak tahu harus melakukan apa lagi, cowok di hadapannya yang tidak memiliki hati itu sudah menginjak ponselnya tanpa ampun.
Selain sebagai asisten dokter di klinik kecantikan, Amara juga menjual kosmetik secara online. Meskipun kecil-kecilan, uang yang masuk untuk membantu Ayahnya yang kini telah pensiun digunakan kebutuhan sehari-hari.
Handphone itu adalah benda satu-satunya yang berharga untuk membantu menghasilkan pundi-pundi uang. Jika kini hancur, dengan apa lagi ia berinteraksi dengan castemer- nya?
"Udah nggak usah sedih gitu mukanya. Ayo ikut, biar gue ganti yang lebih bagus daripada punya lo itu."
Arkha menarik tangan Amara secara paksa. Tak peduli meskipun gadis itu menolak, dia terus saja berjalan keluar sambil memegang erat pergelangan tangannya.
"Udah gue bilang, nggak mau, ya nggak mau!" bentak Amara sambil memegang ponsel rusaknya. Saat Arkha memaksanya naik ke atas motor gede miliknya.
"Tapi gue maunya elo naik, ya harus naik. Ingat, gue nggak suka dibantah, ngerti?"
"Nggak perduli!" ucap Amara mempertegas sambil melipat kedua tangannya di depan perut.
"Naik."
"Nggak!"
"Nurut sama gue."
"Dih, enak aja! Udah hancurin hidup gue, udah nyium gue di depan umum masih aja bersikap seenaknya!"
Arkha yang sedang berkacak pinggang dengan kedua tangannya itu memalingkan muka sambil berdecak.
"Lo boleh aja merasa menang sekarang, tapi ingat, nggak lama gue pasti buat– eh, eh, apa yang lo lakuin?"
Tidak mau menunggu lama, Arkha mengangkat tubuh Amara lalu menaikkan ke atas motor.
"Lo benar-benar ya, jadi orang!" Mendengar Amara marah Arkha justru menghidupkan mesin motor memutar gas sehingga deru mesin memekikkan telinga.
"Gue loncat nih!"
Kaki menggunakan sepatu Arkha menginjak persneling lalu melajukan motor dengan kecepatan tinggi.
"Kalau mau loncat, silakan aja, gue nggak akan ngelarang kok!" ucap Arkha seiring suaranya yang terbawa angin. Sebab ia mengendarai motor gede itu begitu kencang.
Tampaknya Amara berpikir seribu kali ulang, jika ingin lompat dari atas sana. Bahkan kini ia begitu ketakutan sebab kecepatan seperti angin menembus jalanan kota membuat rambut panjangnya yang tergerai terbang tak beraturan.