Episode 5: Satu Kamar

1170 Words
Suara deburan ombak menyapu pantai terdengar samar-samar oleh telinga Amara kini masih memejamkan mata. Rasanya enggan sekali gadis itu membuka kelopak mata untuk melihat keindahan dunia. Namun, ia mengerjap saat tubuhnya terasa sakit seperti remuk redam. Gadis itu sampai memegangi bahunya sendiri saat setelah bangun. Mungkin semua yang dia rasakan karena kemarin ia berjalan sampai berkilo-kilo meter jauhnya. Setelah itu bahkan dia harus mendorong mobil Arkha yang sedang mogok. Gadis berambut hitam panjang itu meregangkan otot-ototnya dengan cara menaikkan kedua tangan ke atas kepala sambil menguap ia melirik ke bawah tubuhnya sendiri. "Astaghfirullahalaazim!" Wajahnya tiba-tiba menjadi panik mengubah posisi menjadi duduk. "Ya Allah, Ayah, Ibu! Ah... mereka pasti marah padaku! Apa yang sudah kulakukan?" Melebarkan mata bulat-bulat Amara terperangah seiring kedua tangannya yang kini sedang memegang selimut untuk melihat dirinya sendiri. Butuh beberapa menit bagi gadis itu untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi padanya. Ia mengingat-ingat sedang kesal dengan ketiga temannya. Lalu memutuskan untuk menginap bersama Arkha. Karena sebegitu kesalnya saat menelepon tak kunjung dijawab juga melakukan kesepakatan dengan cowok itu. Amara meminta pada Arkha meminjamkan dirinya uang untuk dia pulang ke Jakarta. Setelah bernegosiasi cukup panjang akhirnya cowok itu setuju. Mereka juga sudah sepakat, walau dalam satu kamar akan tidur terpisah. Tidak ada pilihan lain, sebab di luar sedang turun hujan petir. Masih dalam keadaan bengong gadis itu kini menoleh. Di depan jendela ia melihat Arkha duduk dengan santai sambil menghisap dan menghembuskan asap putih yang mengepul dari sebatang rokok terselip di antara dua jarinya. "Kurang ajar!" Dengan emosi segenap jiwa Amara melempar bantal tepat mengenai wajah cowok itu. Sehingga bibirnya secara tidak sengaja terkena kuntum rokok yang masih membara. Sontak hal itu mengundang kemarahan Arkha, wajahnya memerah seketika menatap Amara. "Lo itu apa-apaan, sih?" tanyanya. "Lo itu yang apa-apaan! Ini semua pasti rencana lo, kan? Gue dah tau akal busuk lo sejak kuliah dulu!" Amara terlihat begitu putus asa, melihat kondisinya seperti sekarang. Tidak mungkin jika semalam baik-baik saja. Arkha memilih tak menanggapi ocehan Amara. Dia bahkan justru menyeringai lalu kembali menghidupkan rokok. "Gimana bisa lo sesantai itu setelah lakuin sesuatu yang akan buat hidup gue hancur?" Amara tidak bisa mengingat kejadian semalam. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Ia sudah berusaha mengingat ingat semaksimal mungkin, akan tetapi percuma. "Apa yang lo lakuin sama gue semalam?" tanyanya dengan nada menyorot. "Lo tanya, mau pura-pura biar seolah-olah gue yang salah ya di sini? Padahal kita ngelakuin hiya-hiya semalam kan, atas dasar suka sama suka." "Enak aja, gue yakin ini adalah tak tik lo, biar bisa tiduri gue! Secara gue tau kalau sejak dulu, lo selalu pengen itu kan dari gue?!" Entah bagaimana Amara akan mengatakan pada keluarga, acara pernikahan tak lama lagi akan digelar. Ia telah menodai semuanya. Kafeel–calon suami yang dia cintai sepenuhnya, ia tak tahu lagi harus melakukan apa, entah bagaimana ia menatap matanya. Amara sudah menjadi penghianat. Kini ia benar-benar putus asa merutuki apa yang terjadi padanya. "Lo yakin, mau lihat apa yang kita lakuin tadi malam?" Entah kapan Arkha berjalan menghampirinya, tiba-tiba dia sudah ada di dekat Amara sambil membawa kamera berlensa warna hitam di hadapannya. "Ini lo lihat sendiri." Bola mata Amara membulat menatap layar yang menampilkan potret dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata lagi pemandangan di hadapannya benar-benar membuat tak bisa berkutik seperti patung. "Ini pasti gak bener, lo pasti jebak gue," ucapnya sambil menatap tak berkedip sama sekali. Rasanya sangat sulit dipercaya kalau orang dalam foto itu adalah dirinya. Oleh sebab itu, ia mengambil kamera itu melihat lebih jelas. "Udah tau sendiri, kan, gimana tingkah lo?" jelas Arkha sambil menyeringai. Cowok kini tanpa mengenakan kaos hanya memakai celana jeans panjang warna hitam saja itu segera mengambil kamera di tangan Amara. "Sebelum dia membantingnya," gumamnya. Ia melihat lagi hasil potretnya tadi malam banyak menorehkan hasil karya di anggota tubuh Amara bagian atas. "Udah, lo nggak perlu khawatir, lagian kalau terjadi apa-apa sama lo, gue akan tanggung jawab, mau dengan cara apa? Uang? Atau secara moril? Gue nikahin lo?" "Aduh...." Amara mengacak-acak rambutnya. Ia tidak bisa habis pikir, dirinya ada di ujung tanduk sedangkan Arkha terlihat begitu santai. "Gimana sih, caranya ngomong sama lo. Bisa nggak ngertiin kondisi dikit aja?" "Memangnya apa yang harus gue ngertiin tentang lo? Siapa-siapa bukan, seenaknya aja kalau ngomong. Udah-udah kita langsung saja ke intinya, lo mau apa dari gue? Tinggal bilang," ucap Arkha. "Ini tuh, bukan hanya sekedar ganti rugi, uang atau apa tadi yang lo tawarin. Ini itu tentang kehormatan, kepercayaan orang tua gue. Mereka pasti bakalan kecewa banget kalau tau, gue seperti ini sekarang." Amara menutup mukanya sendiri dengan kedua tangan. Rambutnya yang terurai ikut terombang-ambing saat ia menggeleng. Amara menatap Arkha dengan tatapan nanar. "Tolong jujur, apa sebenarnya yang terjadi sama gue? Jawab," pinta Amara. "Ya... pastinya lo nggak buta, kan? Bisa lihat apa yang udah lakukan dari setiap scene yang kita lakukan. Mau gue ulang, biar lo ingat apa yang terjadi?" Amara seketika menoleh seiring tatapan mata menyorot tajam menyilang kan kedua tangan di depan dadanya. "Semua yang ada dalam kamera itu, pasti bo ong, kan? Lagian kalau emang benar, gimana bisa gue gak sadar sama sekali?" Amara sendiri merasa bingung kenapa bisa seperti itu? Setelah diingat-ingat Amara semalam menghabiskan makanan yang diantar oleh pegawai penginapan. Lalu Amara juga mengingat sesuatu, matanya melirik ke sisi sebelah kiri ada tempat sampah abu-abu tertutup sempurna. Sedangkan di bawahnya berserakan beberapa minuman kaleng. Itu berarti menandakan kalau dirinya? Amara segera mengerjap lalu menyingkap selimut berjalan untuk mengambil satu kaleng kosong yang tergeletak di lantai. "Ini tulisannya kadar alkohol empat koma tujuh persen, itu berarti?" Segera menoleh pada Arkha. Ia tidak bisa membiarkan begitu saja, ia merasa dijebak. "Apa? Mau marah? Mau nyalahin gue, jelas-jelas itu kesalahan lo sendiri? Gue udah mau cegah, tapi lo nya yang gak tau diri. Saat makanan penuh di mulut langsung aja menenggak minuman sampai habis." Amara mengepalkan kedua tangan di samping tubuh seiring satu kaki menghentak kesal. "Gue sih, nggak heran lihat lo makan seperti semalam. Ya wajarlah, lahir dari kaum miskin, jadi maruk lihat makanan enak. Pasti semalam lo baru tau rasanya makanan seperti itu, kan?" Semakin membuat kesal, kata-katanya ingin rasanya Amara meninju matanya sehingga dia merasa bersalah. Amara bukannya kemaruk, tapi ia benar-benar sangat lapar sebab terakhir kali menyuap nasi saat pagi kemarin. Namun, berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa tidur sampai pulas tidak mengingat apa pun. Ia sering mengabaikan kebiasaan tertidur seperti itu, namun siapa sangka, kini kebiasaan itu berubah menjadi mala petaka! "Harusnya lo bersyukur, karena banyak yang ngantri buat tidur sama gue, bahkan ada yang cuma jebak hanya sekedar untuk buat postingan mereka di sosial media." Amara benar-benar tidak tahan lagi mendengarkan kesombongan yang keluar dari bibir cowok di hadapannya. Arkha tidak tahu kalau hidupnya sudah hancur sekarang. Bahkan mata Amara berkaca-kaca sambil mengangkat kedua tangannya ingin memukul cowok itu untuk melampiaskan kekesalannya. "Eh, lo mau ngapain?" Arkha menghindar memundurkan wajahnya sambil memegang tangan Amara. "Seenggaknya kalau mau berantem lo pakai baju dulu gih, dari pada gue ngulang lagi kejadian semalam." "Lo itu benar-benar cowok berengsek!" Amara segera berlari untuk mengambil selimut menutupi tubuhnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD