Episode 4: Healing Membawa Duka

1025 Words
Tenaga keduanya sangat lemas saat setelah memarkir mobil di tepi jalan di halaman sebuah penginapan terpencil yang berjarak jauh dari pusat perkotaan. Warna kekuningan lampu menghiasi halaman tempat itu membuat mata yang melihatnya terkesima akan keindahannya. Suasananya sangat indah, udara sejuk membuat tarikan napas merasa segar masuk ke dalam paru-paru. Namun, setelah membuka mata Amara menoleh pada Arkha yang berdiri di sampingnya diiringi perasaan bingung sambil mengerutkan dahi. “Kenapa kita sampai sini? Apa kamu gak sadar kalau jalan yang barusan kita lewati semakin menjauh dari vila? Dan di mana kita sekarang?” tanyanya sambil mendongak ke atas, menatap jauh ke depan tempat itu seakan-akan melambai memanggilnya untuk segera masuk. Sedangkan Arkha tanpa mempedulikan pertanyaan Amara memilih mengabaikannya, membuka pintu mobil mengambil dompet dan juga barang-barang penting lainya untuk dia bawa pergi masuk ke dalam penginapan. Cowok itu berjalan santai meninggalkan Amara yang masih saja memeperhatikannya dengan rasa kebingungan. “Eh, kamu mau ke mana?” tanya Amara mengejarnya di bekalang. Arkha yang kini memegang jaket kulit di satu pundaknya itu menyeringai. Melirik ke samping memperhatikan Amara sehingga membuat gadis itu salah tingkah beberapa saat karena tidak nyaman. “Coba elo lihat, jam berapa sekarang?” tanya cowok tampan, memiliki rambut hitam lurus belah tengah itu. “Ya mana kutahu… gue sekarang kan, lagi gak bawa apa-apa,” jawab Amara menatap Arkha kesal. Akan tetapi tiba-tiba layar handphone tipis menyala terang di hadapan mukanya. “Dih, apaan sih?” kesalnya. “Coba lihat sendiri, jam berapa ini? Jam Sembilan lebih sedikit,” balas Arkha sambil menunjuk-nunjuk ke arah layar handphone merk keluaran perusahan tenama memiliki logo apel digigit secuil itu. Amara tahu, kalau niat lelaki pengangguran penguras harta keluarga itu bukahlah untuk memperlihatkan angka jam padannya. Tetapi ingin menunjukkan kalau smartphone yang dia pegang masihlah baru. Meski pun Amara miskin tetapi masih tau mengenai update handphone keluaran terbaru yang kini digemari oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Harganya pun tak main-main di atas kisaran dua puluh juta. Gadis itu hanya bisa menggeleng melihat tingkah cowok di hadapannya yang kini memasukkan benda digital ke tas kecil bawaannya. “Mobil gue mogok, seenggaknya elo bersyukur karena masih ada tempat ini buat istirahat sementara.” Amara memperhatikan tempat itu sekali lagi, begitu sepi hanya suara angin berembus dan deburan ombak saja yang masuk ke dalam pendengarannya. Ia menjadi ragu, apakah penginapan itu dihuni oleh manusia? Atau jangan-jangan hanya ada mahkluk astral di dalam sana. Sebelum melangkah masuk ke dalam sana saja Amara memikirkan hal yang tidak-tidak. Sampai ia tidak sadar, Arkha meninggalkannya melangkah jauh di depannya. Amara yang memiliki sifat penakut itu seketika menoleh ke kanan dan kiri terpelonjak mengejar Arkha masuk ke dalam. Ternyata pada saat sampai cowok itu sudah memegang sebuah kunci di tangannya selesai melakukan pesan kamar. Gadis itu berdiri bagai patung, tak tahu harus melakukan apa. Ia tak memiliki uang sepeser pun, ponsel tak ada. Kalau Arkha memesan sebuah kamar, lalu bagaimana dengan dirinya? Ia terus saja memperhatikan Arkha yang berjalan ke arahnya. Sambil mengigit bibir ia tampak ragu ingin meminta supaya cowok itu memesan satu kamar untuknya. Namun keinginannya ia abaikan begitu saja, memilih untuk menghampiri resepsionis perempuan cantik dan sopan yang berdiri di depan layar komputer. "Permisi, Kak." "Ada yang bisa saya bantu?" "Bolehkah aku pinjam teleponnya, untuk menghubungi teman-temanku yang lagi tersesat?" tanyanya dengan ragu. Sedangkan Arkha yang mendengarnya tampak berhenti. Memperhatikan dari jarak lima meter darinya. Untung saja resepsionis itu memberi izin pada Amara untuk meminjam telepon. Gadis itu segera bergegas menekan satu nomor yang dia hapal, itu pun samar-samar sebab selama ini ia tak pernah memperhatikan kecuali miliknya sendiri. Setelah menyandarkan tubuhnya sendiri ke meja resepsionis sambil mengigit bibirnya sendiri, Amara terlihat gelisah tatkala tidak kunjung mendapat jawaban dari seberang sana. "Gimana?" Ia terkejut menoleh ke belakang saat tiba-tiba Arkha bertanya. Wajah Amara murung, bibirnya bersungut-sungut sambil meninggalkan meja resepsionis. Jujur, rasa kesal gadis itu pada teman-temannya sudah membuncah di atas ubun-ubun. Sebegitu kesalnya bahkan Amara tidak ingin melihat wajah mereka lagi. "Arkha, kalau boleh minta tolong... untuk malam ini, aku... mau kamu bayarin kamar aku buat nginep di sini. Gimana?" tanya Amara ragu-ragu. Cowok itu justru menaikkan sebelah alisnya setelah mendengar permintaan darinya. "Besok pas udah ketemu sama teman-teman, gue bakalan ganti kok... kamu gak perlu khawatir, berapa pun uang yang lo keluarkan malam ini pasti kuganti," ucap Amara. Kali ini nada suaranya sangat berbeda dari pada biasanya yang selalu ketus jika berhadapan dengan Arkha. "Memangnya teman-teman lo punya uang? Bukannya kalian ke sini karena dapat geratisan dari pak Walikota?" Kata-kata Arkha memang suka benar-benar tak tau aturan. Membuat Amara mengepalkan kedua tangannya sambil menyatukan alis. Matanya menyipit seolah mengintai. "Asal elo tau aja, ya! Gue sama teman-teman itu datang ke sini, karena pakai uang dari tabungan, bukan gratisan! Enak aja kalau ngomong," ucap Amara tak terima disertai dengusan. Meskipun ia merasa kesal pada mereka, tetap saja Amara tidak terima kalau Arkha menjelekkan teman-temannya. Arkha hanya menyunggingkan bibirnya sambil mengerdikkan kedua pundaknya. Ia memilih untuk mengabaikan Amara untuk pergi ke kamar yang sudah dia pesan. "Kalau lo mau tidur di sini malam ini ikut sama gue, kalau nggak mau lebih baik lo keluar sebelum diusir sama pak scurity!" "No, no, no!" Amara merentangkan kedua tangannya berdiri di depan Arkha untuk menghalangi langkahnya. "Gue sudah katakan, kalau mau pinjam uang buat pesen kamar malam ini aja, kenapa lo pelit banget?" "Bukan pelit, tapi di sini udah nggak ada kamar lagi, Amara!" Amara membulatkan mata tak percaya apa yang telah dikatakan oleh Arkha. Untuk memastikan ia berbalik badan lalu mengambil resepsionis untuk mempertanyakan. "Apakah benar kak, kalau penginapan ini penuh, cuma tersisa satu kamar saja?" Resepsionis itu tersenyum manis dan ramah padanya sambil mengangguk. "Benar sekali, kebetulan kamar yang dimiliki penginapan di sini tidaklah banyak, hanya ada enam saja. Baru saja ada beberapa turis dari luar negeri berombongan memesan lima kamar, jadi mohon maaf, sekali atas ketidak nyamanan nya," ucapnya sambil menyatukan kedua tangannya di depan untuk meminta maaf. Amara menghela napas seiring mendengus kesal. Untuk beberapa saat ia menelungkup kan kepalanya di atas tangannya yang saling bertumpu di meja. "Entah ada apa dengan liburan gue kali ini, seolah-olah Tuhan nggak merestui. Selalu ada aja masalah," batinnya menepuk-nepuk dahinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD