Kaniya bisa melihat bahwa staff yang membawanya memasuki lift baru saja memencet tombol angka dua digit untuk lantai tujuan mereka. Gadis itu cukup terkejut melihat tingginya lantai tujuan mereka hanya untuk melakukan tes wawancara hari ini. Tidak membutuhkan waktu yang lama, pintu lift akhirnya terbuka dan mereka berdua melangkah keluar.
Tidak banyak orang yang berada di lantai tersebut sejauh mata memandang. Lantainya terlihat sangat bersih dan bagus. Kaniya tetap diam mengikuti staff di depnnya dengan patuh sembari memerhatikan area sekitar. Hingga langkah mereka berhenti di depan sebuah ruangan paling ujung. Staff tersebut membuka pintu ruangan tersebut dan memasukinya bersama dengan Kaniya. Sekali lagi Kaniya dibuat takjub dengan apa yang dilihatnya.
Ruangan itu kosong. Sama sekali kosong, selain hanya satu set meja yang di tata di dekat jendela dengan satu kursi di depannya. Mungkinkah ini merupakan Aula? Atau memang ruang kosong yang tidak pernah dipakai? Batin Kaniya bertanya-tanya sembari memerhatikan ruangan tersebut. Beruntung ruangan itu masih terasa sejuk karena Pendingin.
“Ini adalah tempat ruang pertemuan anda, Nona.” Kaniya kembali melempar pandang ke arah staff tersebut. “Anda bisa menunggu Tuan Barons datang di sini.”
Kaniya menganggukkan kepala sembari melempar senyum sopan. Lalu staff itu pun pergi meninggalkan dirinya seorang diri di tempat ini. Kaniya melangkah semakin masuk ke dalam, mendekati satu-satunya kursi yang sepertinya memang diperuntukkan padanya.
“Baiklah! Ayo semangat dan lakukan yang terbaik untuk hari ini juga!” seru Kaniya menyemangati diri dengan kepalan kedua tangan di depan d**a. Gadis itu mendudukkan pantatnya kemudian dan mulai menyiapkan semua berkas lamaran kerja yang telah dibawanya. Memeriksa kembali apa yang tertulis di sana dengan cermat, sembari mempelajari bahan materi yang mungkin akan diujikan pada tes nanti.
Mungkin jika untuk Title Kaniya bisa saja kalah, tapi jika itu tentang Kemampuan, Kaniya tidak akan memberikan yang terbaiknya untuk tidak sampai kalah. Semua ini demi masa depan dirinya dan Kalio. Dirinya harus berhasil. Semangat Kaniya benar-benar membara pagi ini.
Namun semua itu mulai meredup secara perlahan ketika sampai beberapa jam terlewati pun tidak kunjung ada orang yang datang memasuki ruangan tersebut. Kaniya terdiam di tempat sambil sesekali memperhatikan jam dinding yang ada di sana. Hampir tiga jam dirinya menunggu dengan sabar staff yang akan melakukan tes kerja untuknya, akan tetapi tidak ada kabar lanjutan dari mereka sama sekali.
Bahkan satu orang pun tidak ada yang terlihat mendekati ruangan tersebut. Mungkin karena ruangan yang dimasukinya merupakan ruangan paling ujung sehingga tidak akan ada orang yang lewat kecuali mereka memiliki kebutuhan di tempat ini. Atau mungkin mereka telah melupakan kehadiran Kaniya di sana?
Kaniya sudah menunduk lesu. Dirinya takut untuk bertanya lalu mendapatkan jawaban yang tidak diharapkannya. Bagaimana jika ternyata mereka telah membatalkan tes kerjanya hari ini? Kaniya akan merasa sangat kecewa jika sampai hal itu terjadi. Namun dirinya sudah menunggu terlalu lama di sini. Mau sampai kapan dirinya akan menunggu tanpa kepastian seperti ini?
Terjadi pergolakan batin dalam diri Kaniya. Antara tetap berharap, atau menyerah saja. Tidak. Dirinya harus bisa menghadapi kenyataan dan Move On untuk pergerakan selanjutnya. Jika mereka memang tidak berniat melanjutkan tes hari ini, maka lebih baik Kaniya fokus mencari tempat kerja yang lain. Setelah menyiapkan dirinya, akhirnya Kaniya memutuskan untuk bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu keluar.
Baru saja gadis itu mengulurkan tangan pada gagang pintu, Kaniya terkejut ketika pintu tersebut tiba-tiba terbuka dari luar. Membuat dirinya hampir menubruk d**a bidang yang kini berdiri di depan matanya.
“Ah ...”
Kaniya seketika terpaku di tempat ketika pandangan matanya langsung terkunci pada mata biru yang terlihat begitu dingin menatapnya dari atas sana mengingat selisih tinggi mereka yang cukup jauh. Untuk beberapa saat Kaniya seolah tidak bisa melepaskan pandangan mata dari pemilik mata biru tersebut. Terlebih ketika melihat mata biru itu menatapnya dengan begitu intens seolah ingin menelannya hidup-hidup, menenggelamkannya ke dasar laut yang begitu dalam, dan mengurungnya dengan ketat.
Jantung Kaniya berdetak begitu cepat dan keras. Seolah dirinya tengah melihat hantu tepat di depan mata. Kedua lututnya seolah ingin meleleh kehilangan kekuatan tanpa sebab. Kaniya merasa takut tapi juga antusias di waktu yang bersamaan. Melihat lebih dekat, Kaniya baru menyadari bahwa dirinya pernah melihat mata dingin itu di suatu tempat. Ya, mata dingin dengan penuh kebencian itu adalah mata dari seorang pria yang dua hari lalu telah ditemuinya di jalan. Pria bertopi yang telah menubruk tubuhnya di pinggir jalan.
Kaniya tidak pernah menyangka dirinya akan bertemu dengan pria itu lagi. Jika saat itu dia memakai baju santai dengan tema hitam yang melekat dengan begitu ketat seolah tidak sanggup menampung tubuh kekar nan bidangnya bagai seorang penjahat, kini pria itu berpenampilan begitu rapi dan berkelas dengan setelah jas mahal masih bertema gelap, sepasang sepatu pantofel berkilat dan jam tangan bermerk yang melekat dengan apik di pergelangan tangan kirinya.
Walau penampilan mereka terlihat berbeda, tapi vibe yang ditunjukkan tetap terasa luar biasa dalam berbagai arti untuk menarik banyak mata yang memandang. Kaniya merasa ingin lari dan mengindari pria tampan bertubuh tinggi di depannya, akan tetapi seolah ada sesuatu yang menahan tubuhnya untuk tetap diam di tempat dan menyuruhnya untuk tidak membuat pria itu menjadi marah kepadanya. Alhasil Kaniya hanya bisa menelan air ludah dengan kasar.
“Mau pergi ke mana kau?”
Suara berat nan dalam dengan nada dingin itu membuat dadanya terasa semakin sesak. Kaniya merasa bingung dan tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan yang terlihat begitu mudah itu. Seolah di balik pertanyaan kecil itu, tersimpan nada ancaman yang tidak seharusnya Kaniya abaikan.
“Oh Nona Kaniya, selamat pagi. Apa kau sudah menunggu lama di sini?” Suara ceria yang terdengar dipaksakan itu berhasil membuat Kaniya menghela napas lega. Gadis itu berhasil mengalihkan pandang ke arah Tuan Barons yang ternyata juga telah berdiri di sana. Nampaknya pria itu tahu bagaimana intensnya aura di sekitar mereka berdua sehingga dia mengambil inisiatif dengan membuka suara terlebih dulu untuk mencairkan suasana di antara mereka.
“Se—selamat pagi, Tuan Barons,” jawab Kaniya dengan senyum kecil yang juga dipaksakan. Seketika udara sesak di sekitar mereka terasa mencair secara perlahan. Kaniya menjadi lebih mudah bernapas. Melihat wajah ramah Tuan Barons yang kini juga mendekat di antara merek berdua membuat Kaniya merasa lebih aman dan lebih lega, walau sebenarnya dirinya masih merasa dengan begitu jelas tatapan tajam yang tengah dilemparkan oleh pria bermata biru itu padanya.