18 | A-Bang?

1375 Words
"Kak Leha!" panggil Ainun. "Ini ditaruh di mana?" Ia menenteng baskom besar yang berisi gulai nangka. "Bawa masuk ke dalam kamar itu!" Zulaikha menunjuk kamar berukuran kecil pada Ainun. Segera Ainun membawanya tertatih-tatih. Begitu gulai nangka berpindah tempat, ia duduk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ini hari ke tiga meninggalnya ibu Zahara. Setiap menjelang magrib sebelum berbuka puasa, mereka berzikir bersama, tahlilan, dan mengirim doa untuk arwah terlebih dahulu. Dan setelah shalat Tarawih juga ramai yang bertakziah. Siang hari, selain Hanum, Ainun, dan Zulaikha, para tetangga juga ikut serta membantu di dapur. Sementara Zahara ditemani suaminya menerima tamu-tamu yang datang dari berbagai kampung ataupun kota yang memang mengenal keluarga Zahara. Termasuk saudara-saudara jauh Zahara. Setiap kali air mata menyeruak, Syamsul selalu menghibur istrinya, sang sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya. Terkadang Ainun ikut tersenyum, meskipun masih ada sisa-sisa duka di hatinya, namun melihat bagaimana kakunya Syamsul menghibur Zahara membuatnya geleng-geleng kepala. Semoga saja di saat ia bersedih nanti, Zulfikar tidak sekaku abangnya. "Kamu sudah shalat Ashar, Nun?" teguran sang bunda membuyarkan lamunannya. "Belum, Mak, ini baru aja istirahat, capek angkut-angkut itu tadi." Ainun menunjuk baskom-baskom besar dari bahan stainless. Isinya sudah tentu gulai nangka, ikan dan ada juga yang lainnya. "Ya sudah, sekarang shalat dulu sana," perintah Hanum. "Oh, ya, ada liat abang di mana?" tanya Hanum sebelum meninggalkan Ainun. "Kalau gak ada di luar, palingan di kamarnya," tebak Ainun asal. Tanpa bicara lagi, Hanum meninggalkan Ainun yang masih duduk di kamar, tempat makanan yang sudah masak disimpan. ***** Ainun baru saja menyudahi bacaan Qur'an-nya saat notifikasi pesan masuk ke ponselnya berbunyi. Ia raih benda pipih itu lalu ia buka. Ada dua pesan dari Zulfikar. Masih sibuk? Jangan lupa shalat! Perhatian Zulfikar menghadirkan getaran di hatinya. Menggigit bibir bawahnya, Ainun menimang-nimang apa yang hendak ia balas. Akhirnya hanya ucapan terima kasih yang ia kirimkan. Ting! Ainun mengerutkan keningnya saat tiga tanda tanya sebagai balasan. Terima kasih atas perhatiannya! Hihihi.... Setelah membalas pesan, ia keluar dari kamar ibu Zahara yang selama ini ia tempati bersama Hanum. "Nun, Akak pulang dulu, ya, udah dijemput sama Ijoel, tuh, nanti malam Akak datang lagi," pamit Zulaikha pada Ainun ketika kakinya baru ia jejakkan di dapur. "Oh, iya, Kak! Terima kasih, ya. Akak udah pamit sama Zahra?" tanyanya seraya mendekati calon kakak iparnya. "Sudah tadi sama Mak Cik Hanum juga, Akak sengaja tunggu Ainun dulu, gak enak rasanya pulang begitu aja tanpa pamit sama adek ipar Akak," ucapnya diselingi tawa ringan. Ainun tertawa malu karena Zulaikha menggodanya. Ainun mengantar Zulaikha keluar lewat pintu samping. Di bawah tenda tampak Zulfikar duduk bersama Syamsul. Ada juga beberapa orang lainnya. Zulfikar beranjak setelah pamit pada Syamsul. Ia menyongsong kedua wanita yang berjalan ke arahnya. "Itu apa, Kak?" tunjuknya pada kantong plastik yang dibawa Zulaikha. "Teman nasi buat buka puasa nanti." "Udah shalat?" Kini ia beralih ke Ainun. "Alhamdulillah, udah dari tadi." "Jangan terlalu capek, bantu-bantu aja sebisa mungkin. Aku pulang dulu, ya." Tidak ada yang tahu kalau hati Ainun sedang berbunga-bunga. Tidak hanya melalui HP, sekarang perhatiannya langsung-langsung di depan Ainun, bahkan Zulaikha sejak tadi senyum-senyum sendiri menyaksikan adiknya terlalu mengkhawatirkan Ainun. "Tuh, dengar nasehat calon suami, khawatir sekali dia ke kamu, Nun," kekeh Zulaikha seraya mencolek lengan Ainun gemas. Zulfikar tersenyum. "Hanya mengingatkan, bukan berarti melarang, Kak. Liat aja sekarang matanya, keliatan cekung, tuh!" Zulaikha mengangguk-angguk setuju setelah memerhati mata Ainun. Zulaikha ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung karena seseorang memanggilnya. "Akak ke sana dulu." "Gak cukup tidur?" tanya Zulfikar setelah ditinggal berdua oleh kakaknya. Ainun menyengir tidak tahu mau menjawab apa. Kalau ia jawab 'cukup' berarti ia berbohong, dan kalau ia menjawab sebaliknya, apa ia akan diomeli? "Nanti kamu ke sini lagi?" Ainun mengalihkan pertanyaan Zulfikar. "Kenapa?" "Mmm... minta tolong belikan es kelapa muda, tapi kalau bisa itu buatan kamu, bisa?" ucap Ainun malu-malu. Zulfikar kembali tersenyum. "Insya Allah, nanti aku bawakan. Kamu jaga kesehatan, ya, aku antar Kak Leha pulang dulu," katanya saat melihat Zulaikha berjalan kembali ke arah mereka. Ainun mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya!" Setelah Zulfikar menghilang bersama Zulaikha dari pandangannya, Ainun mendekati Syamsul. "Jam berapa mulai doa-nya, Bang?" Mengambil tempat duduk di samping sang abang, Ainun memerhati sekeliling. "Seperti kemarin, jam enam kurang." "Zahra mana?" "Dek," panggil Syamsul lembut. "Jangan panggil Zahra lagi, walaupun dia sahabat kamu, tapi sekarang dia sudah menjadi Kakak Iparmu, istri Abang." Syamsul mengingatkan Ainun akan panggilannya pada Zahara. "Lupa!" cengirnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Biasakan biar gak lupa lagi." "Insya Allah." "Tadi ngomong apa sama Ijoel?" "Gak ada, cuma mengingatkan jangan lupa shalat sama jangan terlalu capek aja, sih," jawab Ainun sekedarnya. Syamsul bersyukur, adiknya mendapatkan calon suami yang begitu perhatian. Masih bergelar calon saja perhatian begitu, apalagi kalau sudah sah menjadi suami, Syamsul yakin adiknya akan dilimpahi kasih sayang yang besar. "Abang belum jawab pertanyaanku, Cut Kak, Mana?" Ainun mengubah panggilannya pada Zahara. Mendengar sebutan untuk Zahara berganti Cut Kak, mau tidak mau membuat Syamsul tersenyum simpul. "Di kamar mungkin, coba kamu liat ada gak?" Gegas Ainun bangkit dari duduknya. Berjalan masuk ke rumah dan mengetuk pintu kamar Zahara pelan seraya memanggil namanya. "Kak... Cut Kak!" "Panggil siapa?" Ainun tersentak. Lantas ia berpaling ke belakangnya. "Ya Allah, rupanya kamu di sini." Ainun melangkah mendekati Zahara yang tengah membantu Hanum mengatur kue ke dalam piring-piring kecil di ruang tengah. Letaknya tidak jauh dari kamar Zahara, sehingga suara panggilan Ainun tadi terdengar sampai ke ruang tengah. "Cari siapa?" ulang Zahara. Ia sudah mulai tampak biasa saja, gurat kesedihan tidak lagi memenuhi wajah sang kakak ipar. Meskipun masih ada sedikit sisa, namun ia sudah menerima takdir Yang Kuasa. "Cari kamu!" "Tapi kamu manggil-manggil Cut Kak tadi, siapa dia?" tanya Zahara penasaran. Hanum tertawa mendengarnya, tapi ia diam saja. Jari jemarinya masih sibuk menata kue-kue dan mengisi air teh ke dalam gelas di atas talam besar. Nanti talam dan kue-kue itu akan diangkat ke bawah tenda buat tamu-tamu berbuka puasa. Nasi yang terhidang pun sudah berjejer rapi di atas tikar. Suara bacaan samadiah mulai terdengar. Sore ini dipimpin langsung oleh menantu sang punya rumah, yaitu Syamsul Bahri Ar-Rasyid. "Ya, kamu, Kak Zahra Sayang...." Ainun mencubit gemas pipi sahabatnya. "Iiihhh... Ainun, sakit tau!" Zahara mengusap-usap pipinya yang memerah sebab cubitan Ainun. "Tapi kenapa manggil Cut Kak? Panggil kayak biasa aja lah," pinta Zahara yang tak mau nama panggilannya diganti Ainun secara sepihak. "Enggak, ah! Ntar aku dimarahi Abang, kamu mau tanggung jawab?" "Benar Nak Zahra, kamu sekarang, kan, sudah jadi istri Abang, pantas dia memanggilmu begitu." Hanum menimpali obrolan mereka. Kalau Hanum sudah berucap, tidak ada yang bisa menolak. Dengan sedikit enggan akhirnya ia menerima Ainun memanggilnya Cut Kak. Tapi kalau mereka sedang berdua, ia tetap ingin dipanggil Zahra seperti biasanya. Menjelang buka puasa, Zulfikar datang. Pakaiannya telah berganti, tidak sama seperti tadi saat ia menjemput Zulaikha. Ainun nyaris menumpahkan air yang ia bawa melihat penampilan Zulfikar yang begitu mempesona. Zulfikar yang mendekat dengan menjinjing satu kantong plastik di tangan kanannya, segera mengambil alih bawaan Ainun setelah meletakkan kantong itu ke atas meja di dekatnya. "Nampan berat begini kenapa gak minta tolong dibawakan sama yang lain?" Zulfikar bertanya lembut, tetapi bagi Ainun, ia seperti dimarahi olehnya. "Yang lain lagi sibuk," cicitnya pelan. Zulfikar tidak mengatakan apa-apa lagi. Nampan yang berisi belasan gelas air teh, ia bawa ke bawah tenda. Syamsul menyambutnya dan mengatur rapi bersanding dengan piring nasi dan yang lainnya yang sudah ditata terlebih dahulu. Sebentar lagi waktu berbuka tiba. Bacaan samadiah telah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Zulfikar kembali ke tampat Ainun berdiri. Kantong plastik yang ia taruh di atas meja tadi ia ambil dan memberikannya pada Ainun. "Ini air kelapa muda pesanan kamu, ada beberapa bungkus, siapa tau yang lainnya juga mau ini." Ainun menerima. "Terima kasih, Abang!" Seketika Zulfikar tersentak dengan panggilan Ainun kepadanya. "Coba ulangi lagi!" "Apa? Terima kasih?" tanya Ainun bingung. "Bukan, setelahnya." "A-bang?" tanya Ainun ragu. Sontak sebuah senyuman memenuhi wajah Zulfikar. Ia tidak menutupi rasa senangnya dipanggil 'Abang' oleh si calon istri. "Jangan ubah panggilan itu, Abang suka." Dan ia pun menyebut dirinya 'Abang' dengan hati membuncah senang. Sadar akan keceplosannya, Ainun gegas berbalik meninggalkan Zulfikar seorang diri. Mau dibawa ke mana mukanya ini? Gerutu Ainun di dalam hatinya. Berbeda dengan Ainun yang malu-malu, Zulfikar malah sebaliknya. Sampai berbaur dengan yang lainnya saja ia masih menyunggingkan senyum. Semoga saja ia tidak dianggap gila karena tersenyum-senyum sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD