19 | Euforia Cinta

1338 Words
Zulfikar mendesah. Sejak tadi ia hanya membolak-balikkan badannya ke kiri dan ke kanan tanpa bisa memejamkan matanya. Gurat wajah Ainun serta suara panggilan 'Abang' membayangi pikirannya. Ia tarik bantal di bawah kepalanya lalu ia tutupi wajahnya, berharap bayangan itu menghilang dari pikirannya. Kejadian sore tadi benar-benar membuat hatinya tak berhenti berdesir. Berkali-kali embusan napas keluar dari sarangnya, tetapi tak jua mereda kegundahan hatinya. Bayangan itu membuat pikirannya menari-nari entah ke mana. Jarum jam pendek kini sudah di angka satu malam. Beberapa jam lagi masuk waktu sahur, sementara dirinya belum bisa tidur dengan nyenyak. Alamat besok kelopak matanya pasti berat rasanya untuk terbuka. Ia raih benda pipih di atas meja, membuka-buka setiap aplikasi. Baru ia sadari selama ini ia mengirimi pesan pada Ainun hanya melalui messenger. Mengembuskan napas pelan, ia letakkan kembali benda itu di atas meja. Besok saja ia meminta langsung nomornya pada Ainun. Baru saja ia terlelap, suara Zulaikha diiringi ketukan pintu menariknya dari alam bawah sadar. "Joel, bangun udah sahur!" Meraup wajahnya, Zulfikar beranjak dari tidurnya. "Iya, bentar," sahutnya dari dalam. Merenggangkan otot-ototnya sejenak, lalu ia keluar dari kamar. Di meja makan tampak Zulaikha sedang menyendokkan nasi ke piring suaminya. Dengan sempoyongan ia berjalan ke arah kamar mandi. Tidak lama, suara gemericik air yang terdengar berhenti mengalir. Daun pintu terbuka. Wajah yang kuyu tadi kini terlihat segar. "Telat tidur lagi?" tanya Zulaikha seraya menyerahkan nasi yang telah ia sendokkan. "Keliatan, ya?" Zulfikar mengambil nasi yang disodorkan padanya. "Iya, matamu memerah begitu." Zulfikar tersenyum tipis, membaca doa dan memulai makan dalam diam. "Besok kamu ke rumah duka lagi?" Murdani yang telah selesai menyantap sahurnya bersuara memecah keheningan yang sesaat tadi melingkupi meja makan. "Insya Allah, Abang mau antarin?" "Biar aku aja," jawab Zulfikar cepat. Murdani tersenyum simpul. "Kenapa?" "Besok Bang Mur kerja, kan? Jadi, biar aku aja yang antarin." Zulfikar tak menyadari lirikan mata Zulaikha dan Murdani padanya disertai senyuman geli. Mereka saling berucap tanpa suara. "Baiklah, hati-hati bawa hondanya, Kakakmu satu-satunya istriku, dan aku belum siap kehilangannya." "Iiihh... Abang...!" Zulaikha memukul lengan suaminya. Sedangkan Zulfikar terkekeh pelan melanjutkan makannya. ***** Ainun selonjoran di ruang tengah dengan kondisi perut sangat kenyang. Di samping kanannya segelas air putih hangat tersisa setengah menandakan bahwa setengahnya sudah ia teguk. Kulitnya tampak berkilat-kilat karena keringat. Zahara menyusul kemudian. Ia ambil tempat di samping sang sahabat. "Abang mana?" tanya Ainun saat tak melihat sang abang mengikuti. "Masih di belakang bersama Mak." Zahara menyeruput air putih yang ia bawa tadi. "Belum selesai makan?" Alis Ainun menukik ke atas. "Sudah, barengan tadi." "Terus kenapa gak ikut masuk?" "Lagi bacara sama Mak, mana berani aku ikut dengar mereka bicara, Nun." Zahara tersenyum di akhir kalimatnya. Ia masih belum sepenuhnya percaya kalau ia telah menjadi istri dari Syamsul. Namun cubitan yang sering ia labuhkan di kulit lengannya menimbulkan rasa sakit, menandakan bahwa ia tidak bermimpi. Beberapa hari ini mereka tidak saling berbagi cerita seperti biasanya. Ainun paham akan kondisi sang sahabat yang sedang dilanda duka ditinggal orang tercinta, sehingga ia tidak merecokinya seperti hari-hari biasanya. Namun pagi ini mereka saling berbagi cerita. Ainun bercerita tentang perhatian Zulfikar kepadanya. Zahara sangat antusias mendengarnya. "Jadi sekarang kamu manggil dia 'Abang'?" Ainun mengangguk malu-malu. "Iya, kemarin sore aku gak sengaja manggilnya gitu, dan dia suka." "Siapa yang suka?" Suara Syamsul menginterupsi percakapan dua gadis itu. Ia ikut duduk bersama mereka, lalu merebahkan kepalanya ke pangkuan sang istri. Zahara yang masih canggung dengan kedekatan itu menutupinya dengan menyesap kembali air di tangannya. Ainun mengerling nakal saat netranya bersitatap dengan Zahara yang langsung memelototkan matanya. "Enggak ada," jawab Ainun singkat. Mana mungkin ia mengatakan pada Syamsul tentang panggilannya yang berubah terhadap Zulfikar, bisa-bisa ia diledekin habis-habisan sama abangnya. Meskipun abangnya pendiam, tetapi kalau perihal menggoda, mengganggu, atau semacamnya, hanya ia tujukan pada adiknya seorang. Begitu pula dengan Ainun, ia juga kerap kali menggoda abangnya. "Beneran gak ada?" Syamsul meminta jawaban dari sang istri. "E-enggak!" Zahara gugup dimintai jawaban secara tiba-tiba begini. "Hmmm...." Syamsul berdeham lalu bangkit dari rebahannya. "A-abang mau ke mana?" "Mau berwudhu, sebentar lagi azan Subuh." Syamsul beranjak diikuti Zahara. Tidak mungkin ia biarkan suaminya sendiri. Ia memberi isyarat pada Ainun akan menemani sang suami dan diangguki Ainun dengan senyuman jahilnya. Sepeninggal pengantin baru ke kamar meraka, Ainun pun beranjak dari duduknya kembali ke dapur. Di sana Mak dan beberapa saudara Zahara yang menginap tampak masih bercakap-cakap. Ada yang sedang mencuci piring-piring kotor bekas mereka sahur tadi, dan ada yang membersihkan meja makan. Menutup sisa-sisa makanan dengan tudung saji. "Mak, nanti aku pulang sebentar, ya, udah lama rumah kita tinggalin, sekalian bawa pulang baju kotor," ujar Ainun memberitahu rencananya pada Hanum. "Iya, jangan lupa kamu sapu-sapu rumah, ya," pesan Hanum dan diangguki Ainun. Di dalam kamar, Zahara menatap gerak-gerik sang suami dalam diam. Ia tidak tahu bagaimana memulai percakapan kalau tidak diawali oleh pria yang sedang sibuk di depannya. "Abang cari apa?" Zahara mendekati Syamsul. Tak ada yang tahu kalau hatinya bergemuruh setiap ia berduaan seperti ini dengan suaminya. "Cari handuk," jawabnya tanpa menoleh. "Handuk Abang udah Ara cuci. Ini ada handuk Ara, belum Ara pakai." Ia mengambil handuk baru di dalam lemarinya. "Nanti temani Abang pulang ke rumah, ya, baju bersih Abang tinggal ini." Syamsul menunjuk satu baju koko di dalam tas berukuran kecil di atas meja. "Ya Allah, maafkan Ara, ya, Bang, Ara lalai melayani Abang karena sibuk sama yang lainnya," ucap Zahara lirih. Ia merasa bersalah pada sang suami. Syamsul tersenyum. Istrinya terlihat menggemaskan saat ini. Ia tarik tubuh Zahara ke dalam pelukannya. Ia kecup kepala yang masih dibaluti hijab itu dengan sayang. "Tidak masalah, Abang maklum kamu juga sedang berduka," katanya menenangkan Zahara. "Sudah, Abang mandi dulu, bentar lagi azan Subuh." Syamsul mengurai pelukannya, ia tatap manik mata indah itu dengan lembut. "Boleh Abang mandi?" Zahara mengerutkan kening, lantas ia lepas pegangan tangannya pada lengan Syamsul dengan cepat. Zahara benar-benar tidak sadar kedua tangannya memegang lengan Syamsul sangat erat. Syamsul mencubit hidung istrinya dengan gemas, lalu keluar dari kamar meninggalkan Zahara yang menunduk lantaran malu. Telinganya masih mendengar kekehan Syamsul yang semakin menjauh. Ia merutuki diri sendiri sambil berjongkok membenamkan wajahnya. ***** Pukul sepuluh pagi Ainun sudah bersiap-siap. Mengambil baju kotor yang sudah ia masukkan ke dalam kantong plastik lalu ia melangkah keluar dan pamit pada Hanum. "Jangan lupa bawa baju ganti," pesan Hanum ketika Ainun mengeluarkan sepeda motornya. "Aku baliknya nanti sore, nunggu cuciannya kering dulu, gak apa-apa, kan, Mak?" "Iya, nanti jangan lupa periksa semua pintu sama jendela sebelum kamu balik sini, ya!" Hanum mewanti-wanti anak gadisnya agar tidak lupa memeriksa pintu dan jendela terkunci rapat. "Beres!" Ainun mengacungkan jempolnya. "Aku pergi dulu, assalamualaikum," ucapnya lalu melajukan motornya setelah Hanum menjawab salam. Membuka pintu dan jendela, Ainun bergegas memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Setelahnya ia menyapu lantai rumah dan disusuli halaman rumah yang penuh dengan daun-daun pokok mangga dan jambu yang berserakan di atas tanah. Baru saja selesai menyapu halaman dan beristirahat sebentar, suara notifikasi dari salah satu aplikasi terdengar. Ia raih gawai di dalam tas kecil yang tadi ia bawa lalu membukanya. Pesan dari Joel Al-Asyie tertera di sana. Lagi apa? Lagi bersih-bersih! Mau bantuin? Kamu di rumah? Kapan pulang? Iya, tadi jam sepuluh. Yaah... padahal mau liat kamu di rumah Zahra nanti. Nanti Abang ke rumah Zahra? Iya, antarin Kak Leha. Aku di rumah, nanti sore baru balik sana, nungguin kering baju dulu... :( Kangen! Sama! Kita udah kayak anak ABG aja, ya.... Hihihihi Hehehe... Ainun tertawa sendiri setelah membaca ulang percakapannya dengan Zulfikar. Dadanya sejak tadi berdesir-desir. Kedua telapak tangannya juga terasa dingin. Apa ini euforia cinta? Ah, Ainun tak tahu! Yang jelas hatinya bergejolak hebat. Ya sudah, nanti Abang ke rumah, ya! Buat apa? Mau melepas rindu yang tak tertahankan. Gombal! Hahaha.... Oh, ya, Abang minta nomor Adek, boleh? Abang belum punya nomorku? Ainun benar-benar terkejut mengetahui calon suaminya belum mengetahui nomornya. Belum! Segera Ainun mengirim nomornya pada sang calon suami. Setelah mengingat kembali, mereka memang tidak saling memberi nomor masing-masing. Ainun memukul keningnya seraya terkekeh pelan. Terima kasih.... Mereka pun mengakhiri obrolan. Ainun kembali melanjutkan pekerjaan terakhirnya, yaitu menjemur pakaian yang sejak tadi telah selesai digiling.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD