17 | Kesedihan Zahara dan Pernikahan Syamsul

1653 Words
Setiap yang bernyawa akan merasai mati. Kemanapun dan dimanapun kita berada, bahkan bersembunyi ke ujung dunia sekalipun, jika waktu telah datang, maka tidak ada yang dapat menolak. Tepat pukul setengah tiga siang pada 16 Ramadhan, keluarga Ainun dikejutkan oleh berita kematian. Bagaikan mimpi, sahabatnya kini telah menjadi yatim piatu. "Ra...," panggil Ainun dengan suara yang tertahan. Ia mendekat lalu memeluk Zahara yang terisak pelan. "Nun, aku ... a-aku sekarang ... tinggal sendiri," ucapnya terbata. Sesekali ia mengusap air mata yang mengalir deras tanpa sanggup ia tahan. "Kamu gak sendiri, ada aku, Mak, dan Bang Syamsul di sini." Ainun mengusap punggung Zahara pelan, mencoba memberi ketenangan. "Zahra, di mana kain ihram ibumu?" tanya salah satu saudaranya. Zahara melepas pelukan Ainun. Ia sapu pipinya yang basah seraya bangkit menuju ke kamar sang ibu. Ia buka lemari, mengambil kain putih yang dipakai ibunya tatkala ihram di Baitullah saat bulan haji beberapa tahun yang lalu. Ibunya berpesan, apabila suatu saat ia lebih dulu dipanggil Allah, kain ihram ini harus ikut serta membalutinya. Mengingat setiap kenangan bersama ibunya semakin membuat air matanya mengalir deras. Sungguh, ia telah menahan sejak tadi agar suara tangisan tak keluar dari mulutnya. Ia tak ingin sang ibu semakin tersiksa karena tangisan dan ratapannya yang tak terkendali. Menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan pelan-pelan untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpit dadanya, namun nyatanya itu tak berguna. Rasa sesak itu masih ada. Kembali air mata menyeruak keluar dari pelupuknya. Sebanyak apapun air mata yang telah jatuh, tidak akan mengembalikan sang ibu. Ia telah kembali pada Sang Pemilik, menemani ayahnya yang terlebih dulu dipanggil oleh-Nya. Kenapa tiba-tiba? Zahara mendongak agar air matanya tak lagi keluar. Ia harus sabar. Allah memanggil kembali ibunya di bulan yang baik, bulan Ramadhan. Jadi, tidak ada alasan baginya untuk menyesali kepergian ibunda tercinta. Ia tahu, Allah lebih menyayangi ibunya. "Zahra!" panggil Hanum. Ia dekap anak gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya juga itu dengan sayang. "Sabar, jangan nangis lagi, ada Mak di sini." Membalikkan badan, Zahara memeluk Hanum erat. "Kenapa cepat Mak pergi, Mak Cik? Ara belum sepenuhnya berbakti dan membahagiakannya, tapi sekarang Mak pergi meninggalkan Ara sendiri di sini." Tangisan Zahara sungguh menyayat hati. Ainun yang berdiri di depan pintu, tak kuasa menahan tangisannya. "Ya Allah, batalkah puasaku karena tangisanku ini?" gumamnya pelan seraya mengeluarkan ingus dari hidungnya. Sedikit saja ia menangis, pasti hidungnya tak ketinggalan mengeluarkan cairannya. "Insya Allah, ibumu husnul khatimah, lihatlah senyuman di wajahnya, itu menandakan dia sedang berbahagia." Hanum melepaskan pelukan mereka. Ia tatap wajah sembab anak gadis di depannya dengan rasa sayang yang tak terkira. "Sudah, jangan nangis lagi. Mana kainnya? udah diminta tuh sama Mak Cik Ruqayyah." Hanum dan Zahara sama-sama menoleh menatap Ainun yang berjalan ke arah mereka sambil mengulurkan tangan meminta kain ihram. Saat semuanya telah selesai dan siap diangkat keluar untuk dishalatkan. Zahara mendekati ibunya untuk terakhir kali. Ia kecup dahi ibunya dengan sayang. "Mak, Ara sayang Mak ... maafkan Ara karena belum sempurna memberikan bakti dan kebahagiaan kepada Mak, semoga kelak Ara bisa berkumpul dengan Ayah dan Mak di surga," bisiknya tepat di samping telinga ibunya. Hanum dan Ainun serta para tetangga yang masih berada di rumahnya meneteskan air mata. Sungguh maut benar-benar tidak bisa ditebak. Karena waktu Ashar hampir tiba, para jamaah segera bersiap-siap melaksanakan shalat jenazah. ***** "Kamu mau ke mana?" Pertanyaan itu Zahara dapatkan dari Ainun yang sejak tadi menemaninya setelah mengantar sang ibu ke peraduan terakhir. Zahara tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke depan. Ainun bangkit dari duduknya mengikuti ke mana sang sahabat akan melangkah. Ainun mengikuti langkah Zahara hingga pintu kamar mandi yang terletak di bagian belakang, dekat dengan dapur. Tangis Zahara pecah saat air membasahi wajahnya. Ibunya telah pergi, satu-satunya keluarga yang ia miliki kini telah pergi. Ainun yang berdiri di depan pintu kamar mandi mendengar tangisan Zahara. Tangisan yang terdengar begitu memilukan. Ainun mendongakkan wajah, menghalau luapan kesedihan yang hendak menjebol pertahanannya. "Mak, aku khawatir melihat kondisi Zahra," kata Ainun mendekati Hanum yang sedang sibuk di dapur menyiapkan persiapan untuk berbuka bersama tetanga-tetangga yang lain. Hanum sangat bersyukur, banyak tetangga yang mengantarkan makanan berbuka ke rumah duka. "Di mana dia sekarang?" tanya Hanum. "Di kamar mandi." Hanum beranjak mengikuti Ainun ke kamar mandi. "Zahra ... Nak Zahra, buka pintunya, Sayang!" Perlahan Hanum mengetuk pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi, sebisa mungkin Zahara menghentikan tangisannya. Sungguh, ia malu sendiri karena tidak bisa menguasai rasa sedihnya. Zahara keluar disambut Hanum. Ainun mengekori dari belakang. Tetangga yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing menatap penuh tanya. Tetapi mereka tidak berani bertanya karena segan kepada Hanum. "Duduk sini," perintah Hanum. Zahara duduk dan diikuti Ainun di sampingnya. "Mengingat sekarang kamu tinggal sendiri dan gak ada yang melindungi, Mak ingin menikahkanmu dengan anak Mak, apa kamu bersedia, Nak?" Seketika Zahara terkejut, tetapi ia dapat menguasai rasa terkejutnya dengan cepat. "Mak sudah berbincang masalah ini dengan ibumu, dan ibumu menyetujui perjodohan ini. Apa beliau belum mengatakannya padamu?" Zahara menggeleng pelan. Manik matanya menatap Ainun meminta jawaban atas kejutan yang datang tiba-tiba ini. Namun Ainun mengedikkan bahunya tanda tak tahu menahu. Bukannya tak tahu, tapi pura-pura tak tahu! Berpikir sejenak, akhirnya Zahara mengangguk pelan. Semoga saja pilihan ini tidak salah. ***** Setelah shalat Magrib tadi, Hanum berbicara tentang niatnya pada Syamsul untuk segera menikahkan Zahara setelah shalat tarawih nanti di Masjid dengan disaksikan seluruh para jamaah. Dan di sinilah ia sekarang. Berhadapan dengan Teungku Imum Syik sebagai wali nikah Zahara. Ainun yang duduk di deretan shaf perempuan tak kalah gugup dari abangnya, Syamsul yang mulai menjabat tangan wali bersiap-siap melafazkan ijab qabul. "Bismillaahirrahmaanirrahiim... wahai Syamsul Bahri bin Muhammad Ar-Rasyid!" "Na loen tuan," jawab Syamsul. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Siti Zahara binti Sulaiman dengan mas kawin 20 mayam emas dibayar, tunai...." "Saya terima nikah dan kawinnya Siti Zahara binti Sulaiman dengan mas kawin 20 mayam emas, dibayar tunai!" sahut Syamsul dengan lantang dan tegas. "Alhamdulillah!" seru seluruh jamaah di dalam masjid setelah kata sah bergema. Semua mengucap syukur dan iringan doa atas pernikahan anak dan cucu salah satu ulama besar di kampung mereka yang berjalan lancar dan khidmat. Dari seluruh hadirin yang hadir, hanya satu orang yang menampakkan raut wajah tak suka. "Yang sabar, ya, Kak, jodoh gak akan ke mana," celetuk Ainun pada Minah yang patah hati melihat Syamsul menikahi gadis di bawahnya. Sia-sia ia mencari perhatian selama ini, tetapi tak sedikitpun ia dilirik oleh laki-laki yang sedang tersenyum menjabat tangan para tetua desa yang mengucap selamat atas pernikahannya. Sementara di kediaman Zahara, ia ditemani Hanum menerima tamu yang melayat ke rumahnya. Mata sembab masih terpatri di wajahnya. "Nak, sekarang kamu siap-siap dulu, sebentar lagi Bang Syamsul dan yang lainnya kembali ke sini. Sambutlah suamimu dengan wajah ceria meskipun duka masih menyelimutimu," pesan Hanum pada Zahara yang segera beranjak ke kamar mandi dan membersihkan wajahnya. Bagaikan mimpi baginya dinikahi oleh laki-laki yang telah mencuri hatinya. Kini ia telah menjadi seorang istri dari Syamsul Bahri Ar-Rasyid. Setelah membersihkan wajah dan mengganti baju dengan gamis baru yang ia beli ketika pergi bersama Ainun dan Syamsul, lalu ia bubuhkan sedikit bedak dan pewarna bibir agar tak tampak pucat. Hanya mata yang tidak bisa ia tutupi bengkaknya. Ah, siapa yang peduli, Ra? Kamu sedang dilanda duka karena ditinggal orang yang kamu sayang, jadi wajar sedih itu ada. Setelah kepergian ibu, kini kau dihadirkan pendamping sebagai pengganti ibumu. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Jantung Zahara berdetak kencang saat riuh rendah suara terdengar dari luar. Dan salah satunya adalah suara laki-laki yang kini telah menjadi suaminya. "Masuk aja, gak apa-apa!" Zahara mendengar suara Hanum. Tak lama terdengar suara handel pintu diputar. Dan suara salam pun terdengar menandakan kalau Syamsul telah masuk. Zahara menjawab salam dengan suara pelan. Kepalanya menunduk dalam. Tak berani mengangkat wajah, padahal ia penasaran sedang apa suaminya saat ini. Keheningan menyelimuti, hanya suara bising dari luar yang terdengar. "Apa kamu tidak mau menyambutku?" Seperti orang latah, Zahara bergegas bangun dan mencium tangan suaminya dengan takzim. Tangan Syamsul yang bebas terangkat dan menyentuh kepala Zahara lembut lalu mulai membaca doa kebaikan untuk mereka berdua sebagai pengantin baru. Zahara tertegun, benarkah yang menyentuh kepalanya dan yang membaca doa ini suaminya? Ia semakin terkejut tatkala kecupan ringan mendarat di keningnya. Ada rasa yang semakin membuncah saat sentuhan pertama ia rasa di dahinya. Ya Allah, kuatkan jantung Zahara! Zulfikar yang ikut kembali ke rumah Zahara duduk di ruang tamu bersama yang lainnya. Ditemani Hanum dan Ainun sebagai pengganti pemilik rumah. Karena malam semakin larut, hanya beberapa saja yang tinggal. "Kita kapan?" bisik Zulfikar saat Ainun duduk tidak jauh darinya. "Apanya?" Alis Ainun bertaut bingung. "Menikah," lanjut Zulfikar. Pipi Ainun bersemu merah. "Bukannya setelah lebaran?" "Tapi aku maunya sekarang." "Kenapa tiba-tiba?" "Lihat Bang Syamsul membuat aku cemburu." Ainun menahan tawanya mendengar ucapan Zulfikar yang tidak jelas. "Abang berbeda kisahnya dari kita, mana boleh sama," kata Ainun pelan. "Ya kita samakan sajalah, memangnya kamu gak mau aku nikahi sekarang?" Zulfikar masih tetap berusaha. "Enggak! Nanti setelah lebaran!" Zulfikar tidak lagi memaksa. Ia tatap wajah ayu Ainun seksama. "Awas, jangan lama-lama memandang anak gadis orang!" seru salah satu yang duduk bersama mereka, sehingga suara tawa memenuhi ruangan. Hanum yang sejak tadi melihat interaksi mereka menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Tersipu malu, Ainun beranjak ke belakang. Pun begitu dengan Zulfikar yang mengusap leher belakangnya menutupi rasa malu. ***** Sahur pertama tanpa Syamsul di rumah terasa ada yang berbeda. Hanum dan Ainun makan dalam diam. Mereka pulang dari rumah Zahara tepat pukul dua belas malam dengan ditemani Zulfikar. "Besok kita menginap di rumah Zahra," ucap Hanum. "Berapa hari?" "Sampai habis senujoh." Ainun manggut-manggut. Walaupun mereka masih satu desa, dan rumahnya tidak jauh, Hanum tidak bisa meninggalkan Zahara yang kini juga sudah menjadi anak mantunya tinggal sendiri tanpa orang tua. Meskipun Syamsul bersamanya, tetapi terasa berbeda kalau bukan orang tua yang membersamai mereka, apalagi tengah susana duka seperti saat ini. Dari tadi sore hingga malam hari, Hanum belum sempat bertanya perihal penyebab ibu Zahara meninggal. Ia berencana menanyakan itu besok sekalian membantunya menghadapi tamu-tamu yang akan bertakziah nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD