16 | Permintaan Hanum

1534 Words
"Sudah di jalan?" terdengar suara di seberang sana. "Baru mau berangkat!" Syamsul menjawab sambil mengeluarkan motornya. Handphone yang bertengger di telinganya ia apit dengan bahu. Setelah mengeluarkan kendaraan roda duanya, Syamsul kembali memegang benda pipih itu. "Langsung ke rumahku, ya, kita berangkat bersama pakai mobilku." "Tidak udah, aku pergi sendiri saja karena ada urusan yang mesti aku urus terlebih dahulu, kau langsung berangkat saja," tolak Syamsul halus. "Baiklah kalau begitu, aku berangkat sekarang. Jangan sampai kau terlambat, ya!" "Insya Allah!" Syamsul menghela napas pelan setelah pembicaraannya dengan Rais berakhir. Bukan ia menghindari Rais, tetapi ia sedang menata hati agar tidak teringat lagi dengan rasa yang menyakiti hatinya. Semenjak tahu hubungan Rais dengan mantan calon tunangannya, Syamsul seolah dilempar kembali pada ingatan yang coba ia lupakan. Andai rasa malu itu tidak ada, sudah tentu ia mudah memaafkan. Semoga saja sahabatnya itu tidak mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Sebelum berangkat ke Madinah Dayah Kupi, Syamsul mendatangi lapak Zulfikar terlebih dahulu. Adiknya meminta dibelikan kelapa muda. Zulfikar yang merasa segan pada abang calon istrinya, lebih banyak diam kalau tidak ada yang perlu dibicarakan. Lagipula ia juga tidak terlalu akrab dengan Syamsul. "Kali ini Abang jangan menolak pemberianku," kata Syamsul saat menyerahkan sekantong plastik air kalapa muda. Syamsul tersenyum simpul dan menerima kantong itu. "Baik, tapi kamu juga jangan menolak kalau aku mengajakmu bersamaku suatu saat nanti. Bagaimana?" Berpikir sebelum menjawab, akhirnya ia menyetujui permintaan sang calon abang iparnya. Setelah membawa pulang pesanan Ainun, Syamsul kembali melaju sepeda motornya menuju ke tempat pertemuan para alumni di Dayah Kupi. Ramai yang telah hadir menurut suara tawa dan keriuhan yang ia dengar. Syamsul membalas sapaan teman-teman. Karena lama tak bersua, kehebohan semakin menjadi-jadi, apalagi saat salah seorang teman mereka mengeluarkan ungkapan lucu yang sudah lama tidak mereka dengar lagi. Rais mendekati Syamsul. "Baru datang?" Rais bertanya sambil menarik kursi di samping Syamsul. "Iya, baru aja sampai." ***** "Abang sudah berangkat?" Hanum mendekati putrinya. Mereka duduk di samping rumah. Karena rumah mereka menghadap ke jalan raya, otomatis pemandangan yang tersuguhkan adalah orang-orang yang berlalu lalang dengan mengendarai kendaraan beroda dua dan roda empat. Setiap ada mobil yang menurutnya bagus dan ia sukai, Ainun selalu bershalawat di dalam hati. Semoga saja suatu saat ada mobil yang terparkir di samping rumahnya. "Baru aja!" "Bagaimana Zahra? Apa dia udah tau?" Ainun menggeleng. "Belum, aku sengaja gak bilang ke dia." Hanum tiba-tiba teringat ucapan anak gadisnya kemarin sore. Ia yang penasaran pun bertanya, "Emang betul ada yang tanya-tanya dia ke Zulfikar?" Ainun mengalihkan padangannya dari jalanan yang semakin ramai, ia menatap Hanum dengan kening yang berkerut dalam. "Maksud Mak?" "Kemarin sore kamu bilang ke Abang, kan, kalau ada pria yang tanya-tanya tentang Zahra pada Zulfikar?" Hanum mengingatkan. "Ya Allah!" Ainun menepuk jidatnya seraya tertawa keras. "Ainun...." Tepukan lembut di pahanya membuat Ainun mengecilkan suara tawanya. Hanya melihat dari tatapan mak dan panggilan lembutnya, Ainun tahu bahwa Hanum sedang menegurnya. "Maaf, maaf, habisnya lucu kalau ingat raut wajah Abang kemarin. Pura-pura gak peduli, padahal hatinya udah nyes-nyesan tuh." Ainun kembali tertawa, tapi kali ini tawanya ia kecilkan. "Emang benar?" "Ya enggak lah, aku cuma godain Abang kemarin. Rupanya menyenangkan juga, ya, Mak, sekali-kali kita gangguin Abang." "Kamu ini, bikin Mak cemas aja!" Kembali Hanum memukul pelan paha Ainun. "Gak bermaksud bikin Mak cemas, maaf ya...." Ainun memeluk seraya mencium pipi Hanum dengan sayang, dan dibalas Hanum dengan mengelus lengan putrinya. "Coba kamu telepon Zahra, udah beberapa hari ini Mak gak liat dia." "Mak rindu dia, ya?" "Telepon aja, jangan banyak tanya." Lagi, paha Ainun jadi sasaran empuk tangan Hanum. "Ini lagi ditelepon, Mak!" Tidak berapa lama, suara Zahara terdengar serak. Hanum yang mendengar suara Zahara dari spiker yang dinyalaka Ainun pun mengangkat alisnya bertanya. Seakan tahu isyarat Hanum, Ainun lantas bertanya pada Zahara. "Suaramu kenapa serak, Ra?" "Gak apa-apa, Nun, cuma lagi sakit tenggorokan aja." "Kebiasaan, nih, kalau buka puasa minum air es." Zahara tertawa, Ainun selalu cerewet kalau dia sakit. "Nanti juga sembuh, Nun, tinggal minum air hangat perasan jeruk nipis aja nanti," kekeh Zahara seraya berdeham. "Jaga kesehatan, ya, Nak! Jangan sering-sering minum es kalau buka puasa, jangan ikuti si Ainun kalau itu gak baik untuk Zahra," pesan Hanum. Ia tak tahu kalau perhatiannya itu membuat mata Zahara berkaca-kaca. Selain ibunya, Zahara juga mendapatkan kasih sayang Hanum. "Insya Allah, Mak Cik! Mak Cik juga jaga kesehatan, ya, kalau Ainun nakal bilang aja ke Ara, biar Ara cubit dia." "Loh, kok aku yang kena, Ra?" Ainun tak terima. "Awas, ya, aku bilangin Abang nanti!" "Eh, jangan!" seru Zahara cepat. Ia lupa kalau Hanum masih bersama mereka. "Makanya, jangan cubit-cubit adik iparmu ini, ya, Say...." Ainun tertawa lebar, merasa puas menggoda Zahara. Tak terasa waktu berbuka hampir tiba, mereka menyudahi panggilan dan segera bersiap-siap menanti waktu berbuka. Hanum semakin ingin segera menikahkan anak bujangnya dengan Zahara. Perangai Zahara yang santun dari sejak dulu sudah memikat Hanum, tetapi tak pernah sekalipun tercetus di pikirannya untuk menjodohkan sahabat anak gadisnya dengan Syamsul. Baru-baru ini saja pikiran itu mampir di kepalanya setelah Ainun mengajukan nama sang sahabat kepadanya sebagai calon sang abang. ***** Sahuuur...! Sahuuur...! Banguuun...! Waktunya sahur! Suara anak-anak bergema di luar membangunkan orang-orang yang masih berada diperaduan. Sayup-sayup suara mereka menyapa indera pendengar Ainun. Meraih gawai di sampingnya, dengan mata menyipit karena baru bangun tidur, Ainun melirik jam di layar. Ternyata sudah pukul setengah empat. Gegas ia bangun setelah mengembalikan penuh kesadarannya. "Hoaaammm!!!" Ainun menguap seraya menutup mulutnya. Rasa ngantuk masih menggayut, padahal ia sudah membasuh wajahnya. "Abang mana, Mak?" Ainun mendekat dan duduk di samping Hanum yang sedang menata makanan yang telah ia panaskan. "Belum pulang, masih di Masjid kayaknya," jawab Ainun tanpa menoleh. Tanpa banyak kata lagi, Ainun langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Begitu juga dengan Hanum. Mereka makan dalam diam. Sesekali kuapan Ainun mengisi keheningan ruang makan. Suara mengaji kini berganti dengan shalawatan. Yang berarti sebentar lagi masjid akan senyap dari suara toa karena mereka tinggalkan untuk makan sahur. Tidak berapa lama suara motor Syamsul terdengar. Ainun segera membukakan pintu untuk abangnya. "Udah pada makan sahur?" tanya Syamsul setelah mematikan mesin motornya. "Baru aja selesai makan," sahut Ainun. "Padahal Abang ada bawa pulang ini," kata Syamsul seraya mengambil bungkusan yang disangkut di atas motor. "Apa ini?" Ainun mengendus bungkusan di dalam kantong plastik yang kini sudah berpindah di tangannya. "Kuah kari kambing." "Abang beli?" Syamsul menggeleng. "Dikasih anak-anak Masjid." Ainun memindahkan kuah kari ke dalam mangkuk sedang. Harum bau kuah yang masih mengepul menguar memenuhi penciuman Ainun. Apalagi melihat abangnya yang mulai makan, membuat selera Ainun tergugah untuk makan lagi. "Aku mau makan lagi, ah!" Ainun mengambil piring dan mengisi lagi dengan nasi serta kari kambing yang dicampur dengan buah labu air. "Mak udah makan?" Syamsul bertanya disela makannya. "Udah!" Ainun mengangguk. Syamsul kembali memakan makanannya. "Ainun!" seru Hanum di ruang tengah memanggil Ainun. "Iya, Mak?" Ainun yang baru saja selesai mencuci piring berjalan cepat menunaikan panggilan ibunya. "Ada apa?" tanyanya lagi begitu ia sudah di depan Hanum. "Kamu udah siap cuci piring?" Mendapat anggukan dari Ainun, Hanum kembali berkata, "Tolong pijit badan Mak sebentar, rasanya pegal-pegal. Dari sini ke sini." Hanum menunjukkan tempat yang mesti dipijat oleh anak gadisnya. Mengambil minyak kayu putih, Ainun langsung mengoleskan ke setiap permukaan punggung Hanum. "Mak kenapa?" Syamsul yang akan ke kamar mandi urung melanjutkan langkahnya. Ia dekati Hanum dan duduk di dekatnya. "Rasanya badan Mak gak enak, pegal-pegal dari tadi." "Ke rumah sakit besok?" "Gak usah, paling nanti udah enakan. Di sebelah sini, Nun," tunjuk Hanum ke bahu kanannya. "Kalau sampai besok kondisi badan Mak masih gak enakan, kasih tau Abang biar kita ke klinik." Syamsul menatap lama Hanum. Perasaannya berkecamuk, pikirannya pun berkelana entah ke mana. Semoga saja orang tua satu-satunya ini, Allah beri keberkahan umur, lagi panjang. "Insya Allah!" jawab Hanum singkat. Syamsul pikir Hanum tidak akan berbicara lagi karena matanya terpejam menikmati pijitan Ainun. Akan tetapi, pikirannya itu ternyata salah. Karena saat Syamsul akan beranjak dari duduknya, suara Hanum kembali terdengar. "Kapan kita lamar Zahra, Bang? Jangan lama-lama, seumur Abang udah waktunya menikah. Kapan Mak bisa menimang cucu? Jangan sampai duluan Mak menutup mata daripada Abang menikah. Kadang-kadang Mak merasa kesepian kalau kalian berdua sibuk di luar." Tiba-tiba air mata Ainun menyeruak keluar. Entah kenapa pagi ini ia merasa sedih mendengarkan perkataan sang mamak. "Mak...," panggilnya seraya memeluk Hanum dengan sayang. Pun begitu dengan Syamsul, dirinya ikut merasa sedih mendengar ucapan Hanum. Namun ia mampu menahan agar air mata tak keluar dari sarangnya. "Mak ingin melihatmu menikah secepatnya." Hanum menatap wajah Syamsul sendu. Sangat berharap anak laki-lakinya ada yang mengurus setelah ia tiada nanti. Batas umur tidak ada yang tau. "Mak maunya kapan?" tanya Syamsul akhirnya pasrah. "Mak udah tentukan tanggalnya, begitu Mak udah merasa sehat, kita langsung ke rumahnya. Kalau bisa nikah-nikah sekalian." Syamsul terkejut dengan perkataan Hanum. "Mana bisa, Mak?" "Bisa! Kalian menikah secara agama saja dulu." Sepertinya Syamsul tidak bisa mengelak dari perintah Hanum. Ibunya tampak sangat berkeinginan melihatnya menikah. Apa bisa ia lakukan itu? Syamsul...! Ikuti saja alur cerita hidupmu, kalau Allah sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menghalanginya. Menghela napas berat, Syamsul mengiyakan keinginan Hanum, yang penting baginya melihat sang mamak bahagia. Suara azan Subuh mengakhiri obrolan mereka. Dalam doa yang dipanjatkan, Hanum berharap kedua anak-anaknya mendapatkan pendamping yang terbaik menurut Allah dan menyayangi anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD