"Bang, kemarin lusa Kak Minah datang ke sini mau jenguk Abang," beri tahu Ainun pada abangnya ketika mereka sedang duduk santai setelah shalat Dzuhur di samping rumah.
Syamsul bergeming. Menikmati semilir angin yang berembus membelai lembut kulitnya. Tampak dedaunan bergoyang mesra pada setiap dahannya. Daun yang telah kering, terbang mengikuti arah angin lalu jatuh ke tanah. Buah mangga pun mulai terlihat matang sebagiannya, sepertinya enak dibikin jus buat teman berbuka nanti.
Syamsul beranjak mengambil galah dan mengarahkan pada satu tumpuk buah mangga yang sudah matang.
"Abang ... Dengar gak sih omonganku?" Ainun merasa kesal karena Syamsul mengabaikannya.
"Dengar!" jawab Syamsul santai tanpa mengalihkan pandangannya pada buah mangga yang akan ia kait.
"Terus, kenapa Abang diam?"
Syamsul tidak menjawab. Ia tetap fokus pada buah mangga yang kini berhasil ia kaitkan ke pengait yang ada di ujung galah.
"Kenapa kamu marah-marah?" Hanum yang baru datang menegur anak gadisnya. Ia ikut duduk di samping Ainun. Matanya mengarah ke Syamsul yang sedang memetik mangga.
"Habisnya Abang gak merespon ucapanku."
"Memangnya kamu bilang apa?"
"Kemarin lusa Kak Minah datang ke sini."
"Ngapain dia ke sini?"
"Ya jenguk Abanglah, Mak!"
"Kenapa Mak gak tau?" Hanum mengernyit menatap Ainun.
"Datangnya pagi-pagi sekali, tentu saja Ainun gak ajak masuk, Abang juga lagi tidur, kan? Mana Kak Minah datangnya sendirian lagi," jawab Ainun.
"Besok-besok suruh aja masuk, tamu datang malah gak diajak masuk."
"Mak, dia datang terlalu pagi, bahkan matahari aja baru terbit. Aku mana berani ajak masuk dan gangguin Abang yang lagi sakit buat menemani Kak Minah,"
"Kan ada kamu sama Mak yang nanti temani dia ngobrol."
"Malesin, Kak Minah genit begitu."
"Bagaimanapun dia, kalau udah datang bertamu ke rumah kita, ya, kita terima," nasehat Hanum. Ainun tidak lagi menjawab, mengingat bagaimana tingkah dan gaya Kak Minah saja membuatnya bergidik geli.
"Ini!" Syamsul mengulurkan buah mangga yang telah dipetiknya ke depan Ainun. "Kamu cuci dulu, nanti sore kamu buat jus mangga aja."
"Gak jadi parutan timun?"
"Enggak, tiba-tiba Abang sangat ingin minum jus mangga dingin buka puasa nanti, rasanya menyegarkan."
Ainun menerima dan membawa masuk ke dalam rumah. Samar-samar ia dengar mak dan abangnya berbicara, hanya namanya dan nama Zahara yang terdengar di telinganya. Meskipun ia penasaran isi pembicaraan mereka, ia tahu diri untuk tidak mendengar apalagi menguping secara sembunyi-sembunyi hanya untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Sejak dari kecil mereka dididik untuk tidak boleh menguping ketika orang tua berbicara, dan itu terbawa hingga saat ini. Padahal kini ia telah dewasa.
Sorenya, setelah mandi dan shalat, Ainun mengajak Zahara ngabuburit keliling-keliling desa. Awalnya Zahara tak mau ikut, tetapi akhirnya ia mengalah karena Ainun kata akan mentraktirnya es kelapa muda.
Jalanan tampak ramai. Meskipun sudah hampir dua minggu Ramadhan berjalan, semangat mereka tidak menyurut sama sekali. Bahkan kini para pembeli semakin ramai.
"Kita langsung ke tempat Fikar?" tanya Zahara tepat di telinga Ainun.
"Maunya gimana? Ke sana terus atau kita jalan-jalan dulu?" tanya Ainun balik. Sebenarnya di dalam hati Ainun ingin cepat-cepat ke lapak Zulfikar, tetapi ia menahan diri agar Zahara tidak menyadari kalau ia berniat melihat tunangannya berjualan. Setelah acara pertunangannya hingga sekarang, ia belum melihat Zulfikar sama sekali.
"Terserah, kan kamu yang mengajak tadi," pasrah Zahara, ia hanya ikut ke mana arah tujuan Ainun.
Ainun menghentikan laju motornya di depan lapak Zulfikar, setelahnya mereka memilih duduk di sebuah bangku kosong. Zulfikar yang tengah sibuk tidak menyadari kehadiran dua gadis yang salah satunya menatap penuh rindu kepadanya.
Apa dia tidak merindunya? Batin Ainun.
Tidak berapa lama kemudian barulah Zulfikar menyadari kehadiran Ainun di lapaknya.
"Udah lama?" tanyanya diselingi senyum manis yang membuat d**a Ainun berdebar-debar.
"Baru aja."
Zulfikar hendak berbicara, tetapi urung karena pembeli yang lain berdatangan.
"Nun, Cut Bang-mu sibuk banget, bantuin sana!" Zahara menyenggol Ainun sambil mengerling nakal.
"Apaan, sih!" Ainun mendelik. Tidak memungkiri ada rasa malu bercokol di hatinya, tapi mau bagaimana, rasa rindu yang menggebu mengalahkan rasa malu.
"Gak kasian emang liat Cut Abang capek layani pembeli gitu?"
"Hmmm...."
"Hmmm, apa?"
"Ya, kasian lah, tapi kan gak mungkin aku datang ke situ terus bantuin dia, apa kata orang nanti?"
"Kalian mau es kelapa muda?" tawar Zulfikar tiba-tiba.
"Iya, pesan dua bungkus, ya," kata Ainun.
"Seperti biasa atau gimana?" Zulfikar siap-siap dengan parang dan buah kelapa di tangannya.
"Kamu maunya gimana, Ra?"
"Terserah, yang penting enak," jawab Zahara. Jujur, ia bingung memilih rasa.
Dengan telaten Zulfikar mengupas kelapa dan mengolah menjadi minuman. Setelah selesai meracik, ia serahkan dua bungkus es kelapa muda pada Ainun.
"Ini duitnya." Selembar uang duapuluhan ia ulurkan ke depan Zulfikar.
Zulfikar menatap jari manis Ainun sebentar. Jari itu terlihat manis dengan cincin tunangan mereka yang tersemat di sana. Setelahnya ia berpaling menatap ke arah lain. Ada rasa yang tak biasa bermain di jiwanya. Ia hela napasnya pelan menutupi perasaannya.
"Ambil aja, gak usah bayar! Ini khusus untuk kamu."
"Jangan! Gak usah," tolak Ainun lembut.
"Tapi aku ikhlas, ambil aja, lagipula kamu bukan orang lain, masa sama tunangan sendiri sungkan." Zulfikar tetap memaksa.
"Masih tunangan, belum halal...." Ainun mengingatkan.
"Ambil, Ra, kalau berdebat sama dia gak ada habisnya." Zulfikar beralih ke Zahara yang sejak tadi tersenyum-senyum melihat interaksi dua sejoli di depannya.
Kini kantong es kelapa muda sudah berpindah tangan. Zahara pura-pura tak melihat pelototan Ainun. Uang yang diberikan tadi juga telah dikembalikan Zulfikar, ia masukkan sekalian ke dalam kantong plastik es kelapa muda.
"Pulang sekarang?" bisik Zahara saat Zulfikar kembali sibuk mengupas kelapa untuk dua orang pembeli yang baru datang.
"Tunggu sebentar lagi," pinta Ainun.
Mereka masih duduk nyaman di bangku mengamati orang-orang yang berlalu lalang.
"Gimana penutupan pesantren kilat?"
"Alhamdulillah berjalan lancar. Kamu kenapa gak datang? Padahal aku berharap kamu datang dan kita bisa foto-foto bersama." Zahara mengerucutkan bibirnya.
Ainun tertawa ringan melihat aksi sahabatnya. "Aku kan sibuk, mana bisa datang. Maaf, ya, ya!" Ainun menggoyang-goyangkan lengan Zahara.
Masih memasang wajah pura-pura cemberut, Zahara kembali berkata, "Padahal selain foto-foto itu, ada yang mau aku omongin juga ke kamu, Nun."
"Apa?" Sekarang Ainun memasang wajah penasaran.
"Tau gak, si Abang dua kali negur aku di jalan!" Si Abang yang dimaksud adalah Syamsul. Abang kandung Ainun. "Mana pernah Abang negur aku, kan, Nun? Tiap aku datang ke rumah aja, gak pernah ditegur sekalipun."
"Hah?! Yang bener?" Ainun tidak menutupi kekagetannya. Abangnya yang pendiam itu menegur Zahara di jalan? Boleh tidak, sih, Ainun memberi tepuk tangan untuk abangnya?
"Kapan?" tanya Ainun penasaran.
"Pertama, waktu aku pulang dari kedai. Kedua, saat aku mau ke Masjid, waktu itu padahal cuacanya lagi gerimis."
Ya ampun! Jadi, karena itu abangnya jatuh sakit? Karena berlama-lama di bawah rintiknya hujan?
Ainun tidak habis pikir dengan sikap sang abang. Itu seperti bukan abangnya. Ainun mengulum senyum. Sorot matanya kini berubah jahil.
Di lain tempat, sang objek yang tengah dijadikan bahan gosip oleh dua gadis di tempat Zulfikar tersedak sampai terbatuk-batuk.
"Abang masih batuk?" Hanum yang bersamanya bertanya heran.
"Gak tau, Mak, perasaan kemarin udah sembuh," jawab Syamsul seraya menepuk-nepuk dadanya.
"Kalau masih batuk, buka puasa nanti jangan minum es." Hanum teringat, tadi siang anak lelakinya ini sangat berkeinginan berbuka dengan jus mangga dingin yang telah disiapkan oleh Ainun sebelum keluar tadi.
Syamsul tidak mengiyakan dan juga tidak menolak. Diam tak bersuara, hanya dehaman yang keluar dari mulutnya.
"Udah jam segini belum pulang juga, ke mana dia?" Hanum berjalan ke pintu dan melongok keluar pagar. Tidak ada bayangan anak gadisnya sama sekali.
"Jalan-jalan sama Zahra," jawab Syamsul sambil memainkan ponselnya. Ada pesan dari Rais yang mengingatkannya acara buka puasa bersama di Madinah Dayah Kupi bersama alumni mereka besok sore.
Baru saja Hanum akan berbalik, suara motor Ainun terdengar semakin mendekat. Ainun langsung membawa masuk motornya ke dalam dan memarkirkan di samping motor abangnya.
"Maaak...," panggil Ainun berirama. Ia melangkah mendekati Hanum.
"Itu apa?" Bola mata Hanum mengarah ke jinjingan Ainun.
"Air kelapa muda."
"Udah ada jus Mangga, untuk apa lagi ie u muda, Neuk?"
"Dikasih sama Fikar, gak mungkin aku tolak, Mak."
"Siapa yang habiskan ini semua?" Hanum menunjuk meja yang dipenuhi berbagai macam makanan dan minuman.
"Tenang, ada aku sama Abang nanti yang habiskan," ucap Ainun enteng.
"Abang jus Mangga aja sama teh," sahut Syamsul yang bergabung bersama mak dan adiknya di meja makan.
"Ya udah, aku minum ini, rezeki dari calon suami, kan," kekehnya di akhir kalimat.
"Senang kamu?"
"Ya senang, dong, Abangku Sayang!" Ainun tidak berhenti tertawa melihat sang abang, ditambah lagi dengan berita yang baru didengarnya tadi dari Zahara.
Syamsul yang tidak peduli lagi, mengabaikan Ainun yang masih tersenyum jahil ke arahnya. Ia beranggapan bahwa adiknya ini tengah berbahagia karena telah bertemu sang calon suami.
"Tadi Zahra dapat salam dari OTK," Ainun mulai memancing.
"Apa itu OTK?" tanya Hanum.
Mereka kini sudah duduk satu meja. Masing-masing tangan menyendok nasi dan teman-temannya ke dalam pinggan.
"Orang tak dikenal."
Meskipun Syamsul sibuk dengan piringnya, telinganya tetap terpasang mendengar ocehan Ainun tentang Zahara.
"Kalau gak kenal, dari mana OTK itu tau Zahra?" Hanum mengernyit tak mengerti.
"Tadi di tempat Fikar. Kami, kan, di sana tadi, terus ada pembeli melirik-lirik ke arah Zahra, dia tanya-tanya sama Fikar sekalian kirim salam perkenalan. Begitu katanya...," ungkap Ainun mengerling ke arah Syamsul.
"Kata siapa?"
"Aku."
Ainun semakin gencar menggoda abangnya. Akan tetapi godaannya tidak bersambut, Syamsul bergeming seraya menutup kelopak matanya. Di dalam hati ia berdoa untuk ketenangan jiwanya.
Akhirnya Ainun menyerah dan berhenti menggoda abangnya, ketika suara tanda waktu berbuka terdengar dari toa masjid.
Dalam diam mereka berbuka, menikmati setiap rasa masakan yang terhidang. Hanum merasa bahagia karena hari ini mereka berbuka bersama lagi.