"Pulang hari ini juga!" pesan dari Hazel itu membuatku merinding sekaligus bingung. Aku tahu dia pasti akan sangat marah saat tahu bahwa aku telah menggunakan uangnya sekian ratus juta rupiah untuk membelikan mobil honda HR-V terbaru untuk Amila dan dua putriku yang cantik.
"Kenapa, abi?" tanya Amila padaku tiba-tiba yang langsung membuatku gugup bukan main. Wajahanya yang teduh itu menatapku bertanya-tanya. Seketika itu pula aku menggeleng cepat ke arahnya, seolah mengatakan tidak terjadi apa-apa, "mau balik kerja?" tanya Amila lagi dengan suaranya yang merdu dan halus. Andai saja Hazel sedikit memiliki perangai manis seperti Amila, hidupku pasti akan terasa sangat sempurna sekali. Aku pasti akan merasa sangat bahagia dibuatnya.
"Nggak, kok," jawabku langsung saat Amila kembali memanggil-manggil namaku. Dia tersenyum manis dan cantik lalu kembali mengajakku berbelanja. Aisyah yang sudah pandai bicara itu membuatku makin sayang dan gemas, apalagi ia memiliki bentuk wajah yang mirip denganku.
Kami berjalan menyusuri toko baju setelah Aisyah dan Hana kubelikan mainan. Mereka sangat senang dengan mainan baru, mereka sampai mengucapkan kata terima kasih berkali-kali. Ah, putri-putri kecilku yang sungguh luar biasa. Mereka benar-benar malaikat yang dikirimkan Tuhan padaku. Aku tak akan bisa hidup tanpa mereka.
Saat aku sibuk memilih baju yang cocok dan cantik untuk kedua anakku, ponselku kembali bergetar singkat. Aku merogohnya dan kembali membaca pesan dari Hazel, sebuah foto dengan caption yang membuatku kaget setengah mati. Bagaimana tidak? Foto itu adalah fotoku dengan Amila dan kedua anakku di sini.
Aku segera mengedarkan pandangan ke segala penjuru, untuk mencari dimana Hazel berada
.
'Aku butuh penjelasan,' pesan Hazel singkat dan padat tapi mampu membuatku tercengang bukan main.
"Kamu kenapa, mas? Kok pucat gitu sih?" tanya Amila padaku.
"Ayah, kenapa berkeringat?" tanya Aisyah juga. Saking bingung dan kagetnya, aku hanya bisa menatap Amila dan Aisyah bergantian. Bibirku sangat kelu, hingga aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Mas!" Amila sampai menggoncangkan bahuku, barulah aku tersadar dengan lamunanku.
"A-aku harus pergi, kamu aku tinggal sama anak-anak gak papa, kan?" tanyaku pada Amila.
"Kalau naik angkot, aku harus turun di mana, mas?" tanya Amila padaku. Aku terdiam mendengar pertanyaannya itu, aku baru sadar kalau Amila dan kedua anakku baru di Balikpapan, wajar saja mereka tak mengerti wilayah Balikpapan.
"Hmmm, baiklah, aku tunggu. Tapi tolong cepat ya, sayang," kataku pada Amila yang ditanggapi dengan senyumannya yang sangat indah dan manis itu.
Amila dan Aisyah memilih beberapa baju, sedangkan aku dan Hana duduk menunggu mereka di dekat meja kasir. Selang hampir dua jam berlalu, akhirnya Amila dan Aisyah datang juga.
"Mas, Aisyah minta lima baju muslim," kata Amila padaku.
"Gak papa, Mil," kataku, "kamu ambil baju apa saja?" tanyaku padanya.
"Aku ambil satu stel aja mas," katanya yang membuat hatiku merasa sejuk.
Kesederhanaan Amila tak berubah, meski tadi sudah kubelikan mobil dan kuberi uang bulanan, ia tak menuntut lebih.
"Ambillah dua atau tiga baju lagi, bukankah istriku harus terlihat sangat cantik?" pintaku padanya yang membuat matanya seketika berbinar menatapku. Ia dengan segera mengecup pipi kiriku lalu berlalu kembali mencari baju untuk dirinya. Tak lama, ia kembali dengan senyum di wajahnya.
"Ini mas nokta pakaian Aisyah, Hana dan milikku," kata Amila padaku. Aku menerima tiga belas nokta dan memberikannya ke kasir yang kebetulan sedang sepi. Dua orang kasir itu memproses pembelian kami dan jumlah yang disebutkan membuatku tercengang kaget.
"Lima juta tiga ratus ribu, pak," kata salah satu kasir itu. Aku pikir Amila dan dua anakku hanya akan habis tiga jutaan, nyatanya malah lima juta. Aku membayar menggunakan kartu yang diberikan oleh Hazel dan menerima struk pembayarannya. Kulihat sekilas dan cukup kaget dengan harga baju yang dipilih oleh istriku yang hampir habis tiga juta untuk ia seorang.
"Makasih banyak ya, abi," kata Amila. Aisyah juga mengatakan hal yang sama. Dan itu tentu saja membuatku bahagia karena bisa memanjakan Aisyah. Aku pun mengantar Amila dan kedua putriku pulang.
"Abi gak turun dulu?" tanya Amila dan aku menggeleng.
"Nanti aku pulang, kok, aku buru-buru," kataku. Amila mengangguk, padahal aku tak yakin saja bahwa malam ini aku bisa pulang ke rumah setelah dari rumah Hazel.
Aku melajukan mobil setelah melambai ke Amila dan kedua putriku. Tak lupa aku mampir ke toko bunga dan membeli bunga mawar putih kesukaan Hazel. Kuharap Hazel tak marah.
Sampai di rumah Hazel, hatiku berdebar-debar tak karuan. Aku masuk dengan menenteng bunga mawar putih kesukaan istriku tersebut.
"Plok, plok, plok," aku kaget kala melihat Hazel yang sudah berdiri di tengah-tengah tangga dan bertepuk tangan menyambut kedatanganku. Bisa kurasakan kalau matanya menyimpan amarah yang cukup besar padaku.
"Sudah pulang, mas? Gimana kamu bisa ijin dari istrimu? Oh aku tahu, tentu kamu bisa pulang ke sini setelah
membelikannya mobil dan pergi senang-senang, kan?" tanya Hazel.
"Aku akan ganti uangmu, sayang, tapi pelan-pelan," kataku.
"Bagaimana kau akan mengganti uang ratusan juta punyaku yang kau pakai, Bim?" Hazel bertanya seraya memanggil namaku dan aku tak suka mendengarnya menyebut namaku saja. Bagiku itu bagian dari kurang ajar.
"Aku punya pekerjaan sekarang, Hazel. Jangan meremehkanku," kataku tegas. Hazel tersenyum mengejek.
"Maaf, aku lupa kalau kamu sekarang sudah punya gaji yang cukup besar. Kalau begitu beri aku gajimu, tujuh puluh lima persen," kata Hazel.
"Tidak, aku sudah memberikan uangku pada Amila untuk kebutuhan anak-anakku. Aku hanya mampu memberimu sebulan sepuluh juta saja," kataku.
"Apa? Kamu bercanda, mas?" Hazel nampak marah.
"Mau tidak mau aku hanya akan memberimu segitu," kataku pada Hazel.
"Tapi gajimu saja sudah empat puluh juta, belum lagi kamu punya usaha loundry yang cukup besar di balikpapan," kata Hazel.
"Apa yang kudapat dari loundry masih kuputar untuk membesarkan loundry. Setelah usaha loundryku cukup besar, aku bisa memberimu lebih," kataku.
"Ini tidak adil, mas!" teriak Hazel.
"Lagi pula kamu juga belum hamil, Hazel!" kataku tak mau kalah. Hazel terdiam.
"Kembalikan atmku!" pintanya yang membuatku terkejut.
"Biar aku saja yang bawa, kamu terlalu boros," kataku.
"Itu uangku, mas! Bukan uangmu, jadi itu hakku!" kata Hazel marah. Beberapa asisten rumah tangga keluar dan melihat pertengkaran kami. Karena merasa malu, aku mengeluarkan dompet dan mengembalikan ATM Hazel, "pastikan kamu mengganti uangmu!" katanya padaku. Aku menatapnya sebal. Hazel berbalik dan pergi meninggalkanku.
Tidak bisa begini. Aku harus dapatkan ATM itu lagi, aku butuh uang untuk diriku sendiri. Tabunganku tinggal beberapa puluh juta saja.
Aku menapaki tangga dan mengikuti langkah kaki Hazel. Tak seharusnya aku berdebat dengannya. Itu bisa merugikanku juga.
Aku mengetuk pintu dan tak ada suara sama sekali. Beruntung kamar kami tidak terkunci. Aku berjalan mendekat ke arahnya yang memunggungiku. Lalu kupeluk tubuhnya dari belakang.
"Sayang, maafkan aku," kataku berbisik di telinganya.
"Lepaskan aku, mas!" pintanya tapi aku malah mempererat pelukanku.
"Sebentar saja, sayang," kataku lembut. Akhirnya ia tak memberontak dan melunak sejenak. Bisa kudengar isak tangisnya.
"Kamu tidak mencintaiku, mas,"
"Itu tidak benar,"
"Buktinya kamu membelikan istrimu mobil dan mengajaknya belanja," kata Hazel terisak.
"Setelah usahaku maju, aku akan memberikan semua yang kamu mau. Yang kuberikan kepada Amila itu juga akan menguatkan putusan pengadilan jika kelak aku menceraikannya. Anak-anak akan diputuskan bersamaku karena aku lebih mampu membiayainya," kataku. Hazel bergerak dan menatap ke arahku.
"Benarkah itu tujuanmu, mas?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Tidak ada perempuan lain yang kucintai selain dirimu," kataku jujur.