Bab 8: Kesal

1033 Words
Aku kesal! Aku sangat kesal sekali! Seharusnya mas Bima ada di sini, bersamaku. Bukankah kami pengantin baru yang sedang kasmaran dan hangat-hangatnya? Kenapa ia malah berada di rumah utamanya dan bersama istri tuanya itu? Lagi pula, bagaimana bisa si Amila sialan itu tiba-tiba datang ke Balikpapan, untung saja bu Lusi segera memberi tahu soal si Amila yang pergi, hingga harus kurelakan mas Bima kemarin dari pagi standby di Bandara! Sialan! Aku tak akan melepaskan mas Bima untuk perempuan kampungan seperti Amila itu. Tak akan lagi aku kehilangan mas Bima untuk kedua kalinya. Aku tak bisa mengenyahkannya dari benakku meski aku dulu yang berselingkuh. Ditambah ketika aku menuduhnya impoten dan mandul, ternyata aku salah, buktinya dia sudah punya dua anak perempuan yang cantik dan aku juga ingin jadi ibu dan anak yang cantik dari benihnya. Aku harus jadi istrinya, aku tak boleh kalah dengan Amila hari ini. Semalam mas Bima sudah tidak datang dan itu pasti karena Amila, tapi tidak hari ini. "Bi Sus!" aku berteriak memanggil pembantuky yang lemot itu. Aku sampai harus menerikai namanya berulang kali barulah ia sampai di hadapanku dengan napas yang terengah-engah, "ke mana aja sih! Aku lapar, siapkan sarapan!" kataku memberi perintah. "Tapi nyonya melarang nona sarapan," kata bi Sus. "Bodoh! Bawakan makanan sekarang atau kamu kupecat hari ini juga!" gertakku yang membuatnya gugup dan langsung mengangguk lalu pergi ke luar kamarku demi mengambil makanan untukku. Saat sedang marah aku akan bisa makan cukup banyak dan itu mengembalikan moodku yang berantakan. Aku ingin sekali menghubungi dia, tapi aku harus menahan diri karena tak mau ia marah. Bima Saputra yang kukenal sekarang berbeda dengan Bima Saputra yang kutinggalkan beberapa tahun yang lalu. Sekarang dia sangat sukses dan lebih tampan dari dahulu. Nilai plusnya yang lain adalah ia taat beragama dan malah memintaku berkerudung. Yang benar saja! Bukan gayaku sama sekali. Tapi dia manis, setidaknya ia memikirkan kebaikanku selalu. Ponselku bergetar dan kulihat ada sms banking yang masuk dan ketika kubuka mataku membelalak sempurna kala melihat saldo kartu debit atm prioritasku berkurang sekian ratus juta. Kartu debit yang kuberikan kepada mas Bima. Kira-kira untuk apa uang yang ia gunakan itu? Aku sangat kesal. Sudah kubilang jangan menghamburkan uang, malah ia mengeruk tabunganku sekian ratus juta. Baru juga kemarin kami menikah dan kini ia sudah mengambil uangku. Huh! Aku meraih ponselku di atas nakas dengan kasar dan langsung menghubungi mas Bima. Cukup lama panggilanku tak diangkatnya. Kuulangi lagi untuk menghubunginya tapi tetap panggilanku diabaikan sampai kucoba empat kali, kali kelima panggilanku direjectnya. Sialan! Aku bangkit dari tempatku duduk, menuju kamar dan menyambar jaketku. Aku akan buat perhitungan dengan mas Bima. Sudah pasti ia menggunakan uangku itu untuk menyenangkan istri tuanya. Dan aku tak rela! Saat aku keluar kamar dalam kondisi yang marah, mama sudah berada di depanku. Gegas aku memasang senyum manis di depannya yang masam. "Mama? Sejak kapan mama datang?" tanyaku menyembunyikan kegugupanku. "Kapan kamu mau mendaftarkan pernikahanmu dengan Bima? Pernikahan kalian sangat mewah tapi kenapa hanya nikah agama saja?" tanya mama. Selalu seperti ini, mama akan mendesakku sampai aku tak bisa berkata apa-apa lagi di depannya. Biasanya aku akan menghindar saja dengan semua rasa curiganya itu. Tapi karena baru lusa kemarin aku dan mas Bima menikah, tak mungkin aku bisa menghindar dengan alasan ada pemotretan atau bertemu dengan agensi. Bisa mati kutu aku di depan mama. "Mas Bima dan aku berencana secepatnya, ma," kataku. "Secepatnya itu kapan?" tanya Mama padaku. "Segera, ma," jawabku lagi. "Kalau dalam setahun ini kamu dan Bima belum juga mendaftarkan pernikahan kalian, mama akan bertindak. Mama tidak mencari tahu dan tidak ikut campur jadi kamu tidak bisa menyalahkan mama. Bima adalah pilihanmu, dan pastikan pilihanmu tidak salah seperti pilihan mama," kata mama menasehatiku. "Sekarang di mana, Bima?" tanya Mama kembali dan aku bingung dengan apa yang harus aku jawab ke mama. Mas Bima tidak ada di rumah dan aku tak tahu harus mencarinya kemana. Tak mungkin juga aku mencarinya ke rumahnya yang ia tinggali dengan istri tuanya itu, bisa runyam dan aku kalah telak, mana belum hamil. "Tadi ada panggilan buat kerjaan, ma," jawabku ke mama. "Kamu tidak berniat mundur dari modelling, kan?" tanya mama padaku dan aku menggeleng ke arahnya. Jujur, aku berniat mundur setelah tabunganku cukup dan mas Bima masa depannya semakin cemerlang. Aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga yang mengabdi kepada keluarganya saja. Itulah keinginanku. "Tentu saja tidak, ma, modelling itu sudah jadi prosfesi Hazel," kataku seraya menggamit tangannya dengan kedua tanganku. "Bagaimana kalau kita ke BSB, Ma? Sudah lama Hazel gak ngemall," kataku pada Mama. Mama tersenyum menatapku dan mengangguk. Aku dan mama memutuskan pergi berbelanja, selain karena aku juga butuh perabotan baru, aku juga ingin menenangkan diri dari semua rasa resah yang menderaku. Aku lelah sekali memikirkan bagaimana mas Bima sampai detik ini belum juga menghubungiku. Aku memasuki Matahari Store dan mengajak mama memilih baju dan dress malam yang seksi yang akan aku gunakan untuk menggoda mas Bima di kamar. Membayangkannya saja membuatku malu, beginikah menikah dengan orang yang dicintai? Rasa-rasanya selalu malu ketika memikirkan malam-malam yang akan kami lalui bersama nantinya. Pilihanku jatuh kepada lingerie berwarna merah yang sangat menggoda. Wajahku terasa panas saat memegangnya. Lalu saat aku menoleh ke kiri dan ingin meminta pendapat mama tentang lingeri merah itu, aku mendapati mas Bima sedang berbelanja juga dengan istri tuanya dan kedua anaknya. Jarak kami cukup jauh dan aku kaget kala istrinya menatapku, sedangkan mas Bima tak tahu dengan keberadaanku, ia sibuk berbicara dengan anak balitanya yang ia gendong. Ia terlihat sangat bahagia dengan anaknya itu. Dan jujur saja pemandangan itu membuatku muak dan merasa kesal. Aku cemburu. Ternyata uangku digunakannya untuk menyenangkan istri tuanya. Sialan! Istrinya itu masih memandangku dengan tatapan bingung saat aku menatapnya lalu suara mama yang memanggilku membuatku sadar bahwa mama tak boleh tahu kalau ada mas Bima di sini dan status mas Bima yang sebenarnya. Buru-buru aku menghampiri mama yang menatapku bingung sebelum beliau sadar akan kemana aku menatap dan terpanah. "Kita pulang sekarang, yuk, ma," ajakku pada mama yang membuatnya kaget bukan main. "Loh? Katanya kamu mau beli lingerie?" tanya Mama. "Gak ada yang sesuai dengan yang Hazel inginkan. Semuanya jelek, Ma!" seruku kesal. Aku langsung menarik tangan mama keluar mall dan mengajaknya makan di luar. Mas Bima, awas kau nanti, ya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD