"Umi kenapa?" tanya Aisyah padaku kala aku memandang gamis indah di depanku tersebut. Tiga buah gamis indah dengan harga yang fantastis itu dulu hanya mampu jadi anganku saja, tapi sekarang aku bisa menyentuhnya dan itu otomatis membuatku sangat bahagia. Hanya saja kenapa jalannya harus seperti ini? Dari mana mas Bima dapatkan semua uang itu? Aku yakin itu uang milik Hazel.
"Umi!" Aisyah meneriakiku dan aku kaget seketika. Aku menoleh ke arahnya dan menatap bola matanya yang mirip sekali dengan mas Bima, "kenapa umi sekarang suka melamun, sih?" tanyanya lucu.
"Umi lagi mikir mau sekolahin Aisyah di mana, ya?" tanyaku.
"Aisyah mau sekolah di tempat yang ada drumbandnya," kata Aisyah. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
"Aisyah, apakah Aisyah sayang sama abi?" tanyaku. Dadaku berdebar-debar menanyakannya.
"Sayang banget. Umi tahu si Naina, kan?" tanyanya dan aku mengangguk, "kadang Aisyah suka sedih pas ngelihat Naina diejekin teman-temannya. Apa salah Naina umi kalau dia gak punya ayah? Bukankah umi bilang Allah lebih sayang sama ayah Naina makanya dipanggil lebih dulu ke surga?" tanyanya.
Deg
Aku melupakan perasaan anak-anakku. Usia Aisyah dan Hana memang masih membutuhkan mas Bima, dan bagaimana jika mereka tahu bahwa ayah mereka memiliki perempuan lain selain umi mereka? Bagaimana jika akhirnya aku dan mas Bima bercerai? Apa yang akan terjadi pada kedua anak kami nantinya?
"Umi kok melamun lagi?" tanya Aisyah. Aku dengan cepat menggeleng ke arahnya dan memeluknya agar ia tak tahu air mataku hampir saja jatuh memikirkan bagaimana kesedihannya kelak ketika mas Bima memutuskan meninggalkan kami.
"Aisyah, umi mau bilang kalau seumpama nanti abi gak bisa temenin kita terus gimana?" tanyaku.
"Emang abi mau ke mana lagi, umi? Mau pergi kerja ke luar negeri?" tanyanya.
"Bisa jadi,"
"Gak papa, kata umi kan abi cari uang buat sekolah Aisyah dan Hana. Yang jelas, Aisyah masih bisa teleponan sama Abi, umi. Gak kayak Naina yang udah gak bisa ngapa-ngapain lagi sama abinya," kata Aisyah.
"Aisyah bisa telepon Abi kapanpun Aisyah mau," kataku dan ia tersenyum bahagia seraya memelukku erat sekali lagi.
Aku mengajak Aisyah untuk tidur lebih awal dari sebelumnya. Aku harus mengecek beberapa hal sebelum mas Bima pulang ke rumah dan beruntung bahwa dua balitaku sudah terlelap.
Hal pertama yang aku lakukan adalah membalas pesan bu Parmi ke ponselku. Sejak tadi siang ponselku terus bergetar, tapi aku tak berani membukanya di depan mas Bima. Aku membuka ponselku dan mulai melihat foto-foto pernikahan antara mas Bima dan Hazel. Dari banyaknya foto pernikahan mereka itu, aku tercengang dengan satu foto dan menatap tak percaya ke foto tersebut.
Foto mas Bima, Hazel dan juga keluarga mas Bima.
Jadi, pernikahan Mas Bima dan Hazel sudah diketahui oleh keluarganya?
Diketahui oleh ibunya?
Bagaimana bisa ini semua terjadi?
Aku tak bisa bersabar lagi, kuputuskan untuk menghubungi ibu mertuaku lewat video call. Cukup lama sambungan yang kubangun tak juga terhubung dengannya, sampai akhirnya panggilanku terangkat juga dan wajah mertuaku terlihat sedang tersenyum ke arahku.
"Assalammualaikum, bu," panggilku ke ibu mertuaku.
"Waalaikumsalam, Mil. Kamu apa kabar? Udah lama loh kamu gak hubungi ibu. Gimana kabar Aisyah dan Hana?" tanya ibu mertuaku dengan sangat ramah. Aku cukup kaget dengan apa yang baru saja kudengarkan ini.
"Alhamdulillah baik, bu," kataku dengan senyuman, "apakah ibu dan keluarga baik-baik dan sehat semua?" tanyaku dan ia mengangguk.
"Alhamdulillah sehat," kuperhatikan baik- baik penampilan ibu mertuaku yang hanya memakai ikat kerudung di kepalanya tersebut, lalu pandanganku tertuju pada anting ibuku yang terlihat besar dan berkilau. Dan aku tahu itu pasti dari mas Bima.
Aku mengusap wajahku dengan tangan kananku.
"Kamu punya cincin, Mil?" tanya ibu mertua dan aku berhasil membuatnya terpancing. Aku pura-pura melihat ke arah kelima jemari tanganku dan dari jari telunjuk sampai ke jari manis, semuanya sudah kuisi dengan cincin emas saat tadi berbelanja dengan mas Bima.
"Alhamdulillah, bu. Mas Bima membelikannya," kataku dan itu membuat senyumnya sedikit masam.
"Apa Bima mengirimkan uang?" tanyanya.
"Nggak, bu. Aku sedang di Balikpapan sekarang ini," kataku yang langsung membuatnya kaget dan berdiri, hingga kamera depan itu akhirnya sekilas menunjukkan lampu hias yang indah. Dan aku yakin ibu sedang tidak di rumahnya di kampung, melainkan masih di Balikpapan.
"Kamu di Balikpapan?" tanyanya heran.
"Iya, bu. Ibu lagi di mana? Jangan-jangan ibu juga lagi di Balikpapan, ya?" tanyaku pada ibu yang membuatnya gelagapan.
"Ibu di rumah, kok," kata ibu.
"Tapi tadi pas ibu berdiri Amila lihat ada kalender di dinding dan lampu hias. Suasananya juga seperti hotel," kataku yang membuat ibu menoleh ke belakang dan pas sekali kamera depan itu menangkap kalender yang kumaksud tadi, "Ibu di hotel mana? Novotel hotel?" tanyaku. Ibu kembali menatap ke layar ponsel.
"Aduh, Mil. Udah dulu ya, ibu mau ke belakang,"
"Ibu gak kepengen ketemu Amila dan kedua cucu ibu? Amila tadi lihat ada cincin emas yang pas loh buat ibu," kataku padanya. Ia terlihat bimbang dengan pancinganku.
"Memang kamu beneran di Balikpapan?" tanya ibu padaku.
"Mas Bima sendiri yang jemput Amila, bu. Coba deh ibu telepon mas Bima," saranku pada ibu.
"Kapan kamu datang?" tanya ibu lagi.
"Kemarin, ibu kapan datang? Kenapa ibu di hotel dan gak di rumah mas Bima? Lihat nieh Bu, Amila sendirian di rumah sebesar ini loh. Di kulkas Amila banyak makanan, bu. Ibukan suka memasak, masak sama Amila di sini, Bu. Setiap hari mas Bima kasih belanja daging," kataku lagi. Ibu terlihat semakin bimbang.
"Ibu telepon Bima dulu, ya," kata ibu di seberang sana. Wajahnya sudah nampak tak sabar dan aku yakin mas Bima dan ibu sebentar lagi akan berdebat.
"Iya, bu. Kebetulan mas Bima mungkin masih di proyek. Belum pulang dia, sekalian tolong tanyakan apakah hari ini dia pulang atau tidak? Karena katanya besok mau nemenin Amila cari sekolah bagus buat Aisyah," kataku.
"Iya," jawab ibu ketus seraya mematikan panggilan video call tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.
Hal itu sudah biasa bagiku. Sikapnya yang memandangku sebelah mata sudah sering kuterima sejak dulu aku menikah dengan mas Bima.
"Ting!" bunyi suara notifikasi pesan itu membuatku tersenyum.
'Jangan lupa untuk memberikan aku cincin yang telah kamu janjikan tadi loh, ya!' pesan dari ibu mertua itu hanya kuanggap spam saja. Aku tak akan membalas pesannya dan aku yakin rasa penasarannya akan membuatnya mengganggu malam mas Bima dan Hazel.
Aku tak sabar menanti waktu dimana mas Bima akan menelepon atau pulang dan melayangkan protes padaku.