Bab 7: Permintaan

1141 Words
Aku membuka galeri foto dan melihat beberapa foto pernikahan antara mas Bima dan Hazel terpampang rapi di sana. Foto-foto selfie antara mereka juga ada. Tanganku gemetar hebat menyaksikan dengan seksama kemesraan antara suamiku dan perempuan lain itu. Rasa sakit hati ini bagai sembilu yang mengiris-iris hatiku begitu dalam. Rasanya sangat sakit tapi tak berdarah-darah. Aku meraih ponselku dan mengirimkan foto-foto itu ke ponselku. Aku berpindah ke pesan whats up dan di sana kulihat nomer Hazel telah diberi nama dengan sebutan 'Istriku sayang' sedang namaku diberi nama 'Ummi', rasanya sangat miris membaca namaku yang terpampang di sana. Beruntung tak ada pesan masuk dari Hazel Amanda yang belum dibaca, jadi aku bisa membuka pesan tersebut dan membaca pesan-pesan teks mesra diantara mereka berdua. Setelah sebagian besar isi pesan mesra itu aku simpan dalam tangkapan layar dan kukirim ke ponselku, barulah kukembalikan ponsel mas Bima ke tempatnya semula. Mulai besok, aku akan melancarkan aksiku. *** "Pagi, Abi!" sapaku dengan sangat lembut kepadanya yang baru turun dari anak tangga. Ia mengecup pipiku sekilas, aku tetap tersenyum meski aku sangat risih. Perempuan mana yang tak risih saat menyadari kalau suami mereka itu ada main dengan perempuan lain dan seolah tak ada apa-apa, mereka bersikap biasa saja kepada istri tua mereka tanpa merasa bersalah sama sekali? "Masak apa?" tanyanya seraya menatap ke arah pelbagai makanan kesukaannya yang tersaji di hadapannya. "Enak banget," katanya lagi. Aku tersenyum kecil. "Ayo, makan!" seruku seraya mengambilkan nasi di atas piring untuknya. Tak akan kubiarkan Hazel merebut mas Bima begitu saja dariku. Ia harus merasakan penderitaan terlebih dahulu. Kulihat mas Bima makan dengan sangat lahap, apalagi Aisyah terus bercerita bahwa aku sengaja bangun lebih pagi hanya untuk membuatkannya sarapan. "Mungkin nanti aku akan pulang larut malam, kamu gak papa, kan?" tanyanya. Aku mengangguk, "Mas, boleh aku minta sesuatu?" tanyaku lembut. "Apa?" "Aku ingin baby sister, mas, dan juga orang yang membantuku membersihkan rumah. Masak iya kamu sudah punya mobil dan rumah mewah tapi tak ada pembantu di rumah? Apa kata tetangga nanti, mas?" tanyaku. Aku tahu mas Bima itu memiliki nilai harga diri yang tinggi, jika disentil begitu saja ia pasti akan merasa gengsi. "Baiklah, nanti akan aku carikan orang itu buat kamu," jawabnya. "Oh ya mas, satu lagi, uang belanjaku bagaimana? Kebutuhan anak-anak sudah banyak, dan bukankah kamu janji padaku saat dulu kita hidup miskin bahwa kamu akan menjadikanku nyaman di sampingmu kalau kamu sudah kaya?" kataku mengingatkan. "Aku juga ingin tampil sebagai istri yang menawan. Masak iya istri kamu kucel begini sedangkan suaminya tampannya bagai nabi Yusuf? Apa kata orang nanti? Nanti dikira kamu gak cukup buat nafkahin aku lagi," kataku kembali merajuk. Mas Bima terlihat berpikir sejenak. "Apa sepuluh juta sebulan cukup? Nanti biaya lain-lain aku yang urus," katanya padaku. Aku tercengang kaget menyadari tawaran fantastis dari gajinya itu dan itu semakin menguatkanku bahwa gaji mas Bima jauh lebih besar lagi dari apa yang ia tawarkan, aku harus dapat lebih banyak biar Hazel tak dapat menguasai harta mas Bima dengan sekenanya. "Cukup mas buat di Jawa. Tapi kalau di Balikpapan juga cukup sih cuma ya itu mungkin bertahan gak sampai sebulan," kataku lembut, masih dengan senyum cantik. "Baiklah, dua puluh lima juta, ya, gajiku empat puluh juta, jadi sisanya biar aku pakai, lagipula biaya-biaya yang lain aku yang tanggung, kan?" katanya. "Alhamdulillah, mas! Akhirnya Aisyah nanti bisa aku daftarkan di sekolah yang bagus. Terima kasih banyak, ya, mas, kamu memang Abi yang luar biasa buat kita. Kamu menepati janjimu sebagai kepala keluarga bahwa kamu akan membuat anak-anak kita selalu merasa terpenuhi kebutuhannya," ucapku seraya menatapnya dengan sendu. Aku sengaja bersikap manis dan berpura-pura terharu, agar mas Bima merasa dia begitu sangat dibutuhkan olehku. Aku menyentil jiwa keperkasaannya. Aku ingat sekali saat Ayah dulu menantangnya saat ia datang melamarku. "Kamu yakin bisa membahagiakan putriku?" tanya Ayah waktu itu. "Kamu santri muda, belum bekerja, lalu dengan apa kamu menafkahi putriku?" tanya Ayah waktu itu. "Ayah ...." Ayah mengangkat tangannya, memintaku diam. Aku pun akhirnya diam tak berani mencampuri urusan ayah dan mas Bima. "Saya dapat pekerjaan, pak, bulan depan saya mulai bekerja," "Dimana?" tanya Ayah penuh selidik. "Kerja bangunan, teman saya ada yang jadi kontraktor bangunan," katanya. "Ohh," jawab Ayah datar. Ia berdiri dari kursi tempatnya duduk dan berjalan masuk meninggalkan aku dan mas Bima yang saling pandang bingung. "Pak, saya janji, saya akan penuhi semua kebutuhan keluarga saya!" kata Mas Bima dengan tegas seraya berdiri tegap dengan memandang punggung Ayah. Ayah menoleh dan menatapnya penuh arti. Ia masih diam, lalu berbalik begitu saja meninggalkan kami. Seolah tak percaya pada kemampuan mas Bima. Sejak hari itu mas Bima bekerja sangat keras untuk menepati janjinya kepada Ayah. "Apa kamu tidak lelah, mas?" tanyaku suatu hari saat ia pulang ke rumah jam dua dini hari. Ia lembur berhari-hari lamanya. Mas Bima menggeleng, "Demi kamu dan calon anak kita," katanya yang membuat diriku sejuk sekali. "Ummi!" panggil Aisyah sedikit keras saat aku melamun memikirkan masa lalu yang indah dengan mas Bima dahulu. "Iya, sayang?" tanyaku. "Katanya Abi gak bisa ngajak main, kita main sendiri, kah?" tanyanya dan aku langsung mengangguk kepadanya. "Iya, Aisyah mandi dan siap-siap, ya," kataku. "Terus kita naik apa, Ummi?" tanyanya. Aku diam seraya memandang mas Bima yang juga memandang ke arahku dengan bingung. "Bagaimana kalau mainnya kita tunda dulu aja, sayang?" tanyaku lembut ke Aisyah yang menatapku datar, ia terlihat mulai kecewa. "Jangan!" seru mas Bima. Aku memandang ke arahnya dengan tatapan menunggu, menunggunya menyerahkan kunci mobilnya kepadaku. "Hmmm, terus gimana, mas?" tanyaku sedikit mendesak tapi dengan ramah dan pelan. "Ummi bisa nyetir, kan?" tanya Aisyah dan mas Bima menatap putrinya itu penuh harap. "Mobilnya cuma satu sayang, dan itu dipakai Abi buat kerja," kataku pada putriku itu. "Ohh," jawab Aisyah datar seraya memainkan sendok makannya. "Abi gak mau belikan Umi mobil gitu?" tanya Aisyah lanjut. Sesuai rencanaku dengan Aisyah kemarin sore. Ia kuminta dengan lembut kepada Abinya agar membelikan aku mobil. Mas Bima menghela napas berat, aku tahu kenapa, mungkin ia bimbang dengan permintaan Aisyah yang besar itu. "Kamu mau mobil apa?" tanyanya padaku. "Apa, ya, Mas? Bingung. Terserah mas aja deh," "Ummi kan pengen Alphard, Bi! Belikan Umi Alphard saja, Bi!" seru Aisyah. Wajah mas Bima terlihat tertekan dan entah mengapa aku puas sekali melihat wajahnya yang seperti itu. Gajinya empat puluh juta dan baru setahun ini ia bekerja sebagai kontraktor dengan gaji seperti itu. Aku sudah sangat yakin sekali kalau rumah mewah ini dan mobil yang di luar itu adalah milik Hazel Amanda, secara dia adalah seorang model. "Gak usah dengerin Aisyah, Mas," kataku. Aku kembali menyentil egonya sebagai lelaki. Menikahi mae Bima yang memiliki ego tinggi sangat menguntungkan bagiku yang telah ia khianati. Aku hanya perlu berpura-pura lemah dan sangat membutuhkannya, itu akan menyentil egonya yang besar. "Kita ke sorum sekarang aja, yuk!" seru mas Bima seraya berdiri dari kursi meja makannya. Aku tersenyum puas, aku ingin tahu seberapa hebat ia dan istri mudanya nanti bertengkar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD