Seumur hidupnya, hari ini pertama kalinya Elena telat masuk kerja. Entah apa yang ia pikirkan semalam, ia baru tidur pukul dua malam dan bangun tiga puluh menit sebelum waktu kerja di mulai. Itu artinya, ia datang sepuluh menit setelah Pak Gio duduk di kursinya dan Elena tahu itu sebuah kesalahan fatal.
Elena membenahi letak roknya yang miring dan menyisir singkat rambutnya dengan tangan sebelum menekan tombol lift kantor. Menatap dinding kaca di sebelahnya, Elena menyesal kenapa dirinya tidak mengusapkan sedikit lipstik di bibirnya yang kini pucat. Ia bisa tahan seharian tanpa make up yang tebal, tapi ia tidak pernah lupa dengan pewarna bibirnya. Tanpa benda itu, ia hanya seorang perempuan pucat yang tampak tidak mempunyai kehidupan.
Sebelum masuk ke kantornya, Elena masuk ke toilet yang ia lewati dan dengan cepat memakai lipstik merahnya. Ia juga menyapukan sedikit perona merah di pipinya. Setidaknya, ia tampak lebih segar daripada tadi.
"Aku dengar, direktur keuangan yang baru akan datang hari ini. Aku melihatnya tadi. Dia sangat tampan," ucap seorang perempuan di samping Elena kepada temannya. Perempuan itu berambut keriting dengan tahi lalat kecil di ujung bibirnya. "Aku tidak menyangka Tuan Tane punya cucu selain Pak Andra."
"Tuan Tane cukup pintar untuk menyembunyikan cucu seksinya dari perempuan lapar seperti kau, Sil."
"Aku dengar ia baru menyelesaikan magisternya di Columbia. Apa mereka bercanda? Meskipun Pak Andra sekarang tidak bisa diremehkan, tapi memberikan jabatan tertinggi di perusahaan pada cucunya yang hanya tahu tentang lukisan daripada cucunya yang lulusan sekolah bisnis terbaik dunia itu sedikit membingungkan."
"Sudahlah. Kau tidak perlu ..."
Elena tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Ia berjalan cepat menuju ruangannya. Suara langkah Elena membuat semua orang di ruangan itu menatap Elena ketika ia memasuki ruangannya. Anggi yang duduk di kubikel paling ujung kini menatapnya khawatir, tangannya menunjuk Pak Gio yang kini berdiri di depan seorang perempuan berkemeja coklat.
"Maaf, Pak. Tadi saya telat bangun, kemarin malam saya sibuk pindahan. Rumah saya jauh, ibu saya sering khawatir kalau saya pulang malam. Akhirnya saya membeli apartemen di dekat kantor."
"Kamu baru masuk tiga hari dan berani telat karena hal sepele seperti itu?"
Karyawan baru itu tidak menyadari nada Pak Gio yang sudah meninggi dan justru menjawab pertanyaan atasannya dengan santai. "Itu bukan hal remeh, Pak. Sekarang saya hanya butuh sepuluh menit untuk sampai kantor. Tidak ada lagi kejadian mobil saya mogok di jalan atau takut pulang malam lagi. Itu mengurangi probabilitas saya untuk telat kedepannya."
"Berhenti membicarakan hal yang tidak perlu dipedulikan orang lain dan cepatlah bekerja. Kedisiplinan adalah hal utama yang saya tekankan dari awal. Jangan ulangi lagi atau saya tidak akan segan untuk memecatmu."
Elena tepat berdiri di antara dua orang itu ketika Pak Gio melangkah pergi ke ruangannya. Pak Gio hanya meliriknya sekilas tanpa mempertanyakan kenapa Elena baru hadir. Padahal, Elena sudah menyiapkan diri untuk dimarahi habis-habisan oleh atasannya itu. Ia pernah melihat Anggi ditahan satu jam penuh di ruangan Pak Gio karena telat lima menit. Kata Anggi, Pak Gio mengingatkannya pada kakak tingkat jurusannya waktu ospek dulu.
"Kau berani sekali menjawab Pak Gio seperti itu?" tanya Elena kepada Farah yang sudah duduk di samping kubikelnya.
"Memangnya kenapa?" jawab Farah santai sambil menaikkan sebelah alisnya. Elena merasa perempuan itu sedikit berbeda dengan karyawan yang lain. Entah apa yang membuatnya berbeda, mungkin gaya pakaiannya yang tampak berkelas atau kepalanya yang sedikit terangkat ketika berbicara. "Tidak ada yang salah, kan? Aku terlambat karena tanganku masih sakit akibat memindahkan perabotan tadi malam. Lagipula, aku tadi datang tepat waktu, hanya Pak Gio saja yang datang lebih awal."
"Heh, Anak Baru, aku melihat sendiri kamu telat lima menit tadi. Pantas saja Pak Gio marah," ujar Anggi dengan wajah kesal. Perempuan itu sudah berdiri di depan kubikel Elena dan menatap sengit Farah. "Aku perhatikan kamu juga miskin sopan santun. Kamu harus membedakan rekan kerja dan teman belanjamu, Anak Manja."
Farah menggebrak mejanya lalu berdiri, perempuan itu menatap Anggi tajam. "Apa kau bilang?"
"Nih!" Anggi mengeluarkan tas putih dari balik tubuhnya lalu memberikannya pada Farah. "Sekarang aku tanya, kalau bukan anak manja, lalu apa sebutan yang cocok untuk orang yang masih mendapat kiriman sarapan oleh ibunya di kantor?"
"Kata siapa ini dari ibuku?"
"Anakku sayang, ibu tahu kamu pasti tidak akan sempat masak pagi ini. Makanan di luar juga tidak tentu bagus untuk kesehatan kamu. Ibu masak sup tuna kesukaan kamu." Anggi berhenti untuk menahan tawanya. Perempuan itu menutupi mulutnya dengan tangannya yang kosong, lalu membaca kembali kertas kecil di tangan kirinya. "Bilang ke ibu kalau ada apa-apa. Nanti malam ibu ke apartemenmu ..."
"Sial-an!"
Tawa Anggi pecah setelah kertas itu di ambil paksa oleh Farah dari tangannya. Beberapa orang melihat mereka dengan tak suka. Elena berdiri lalu tersenyum menenangkan dan meminta maaf kepada orang-orang di ruangan itu karena sudah membuat keributan di pagi hari.
"Kalian bisa diam, tidak?"
Anggi seketika melenggang duduk di kursinya, sedangkan Farah masih berdiri dengan kesal di sampingnya.
"Bisa duduk tenang, Farah?"
"Baik. Aku bukan yang memulai kekacauan ini. Jangan menatapku seperti itu."
Elena melemaskan raut wajahnya karena kesal, lalu tersenyum manis kepada Farah. "Aku tahu."
Elena melanjutkan pekerjaannya, sesekali ia melirik Farah dan mendapati perempuan itu sedang duduk di ujung kubikelnya dan menyembunyikan wajahnya di dinding, ia dapat melihat ponsel menempel di telinga kirinya. Tidak seperti ruangan lain, jarak kubikel di ruangan itu cukup jauh, mejanya cukup luas sehingga Elena bisa meletakkan barangnya dengan leluasa. Tapi, meskipun begitu ia masih bisa mendengar bisikan Farah di ponselnya itu.
"Ibu, jangan pernah melakukan ini lagi. Sudah ku bilang kalau aku bisa hidup sendiri. Awas kalau ibu melakukan hal ini lagi tanpa pengetahuanku. Ibu membuatku malu."
Tubuh Elena menegang, matanya terpejam meresapi perasaan yang tiba-tiba mendatanginya. Elena rindu pada ibunya - pada keluarganya.
***
Elena benar-benar menyesali kenapa dirinya dengan patuh menuruti keinginan Anggi dan teman-temannya untuk makan di restoran sebelah kantornya. Ia tidak akan berkomentar apapun jika saja restoran itu tidak hanya menyajikan masakan pedas yang sekarang membuat perutnya sakit. Makanan itu telah berhasil membuat perut Elena memberontak keras. Anggi menatapnya dengan penyesalan lima menit yang lalu, tapi Elena tahu semua ini murni kesalahannya. Ia tahu perutnya tidak tahan dengan makanan pedas namun ia tetap memakannya. Kadang, Elena benar-benar membenci tubuhnya sendiri hingga sering melukainya dengan sengaja.
Ayumi datang ke ruangannya ketika jam makan siang tadi, seperti biasa, dengan senyuman tulus dan dompet hitam di genggamannya, perempuan itu mengajaknya untuk makan bersama. Perempuan itu tidak akan betah makan sendiri walaupun di depannya ada donat-donat kesukaannya sekalipun. Namun, makan bersama Ayumi sama artinya dengan duduk di hadapan Natha kurang lebih satu jam, hal itu membuat Elena menggelengkan kepalanya cepat menolak ajakan Ayumi. Ia sedang berusaha menjauhi laki-laki itu. Setidaknya dengan menghindarinya seperti hal konyol yang anak remaja, laki-laki itu akan mengerti bahwa Elena sedang memutus semua kesempatannya. Seperti janjinya dan seperti yang harus ia lakukan seterusnya.
"Sudahlah, Anggi. Sebaiknya kamu pergi terlebih dahulu ke ruang rapat. Pak Gio akan semakin marah kalau kita berdua telat siang ini," kata Elena kepada Anggi yang menunggunya di toilet.
"Tapi, Elena- "
"Jangan peduli denganku. Aku akan menyusul secepatnya setelah ini semua selesai."
"Bukan begitu, El. Pak Gio juga akan marah kalau kau tidak datang ke sana. Masalahnya, revisi terakhir ada di laptopmu." Suara langkah Anggi semakin menjauh. "Aku akan menghubungi Pak Gio agar membawa laptopmu ke ruang rapat. Setidaknya dari sini ke lantai lima butuh waktu lima belas menit."
Elena mendengar Anggi menelepon seseorang di luar. Dari nadanya yang pelan dan sedikit kaku itu, ia tahu Anggi sedang berbicara dengan Pak Gio. Elena keluar dari toilet setelah berada di dalam lima belas menit. Ia mengamati wajahnya di kaca toilet, mengambil selembar tisu lalu menghapus keringat yang masih tertinggal di wajahnya. Suara Anggi semakin jelas ketika pintu terbuka dan perempuan itu segera menarik tangan Elena cepat.
"Ayo, El, kita masih punya waktu sepuluh menit. Rapat mingguan ditunda minggu depan, sekarang ada pertemuan dengan direktur keuangan kita yang baru. Pak Gio bilang kita tidak boleh telat. " Anggi membayar makanan mereka pada penjaga kasir perempuan bercelemek hijau di depan lalu berlari menarik Elena. "Aku seharusnya sudah tahu bahwa Pak Gio tidak akan mengampuni kita apapun alasannya. Tadi pagi, aku sedikit terkejut ketika kau tidak disergap oleh Pak Gio."
Elena melepas tangannya dari tarikan Anggi. "Bisakah kita berjalan saja, Nggi? Perutku masih sakit. Pergilah lebih dulu kalau kau tidak ingin terlambat."
"Baiklah, maaf. Kita jalan saja."
Mereka berjalan bedampingan menuju kantor yang sudah tampak dekat. Basupati Corp. adalah perusahaan manufaktur yang bergerak dalam bidang elektronika dan komponen pertama di Indonesia. Alat-alat komunikasi yang beredar di masyarakat sebagian besar dibuat di perusahaan tersebut, bahkan tahun kemarin, penjualan produk perusahaan yang mempunyai banyak cabang di seluruh Indonesia itu mengalahkan beberapa perusahaan elektronik terkenal di China dan Jepang. Elena sudah bekerja di kantor itu selama tiga tahun sebagai akuntan setelah sebelumnya bekerja di kantor cabang.
Anggi berjalan sedikit lebih cepat di depannya. Perempuan jangkung itu mengenakan rok span biru muda yang membuat tubuhnya terlihat ramping sempurna. Kulitnya putih, dengan rambut lurus dan hitam berkilau sudah cukup untuk membuatnya banyak digandrungi di kalangan laki-laki di kantornya. Perempuan itu pernah mengatakan pada Elena kalau dirinya sudah mempunyai kekasih yang sekarang sedang menyelesaikan magang di rumah sakit.
"Elena, apa kau sudah bertemu direktur keuangan yang baru?" tanya Anggi ketika mereka berdua berjalan di lorong lantai empat yang khusus digunakan sebagai ruang rapat.
"Belum."
"Aku harap beliau tidak akan memarahi kita karena telat di pertemuan perdananya. Maksudku, mendengar omelan Pak Gio sudah sangat cukup untukku hari ini."
Semua mata di ruangan itu menatapnya ketika Elena dan Anggi membuka pintu. Ruangan itu sudah penuh. Meja rapat bewarna putih disusun membentuk setengah lingkaran besar yang berlapis-lapis dengan sederat meja besar di bagian depan. Lima meja berdiri di sana dengan direktur utama di tengahnya. Direktur utama, Andrapria Basupati, seorang pria tampan berkemeja hitam yang sering dibicarakan rekan kerjanya tanpa absen sedetikpun.
Elena melihat jam di dinding dan mendapati bahwa ia sekarang sudah telat tujuh menit. Ia sudah telat untuk kedua kalinya hari ini. Elena melihat Pak Gio memandangnya dengan tajam di barisan depan. Dua kursi di belakangnya masih kosong. Ia tidak mengira akan ada Pak Andra di ruangan ini. Ini hanya pertemuan direktur keuangan baru, Elena kira hanya ada orang-orang bagian keuangan, tapi ia juga menemukan Natha duduk diam di berseberangan. Ayumi, Amara, dan Nendra juga sudah duduk di tempatnya masing-masing. Di belakang, Anggi menyentuh pundaknya dan menyuruh Elena untuk maju ke depan. Mereka berdua mendekati Pak Gio dengan kikuk. Elena hanya tidak nyaman dengan Anggi yang menatapnya dengan sinar ketakutan. Ia juga tidak terbiasa dengan situasi seperti ini.
Elena membungkukkan tubuhnya pada orang-orang di depannya, lalu menghadap para petinggi perusahaan dengan kepala menunduk, ia dapat melihat Anggi melakukan hal yang sama. "Maaf, saya telat."
"Tidak apa-apa. Silakan Anda duduk. Pertemuannya baru saja dimulai."
Elena mengangkat kepalanya ketika suara berat nan halus milik CEO-nya itu menjawab permintaan maafnya. "Terima kasih, Pak Andra-"
Tubuh Elena hampir saja lunglai kebelakang ketika melihat seorang pria yang duduk di sebelah CEO perusahaannya itu. Anggi menahan pundaknya dari belakang sebelum perempuan itu berhasil menarik tubuhnya dan berdiri tegak lagi.
Pria itu duduk di sana, bersama orang-orang penting di kantornya, di samping Andrapria Basupati, CEO yang sering ia lihat berjalan di kantornya dengan pengawalan ketat dari keamanan perusahaan. Andrapria Basupati, cucu pemilik Basupati Corp.,Tanendra Basupati. Andrapria Basupati, seorang pelukis yang dipaksa Tanendra Basupati untuk menggantikan Leksamana Basupati yang meninggal lima tahun yang lalu. Basupati, nama itu, Elena tidak asing dengan nama itu seumur hidupnya. Itu adalah nama yang sering menghantui mimpi-mimpinya, tidak ada yang dapat membayangkan betapa banyak kesakitan yang diberikan pemilik nama itu pada kehidupannya dulu. Elena lupa bahwa pria itu, yang sekarang sedang menarik tipis bibirnya itu bernama Regantara Basupati. Ia adalah Basupati.
"Kau memberi maaf terlalu mudah kepada bawahanmu, Andra," kata laki-laki itu masih dengan mata yang menatapnya tajam. "Perempuan seperti dia tidak pantas mendapat maaf semudah itu. Ada yang namanya hukuman bagi setiap kesalahan."
"Sudahlah, Reg," ucap Andra kepada sepupunya yang duduk di sebelahnya itu. "Kalian boleh duduk," lanjut Andra lalu tersenyum tipis pada dua orang di depannya.
Anggi menarik tangan Elena yang dingin untuk duduk di belakang Pak Gio. Kakinya dengan kaku melangkah mengikuti Anggi. Matanya tetap menatap pria di depannya yang sekarang sedang menegak air kemasan lalu mencengkram botolnya hingga hancur. Langkah Elana terhenti ketika pria itu berkata lagi.
"Andra, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan hingga menerima perempuan ja-lang seperti dia. Adakah yang mau menjelaskan di mana kalian memungut perempuan itu?"
Elena membuka mulutnya tidak percaya, ia benar-benar lupa bahwa pria itu tidak akan membiarkan dirinya lolos dengan mudah. Pria itu tidak peduli apakah di depannya ada puluhan orang sekalipun. Ia tidak peduli bahwa seisi ruangan itu sedang melihat mereka dengan tanda tanya besar sekalipun. Pria itu tidak akan pernah mengerti bahwa sekarang Elena sedang bertahan untuk tidak berlari keluar dan meninggalkan tempat ini sekalipun.
Bisik-bisik samar di belakangnya tiba-tiba menghilang ketika CEO perusahaan itu membentak Regan dengan keras.
"Regan! Apa yang kau katakan?"
Elena ingin pergi dari tempat ini. Sejauh mungkin - tanpa ada satu pun yang melihat - ia ingin hilang.