Aurora terjatuh ketika tidak sengaja kakinya menubruk kaki meja yang ditempati oleh Langit. Perlahan, Aurora bangkit sebelum banyak orang yang menatapnya. Walaupun sudah setengah malu karena ditertawakan oleh beberapa pengunjung yang melihatnya tersungkur. Niatnya ingin melihat indahnya bunga mungil itu, tapi malah mendapati diri yang menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Ra, bangun,” ucap Jasmin yang baru saja sampai di tempat Aurora tersungkur dengan lari-lari kecil.
Setelah Aurora bangun, mereka memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Mereka kembali ke rumah Aurora. Setelah sampai di rumah, Jasmin menumpang untuk mandi. “Ra, gue mau pulang. Apa gue mandi dulu saja, ya.”
“Sok atuh mandi.” Aurora berjalan keluar kamar untuk mengambil air minum, sedangkan Jasmin melenggang membersihkan diri.
Sekitar pukul enam malam, mereka berdua duduk di tepi ranjang. “Ra, bahas konten besok saja. Itu di email banyak orang kirim-kirim materi.” Jasmin mengambil tas kecil berwarna putih lalu meminjam mobil Aurora untuk pulang ke rumahnya sendiri.
Setelah Jasmin pulang, Aurora melanjutkan mengerjakan tugasnya. Tugas sekolah yang masih terbengkalai di meja belajarnya. “Hem tugas oh tugas.”
Aurora mengambil bolpoin berwarna hitam di dalam tempat pensil. Lalu ia mencoretkannya di buku tulis yang masih bersih itu. Di sana, ia menuliskan jawaban-jawaban dari tugasnya. Setelah selesai mengerjakan tugas, Aurora melanjutkan membaca materi yang ada dalam buku pelajarannya. Selain hobi narsis di depan kamera, ada sebuah hobi yang dibanggakan dari Aurora. Dia menyukai buku n****+. Banyak buku n****+ yang terpasang di rak bukunya. Ia mengoleksi sejak duduk di bangku menengah pertama. Malam ini, rasanya dirinya masih enggan untuk menyentuh buku-buku itu.
Aurora mengambil laptopnya lalu membuka email untuk mengecek pesan-pesan dari warga internet. Di sana, ada beberapa permintaan untuk mengisi konten dan ada juga yang mengirimkan materi tentang kuliner. Aurora membutuhkan waktu selama kurang lebih satu jam untuk membaca seluruh pesan. Setelah selesai membaca, ia memutuskan untuk istirahat. Ia tidur sendiri di kamarnya. Berusaha keras, kerja keras, ataupun kerja cerdas, harus diiringi dengan istirahat yang cukup. Tidak akan ada artinya dari sebuah hasil pekerjaan, jika tubuh saja sakit.
“Ra, bangun, itu halaman di sapu!” teriak Nilam dari depan pintu kamar Aurora. Hampir setiap pagi, kalimat yang selalu Nilam lontarkan sama. Tidak ada perbedaan. Aurora menggeliat lalu bangun dari ranjang untuk menyambut hari penuh semangat.
“Anak gadis bangun jangan siang-siang, nanti tidak jadi calon menantu idaman.” Nilam turun ke lantai satu disusul oleh Aurora. Nilam kembali ke dapur untuk mempersiapkan menu sarapan. Sedangkan, Aurora menjalankan perintah dari ibunya. Dengan telaten, Aurora menyapu halaman rumahnya yang lumayan luas itu.
Terdengar suara klakson mobil dari luar pekarangan. Aurora yang telah hafal dengan suara klakson mobilnya pun tidak menggubrisnya. Ia masih fokus menyapu halaman yang belum selesai juga. Jasmin keluar dari mobil dan menghampiri Aurora. “Ra, tumben kali mau menyapu. Biasanya saja masih angkrem di kamar.”
Aurora berkacak pinggang dan membuang sapunya. “Lu mau apa sih? Sumpah, masih pagi sudah dibuat kesal saja.”
“Sabar, buk. Sini saya bantu.” Jasmin mengambil sapu lidi yang tergeletak di tanah. Ia meneruskan sisa kotoran yang belum selesai di masukkan ke tong sampah. Setelah selesai menyapu, mereka masuk ke rumah.
“Gue mandi dulu. Kalau lu mau makan bareng Bapak Emak gue sih, terserah lu.” Aurora melenggang ke kamar untuk membersihkan dirinya dari segala bakteri. Sedangkan, Jasmin memilih untuk duduk di meja makan bersama Nilam dan Bram.
“Jasmin, kamu sudah cuci tangan di luar, kan?” tanya Nilam yang sedang menikmati teh manisnya.
“Sudah, kok, malah sudah mandi juga. Masker juga gak lepas selama di perjalanan.” Jasmin mengambil piring lalu menikmati makanan yang telah dimasak oleh Nilam. Tentu saja, dia mengambil satu porsi sarapan dengan tawaran dari pemilik rumah.
“Jasmin, hari ini ada syuting konten?” tanya Bram yang sedang mengunyah roti tawar dengan selai rasa pisang kesukaannya.
“Ada, Om. Hari ini kita syuting di rumah saja.” Jasmin mengelap minyak di sekitar bibirnya dengan selembar tisu. Setelah itu, ia berpamitan untuk ke kamar Aurora. Dua menit kemudian, ia duduk di ranjang Aurora sembari melihat sang pemilik kamar sedang dandan.
“Ra, lu sudah bilang ke Mario, kan?” tanya Jasmin mengingatkan sahabatnya.
“Eh, aku lupa belum bilang kalau hari ini kita bakalan syuting.” Aurora menyisir rambut sembari berjalan ke meja sebelah kanan ranjangnya. Ia mengambil ponsel lalu menelepon Mario. Beruntung, Mario bisa diajak kerja, walaupun mendadak sekalipun.
Aurora telah selesai dandan. Sekarang, ia sedang melakukan eksekusi untuk mencuri cabai dari dapur ibunya. Sekarang, harga cabai di kota jauh lebih murah daripada sebelumnya yang melonjak sampai ratusan ribu per kilo gram.
Aurora telah kembali ke kamar dengan membawa satu baskom kecil cabai rawit. Jangan sepelekan baskom kecil itu muat cabai sebanyak dua kilo gram. Banyaknya cabai tidak sebanding dengan biasanya, sebab, Aurora lupa tidak membeli cabai tadi pagi. Alhasil, ia memilih untuk memakai milik ibunya. Tidak lama kemudian, Mario telah datang dengan pakaian yang menjadikan kebanggaannya. Ia duduk di kursi rias milik Aurora. “Lain kali jangan dadakan, Ra.”
Mario melepas sepatunya. “Jadi, hari ini kita bakal bikin konten seperti apa?” tanya Mario sembari membuka tas yang berisi kamera. Jadi, dua hari yang lalu, kamera milik Aurora dipinjam Mario untuk pemotretan keluarganya.
“Rencana, kita bakal buat segmen baru lagi, Rio. Nah, segmen ini adalah challange. Jadi, di sini gabungan antara musik dan kuliner. Maksudnya begini, akan ada lagu yang diputar kalau salah menjawab judul lagunya, harus makan menu mukbang dan cabai.” Jasmin berdiri sembari menjelaskan layaknya seorang dosen yang sedang menjelaskan materi kepada mahasiswanya.
“Kalau menurut gue, mending hari ini kita bahas secara matang, dulu. Takutnya, nanti bakal ada masalah atau dampak buruknya.” Mario menutup laptopnya lalu berjalan membuka gorden dan jendela kamar Aurora.
Jasmin kembali duduk di sebelah kanan Aurora. “Rio, kalau semisal itu kita lakukan, kira-kira dampak yang akan terjadi apa? Lalu kenapa kita harus memikirkan hal itu?” tanya Aurora yang belum mengerti dengan pendapatan dari Mario.
“Ra, menurut gue, dalam setiap kegiatan, kita harus memikirkan dari poin A sampai Z atau dari sebab sampai akibat. Apa sih keuntungan dan kerugian dari sesuatu itu. Jadi, lebih meminimalkan risiko. Nah, menurutku segmen ini unik sih. Tapi, lebih baik dalam segmen ini sistimnya collab. Kita juga harus memikirkan, apakah dengan menu mukbang pedas tambah cabai itu aman untuk kesehatan atau tidak.”
“Tapi, selama ini aku baik-baik saja.” Aurora menyanggah.
“Gue, tahu, Ra. Tapi, tidak semua orang bisa tahan banting dengan pedasnya cabai yang sebanyak itu. Belum lagi, isi cabai itu berbahaya kalau over.” Mario meletakkan ponselnya yang semula ia taruh di saku celananya.
“Memang bahaya dari isi cabai apa, Rio?” tanya Aurora.
“Bisa menyebabkan peradangan lambung yang mengakibatkan maag atau diare dan lainnya.” Mario berjalan ke ambang pintu untuk membuang sampah yang ada di dalam saku celananya ke tempat sampah yang ada di depan kamar Aurora.
“Tapi, .... “ Aurora menghela napas sembari memakai serum ke wajahnya.