“Iya, Ra, siapa lagi kalau bukan Langit.” Jasmin menatap wajah Aurora.
“Bukan, itu, Jas. Gue bukan menyebut nama dia. Tapi, lihat langit bagus sekali, cuacanya cerah tidak seperti kemarin yang mendung. Sudahlah, lebih baik kita buru-buru untuk kembali dan melanjutkan kegiatan kita saja.”
Aurora berbalik untuk masuk ke dalam mobil. Tidak lama kemudian, di susul oleh ibu Tania yang akan mengendarai mobil itu. Mereka telah sampai di perkebunan teh setelah menempuh perjalanan yang lumayan membuang waktu.
“Halo semuanya! Kembali lagi bersama Aurora.” Kata Aurora membuka isi kontennya.
Detik selanjutnya, Aurora memperlihatkan beberapa menu yang akan dipakai untuk konten siang ini. Di sebuah papan yang sering dipakai para petani teh gunakan untuk sekadar beristirahat, di sana terdapat doclang dan satu mangkuk cabai yang terisi penuh.
Aurora membuka kemasan doclang yang sudah dibeli. Di dalam kardus itu terdapat daun batat, lontong sayur yang sudah diiris, telur rebus, kerupuk, sambal kacang kental, dan seplastik kecil kecap. Aurora mulai melakukan penilaian terhadap makanan itu. Tangannya sesekali menambahkan irisan cabai ke dalam piringnya.
Dua puluh menit kemudian, kegiatan syuting telah usai. Mereka bergegas untuk berkeliling wilayah kebun teh. Mata mereka tak henti memandangi jari-jari petani yang sedang memetik daun teh. Sebuah pelajaran terbaru bagi mereka mengenai sebuah perkebunan.
“Ra, balik, yuk.” Mario memegangi kepalanya.
Mereka kembali ke vila. Mereka juga mengemas pakaian untuk segera pulang ke Jakarta. Beberapa menit kemudian, mereka telah selesai mengemas pakaian. Kaki mereka melangkah keluar untuk menuju ke mobil. Mereka berpamitan kepada Mang Asep yang berdiri di depan pintu.
Mobil yang dikendarai oleh ibu Tania telah melenggang meninggalkan halaman vila. Mobil itu dikendarai menuju Jakarta. Di tengah jalan, mereka dibuat tenang dengan jalanan yang sepi, seakan milik sendiri.
Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di Jakarta. Mereka bersenda gurau di ruang tamu dengan santai dan tenang. Sesekali terdapat bahan canda yang mengundang tawa seisi rumah. Mereka menceritakan semua kejadian yang dialami selama di vila.
“Ra, gue pulang, dulu.” Mario berpamitan setelah menghabiskan satu gelas teh hangat yang dibuat oleh Nilam.
“Oke, hati-hati, ya.”
Aurora dan Jasmin pergi ke ruang tengah untuk melanjutkan pekerjaan. Mereka mengerjakan tugas sekolah yang tertunda karena harus pergi ke Bogor. Walaupun mereka punya kegiatan di luar sekolah, pekerjaannya sebagai pelajar tetap harus nomor satu.
“Ra, kira-kira siapa sih dibalik akun itu? Kalau menurut gue dan entah kenapa bisa seyakin itu, kalau dia itu Langit.”
“Gak tahu lah, Jas. Sudahlah, kita hari ini jangan bahas yang bikin panas. Mendingan, kita selesaikan dulu tugas ekonomi ini.” Aurora mengambil laptop untuk mencari referensi materi di internet.
“Gue kangen jajan di kantin Ibu Alyssa.” Jasmin meminum es lilin yang diambil dari kulkas. Sebuah es dengan rasa buah mangga asli buatan Nilam beberapa hari yang lalu, lebih tepatnya ketika Aurora dan Jasmin sedang pergi ke Bogor.
“Ih sama, apalagi kalau pas jam kosong, sudah pasti kita masuk ke kantin dan ... ngomongin adik kelas, iya kan?” goda Aurora terhadap Jasmin yang memang sering menjadikan adik kelasnya sebagai buah bibir.
Semua rasa yang tercipta di sudut-sudut sekolah telah buyar perlahan. Semua itu, seakan sirna karena tak ada kisah yang dirajut di sana lagi. Sekolah yang benar-benar sekolah seakan tidak ada lagi. Semua kegiatan pembelajaran lebih sering di rumah melalui internet yang membuat mereka tidak bisa bertemu. Tapi, tenang. Dari segala keluh kesah adanya sekolah daring menjadikan murid Indonesia melek akan digital.
“Ra, apa lu tahu tentang faktor produksi?” tanya Jasmin yang mendapati soal tersebut.
Aurora mendongak. “Memang, itu nomor berapa?”
“Dua belas,” jawab Jasmin sembari mencari-cari penghapus di meja.
“Faktor produksi merupakan segala sesuatu yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. Salah satu contohnya, ya, faktor alam.”
“Oke ... Ra, keluar yuk. Mainan balon, ha ha ha ... kita santai saja, jangan terlalu dipaksa. Nanti sakit,” kata Jasmin sembari beranjak meninggalkan bukunya.
Jasmin pergi mengambil botol bekas air mineral. Kemudian, dia menuangkan sabun, lalu ditambahkan air dan dikocok sampai berbusa. Setelah itu, Jasmin membentuk lingkaran kecil menggunakan kawat untuk membuat balon-balon dari air sabun. Dia terlihat bahagia dan penuh dengan ketenangan ketika memainkan balon-balon itu. Sesekali badannya memutar mengikuti arah balon terbang. Aurora yang melihat pun tertarik untuk memainkannya.
Saking asyiknya dengan permainan balon itu, mereka tidak menyadari dengan hadirnya Langit di ujung gerbang sana. “Selamat sore,” katanya.
Aurora bergegas untuk menghampiri Langit yang masih setia dengan helmnya. Dia berdiri di sana untuk menunggu seseorang yang akan membukakan pintu. “Ada apa?” tanya Aurora tanpa membalas sapaan dari Langit.
“Jadi, lu anaknya Pak Bram?” tanya Langit dengan tersenyum diujung bibirnya.
“Iya, ada perlu apa?” jawab Aurora.
Langit memberikan satu map berwarna kuning. “Kasih ke Pak Bram, itu tadi dari bapak gue.”
Tidak lama kemudian, Langit pergi meninggalkan halaman rumah Aurora. Setelah motor milik Langit sudah pergi menjauh, Aurora masuk ke rumah untuk memberikan map itu ke Bram. Setelah itu, Aurora kembali memainkan balon-balon air sabun kembali. Selayaknya anak kecil yang begitu tenang dan nyaman dengan permainan itu. Sesekali mulutnya mengeluh hanya karena balonnya tidak bisa menggelembung.
“Jasmin, kenapa ya, anak kecil jauh lebih tenang daripada orang dewasa?” tanya Aurora sembari meniupkan air sabun ke udara.
“Mungkin, pola pikir anak kecil yang belum serumit orang dewasa, Ra.”
Mereka telah puas dengan balon air sabun. Mereka melangkahkan kaki untuk masuk ke rumah kembali pada tugas sekolahnya. Mereka mengerjakan soal-soal ekonomi yang diberikan oleh gurunya.
“Jasmin, untuk konten yang kemarin, diunggah minggu besok saja. Kita juga harus belajar dan mengerjakan tugas.”
“Iya, Ra. Gue sih pikirnya begitu.”
Pyar!
Aurora dan Jasmin berjalan ke arah dapur untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ternyata, hanya panci yang jatuh. Di sana Nilam sedang mencuci piring dan perabot yang kotor. Aurora dan Jasmin kembali ke ruang tengah untuk menyelesaikan tugas di sore hari itu.
Hari ini benar-benar sebuah hari di mana Aurora bisa merasakan ketenangan seutuhnya. Dirinya bisa merasa bahagia yang begitu sederhana. Sebuah rasa nyaman, tenteram, bahagia, tenang harus bisa diciptakan sendiri. Siapa yang akan menciptakan itu semua kalau bukan diri kita sendiri?
“Ra, kalau semisalnya lu ketemu sama si pemilik akun, lu mau apa?” tanya Jasmin yang sedang memakai jaketnya. Suasana menjelang malam ini begitu dingin. Bahkan, air minum dalam teko saja berasa air es yang baru dikeluarkan dari dalam kulkas.
“Gue tuntut di depan hukum. Ya, kali gue jadikan pacar atau saudara. Amit-amit,” jawab Aurora. “Jas hujan!”