Dandelion

1468 Words
Hati Aurora seperti tersayat sebuah bilah bambu runcing dalam beberapa kali sayatan. Bibirnya tak mampu menjerit akibat kewalahan mencari pembelaan. Tangannya tak sanggup untuk menggenggam erat tautan jemarinya bersama milik Mario yang telah dibawa paksa oleh penghuni sekitar vila. Sebuah raga yang lemah tidak bisa membebaskan sahabatnya sendiri keliar dari tawanan para warga yang tak mengerti apa-apa. “Ra, hapus air mata lu! Basi, tahu, gak!” teriak Jasmin tepat di depan Aurora yang tengah berdiri bersandarkan belakang jendela kayu di vila yang ditempatinya. “Aurora! Mario tidak butuh air mata lu atau gue, tapi dia butuh keberanian kita untuk bisa speak up. Kita harus segera meluruskan apa yang terjadi.” Sebuah kata yang memang benar adanya tak digubris oleh Aurora. Hatinya hanya mengandalkan dengan air mata yang tak akan bisa menyelamatkan Mario dari fitnah dari orang-orang keji yang tak pernah memiliki rasa kemanusiaan dan mau menang sendiri. “Silakan, kalau lu mau menangis terus-terusan tanpa melakukan sebuah action. Biar gue yang berangkat ke pemilik vila untuk menjelaskan semuanya.” Langkah Jasmin telah sampai di ambang pintu. Aurora tersadar dengan lamunan dan tangisan yang tak berharga. Ia bergegas mengambil alih untuk menghapus air mata yang hanya mengganggu wajahnya. Kakinya dengan sedikit berlari untuk menyusul Jasmin yang sedang membuka pintu. “Gue ikut, Jas!” Jasmin menengok ke belakang dengan memberikan senyuman manis ke arahnya. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk segera memberikan kebenaran. Langkah demi langkah yang dilakukan oleh kaki-kaki mungil itu memberikan sebuah kebebasan bagi Mario. “Tunggu, Pak!” teriak Aurora yang sedang berdiri di ambang pintu. Aurora dan Jasmin telah sampai di sebuah ruangan besar seperti aula di sekolah. Bedanya, ruangan itu terdapat banyak kursi dan tempat untuk mengadili layaknya kantor pengadilan negeri. Akan tetapi, tempat ini tidak memberikan keadilan jika tidak mendengarkan tentang fakta yang sebenarnya terjadi. “Kalian ini, benar-benar tidak punya rasa malu! Masih SMA bisa-bisanya main bertiga di vila. Apa kalian tidak memikirkan perasaan orang tua kalian?” teriak seluruh warga yang berada di dalam ruangan. Seberat apa pun masalah, serapuh apa pun perasaan, mau bagaimana pun sebuah besarnya penderitaan, akan terkalahkan oleh sebuah ketekadan dan ketegaran serta keberanian. Kaki dengan sepatu berwarna putih itu berjalan dengan santai melewati keramaian yang membuat sesak di dalam sana. Masih dengan masker yang terpasang rapi di wajahnya, Aurora dan Jasmin berbicara di depan meja panjang yang digunakan untuk memutuskan perkara. “Bapak dan Ibu, sekalian, tanpa mengurangi rasa hormat kami, sebelum kalian mengadili teman kami, ada sesuatu yang perlu kami sampaikan. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Aurora. Saya dan kedua teman saya berasal dari Jakarta. Kami datang ke tempat ini untuk melakukan kegiatan syuting konten di kanal youtube milik saya pribadi. Tanpa menghilangkan citra tempat ini, kami selalu mengangkat nama baik tempat yang kami liput. Kemudian, untuk masalah teman laki-laki saya yang kebetulan sedang rebahan di sofa vila yang saya sewa, itu hanya karena satu hunian lain yanv saya sewa sedang dibersihkan.” Aurora kembali menutup wajahnya dengan masker. Bibir mereka terbungkam, akan tetapi, sama sekali tidak ada yang mengajukan permohonan maaf. Padahal, terlihat jelas apa yang mereka tuduhkan merupakan perbuatan jahat dan hina. Aurora mengelus d**a untuk mengucapkan istigfar terhadap Allah agar diberi kesabaran seluas samudera. Mario berdiri lalu ikut serta dengan Aurora dan Jasmin melangkah pergi meninggalkan orang-orang yang memicu kerumunan. “Dasar orang-orang julid!” teriak Aurora sembari berkacak pinggang. Ia berhenti dari langkah kakinya di tepi jalan setapak yang pinggirannya dipenuhi rumput liar. Tak lama kemudian, ia merasakan belakang telinga yang gatal karena gigitan nyamuk. Tangannya terangkat untuk menggaruk bekas gigitan nyamuk. Aurora baru tersadar jika anting yang terpasang di telinga kanannya tidak terpasang di sana. Sekali lagi, tangannya meraba untuk memastikan keberadaannya. Akan tetapi, benar, anting itu telah jatuh entah ada di mana. “Ra, ada apa?” tanya Mario yang sedang berusaha untuk melindungi dirinya dari tusukan udara malam yang sedang berusaha keras untuk melebur masuk ke dalam tubuh dan tulang-tulangnya. “Anting gue jatuh, tapi, ya sudah. Mau dicari juga susah, kan, di sini banyak rumput.” Aurora pergi untuk kembali ke vilanya. Mario dan Jasmin bertatapan untuk meminta pendapat mengenai anting yang terjatuh. Akan tetapi, hari yang sudah malam dan gelap membuat mereka melanjutkan untuk kembali ke vila. “Mario, ini kuncinya. Barusan, Mang Asep ke sini, katanya tempat yang akan kamu gunakan selama tiga hari ke depan sudah selesai dibersihkan. Kalau ada apa-apa langsung telepon atau panggil Mang Asep,” kata Aurora sembari mengantarkan Mario berjalan ke luar vila yang sudah disewanya. Mario mengangguk sembari menggendong tasnya. Kakinya berjalan mengikuti alur langkah kaki Mang Asep yang berada di depannya. Mereka menginap di salah satu bangunan yang ada di sana. Keesokan harinya, Mario berjalan ke tempat Aurora dan Jasmin menginap. Di sana, mereka menikmati menu makanan yang telah di masak oleh ibu Tania. Seorang sopir yang dibayar khusus untuk menemani Aurora pergi. Pagi ini, ibu Tania merangkap pekerjaannya menjadi tukang masak di vila untuk sarapan. “Ibu Tania, boleh kok ikut bersama kami untuk sarapan.” Ibu Tania duduk di sebelah Mario. Mereka menyelesaikan makanan dengan waktu tidak lebih dari dua puluh menit. Setelah selesai makan, mereka bersiap untuk menjalani kegiatannya. Sebuah kegiatan yang menjadi tujuannya berkunjung ke Bogor. Tiga puluh menit kemudian, mereka telah sampai di sebuah tempat perkebunan teh. Mereka memandangi udara segar perpaduan dengan aroma khas teh yang memberikan sensasi relaksasi untuk tubuh. Mata Aurora tidak bisa berhenti memandangi indahnya pemandangan kebun teh yang terdapat beberapa petani sedang memetik daun teh. “Mbak, maaf, ini kan katanya mau membuat konten, tapi kok bahan makanan belum ada, ya?” kata ibu Tania yang membuat Aurora dan Jasmin menoleh ke belakang sembari menepuk jidat. “Mario ...,” kata Aurora sembari memutarkan pandangan untuk mencari keberadaan sahabatnya. Ternyata, Mario sedang asyik dengan kamera dan sejuta menariknya tempat yang sedang mereka menginjakkan kaki. Lensa kamera yang sedang dibawa oleh Mario kerap sekali mengambil gambar dengan panorama yang indah dan resolusi yang tinggi, saking sibuknya, Mario tidak merasa terpanggil oleh Aurora. “Hadeh, Ra, terus mau kaya gimana?” tanya Jasmin yang sedang membenarkan posisi bando berwarna merah muda yang bertengger di kepalanya. “Terpaksa harus mencari pasar terdekat. Tapi, kita juga harus memikirkan tentang menu yang akan kita pakai.” “Mbak, saran saya, apa beli yang sudah masak saja? Kalau beli bahan masakan, artinya kita juga harus mempersiapkan alat-alat masak.” Ibu Tania memberikan ponselnya ke arah Aurora. Di layar ponsel itu memperlihatkan peta wilayah setempat. Akan tetapi, ada sesuatu yang menarik yaitu, penjual makanan khas sunda. “Ra, boleh juga. Jadi, kebanyakan orang kan tahunya hanya seblak atau peuyeum, padahal mah ada yang lain dan menarik juga.” Jasmin memasukkan jari-jarinya ke saku celana karena tidak bisa menahan dingin yang mulai menyerang. “Boleh, tapi .... “ Topi petani berbentuk kerucut layaknya tumpeng itu tertanam di kepala petani perempuan yang sedang berjalan ke arah Aurora dan Jasmin. Keranjang gendong yang menjadi tempat untuknya mengumpulkan daun-daun teh telah membuatnya sedikit lengah. Air keringat yang menetes ke pipi dan lehernya memberikan nilai yang begitu berharga. Setiap manusia setidaknya harus memiliki jiwa pekerja keras, demi bisa mencapai tujuan hidup. Sama halnya dengan petani yang saat ini berdiri di depan Aurora. “Mbak, ini tadi pagi sebelum ke kebun, kebetulan saya melalui depan vila yang Mbak tempati. Ehm, saya menemukan anting ini, apa ini punya Mbak?” “Oh iya, Ibu, ini punya saya. Terima kasih banyak,” jawab Aurora sembari menerima anting yang semalam terjatuh di semak-semak atau entah di mana. Setelah ibu-ibu tadi pergi, Aurora berjalan menghampiri Mario untuk mengajaknya pergi mencari bahan yang akan digunakan untuk syuting. Mereka menempuh perjalanan selama beberapa waktu untuk bisa menemukan warung yang berjualan makanan khas Sunda yaitu doclang. Akhirnya, sesuai dengan arahan dari peta dari internet yang memberi petunjuk untuk mereka menemukan penjual itu. Setelah selesai membeli beberapa makanan, terutama doclang, mereka pergi untuk kembali ke kebun teh dan melakukan kegiatannya. Akan tetapi, tiba-tiba ada seorang wanita yang dalam gangguan jiwa menghentikan mobil yang dikendarai oleh Ibu Tania. Hal itu membuatnya harus menginjak pedal secara mendadak. Beruntung, tidak ada pengguna jalan yang dirugikan atas kejadian itu. Terpaksa, ibu Tania harus keluar menemui wanita itu agar tidak menghalangi jalan dan mengganggu pengendara lain. Sebab, aksinya bisa membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. “Astaga, perjalanan kita di Bogor itu baru satu malam dan satu setengah hari, cobaan sudah bertubi-tubi, sih.” Aurora mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Sudah, Ra. Kita harus ikhlas dan tegar. Terpenting, semuanya sudah berlalu. Ya, mungkin Allah lagi berusaha untuk memberikan ke kita sesuatu yang tidak pernah kita duga sebelumnya.” Mario melihat hasil foto di kebun teh tadi. “Ra, lihat, si Pencakar Langit masih juga berulah. Gue yakin, Ra, ini pasti Langit si anak kelas IPS 2 itu!” Jasmin menggerutu setelah membaca komentar pedas di konten yang terakhir kali diunggah. “Langit .... “  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD