7 Lantai

1204 Words
Malam itu, hujan benar turun dari angkasa, setelah Aurora meneriaki nama Jasmin dengan panggilan sayangnya. Air dari langit yang menggelap karena malam pun turut membasahi bumi. Hujan menemani Aurora yang tengah melihat-lihat isi dari sosial media bernama Pencakar Langit. Sebenarnya, Aurora pun berkeyakinan bahwa pemilik akun tersebut merupakan Langit, si anak kelas sebelah. Aurora melihat ke samping kanan ranjangnya, ternyata Jasmin telah terlelap dalam dekapan dinginnya air hujan. Aurora lantas memasukkan tubuhnya ke balutan selimut tebal berwarna biru. Dirinya terlelap dalam dengkuran mimpi malamnya. Keesokan harinya, Aurora membantu Nilam yang sedang membersihkan dapur. Di meja telah ada beberapa menu yang sudah matang. Aurora berjalan untuk menyiapkan beberapa peralatan makan. Setelah itu, mereka menikmati sarapan bersama-sama. “Ra, hari ini Papa tidak sarapan di rumah. Ada pekerjaan penting di kantor.” Bram mengambil kunci mobilnya lalu pergi meninggalkan ruangan setelah mencium kening istrinya. “Ya, sudah, makan dulu, Ra.” Nilam duduk sembari mengambil satu porsi makanan untuk dirinya. Lima belas menit kemudian, Aurora sedang mengerjakan pekerjaannya. Ia mengedit konten yang belum sempat digarapnya. Tiba-tiba, Nilam masuk ke kamar Aurora sembari membawa beberapa berkas. “Ra, tolong antarkan berkas ini ke kantor Papa, ya.” Aurora hanya mengangguk sembari menerima berkas itu. Dia berjalan ke arah almari untuk mengambil pakaian yang jauh lebih sopan. Aurora pergi tanpa Jasmin ke kantor. Bukan tanpa alasan, Jasmin memilih untuk melanjutkan mengedit konten daripada ikut ke kantor. Padahal, Aurora pergi juga hanya dalam waktu beberapa menit saja. Kakinya berdiri di halte terdekat untuk menunggu bus. Aurora lebih memilih naik bus atau taksi daripada memakai mobilnya sendiri. Aurora jera dengan kejadian beberapa waktu yang lalu. Lagi pula, Aurora juga belum saatnya mengendarai mobil. Tidak lama kemudian, terdapat sebuah bus yang berhenti di hadapannya. Ia memasuki bus tersebut dan turun di depan kantor perusahaan di mana Bram bekerja. “Selamat pagi, Pak. Apakah Pak Bram ada di dalam?” tanya Aurora mencoba untuk seramah mungkin terhadap penjaga keamanan yang berdiri di depan pintu. “Oh ada, bisa langsung ke lantai lima, ya.” Aurora melangkah masuk ke dalam gedung dengan tujuh lantai itu. Kakinya perlahan mencari sebuah tangga darurat. Aurora tidak terbiasa untuk menaiki sebuah ruangan dengan bantuan lift. Di pikiran Aurora hanya lantai lima, jadi tidak terlalu lelah untuk menaiki tangga satu per satu. “Lu gila? Jelas-jelas ada lift di ujung sana!” teriak Langit yang sedang berdiri di lantai paling dasar, sedangkan Aurora telah mencapai tangga ke lima dari bawah. Langit mengejar Aurora lalu menggenggam tangannya. Langit mengajak gadis berusia enam belas tahun itu untuk mengikutinya naik lift yang berada di ujung kanan. “Gue tahu lu mau ke lantai lima, kan? Anak manja banget, ya. Sampai bapak lu kerja saja ... tidak sabar buat ketemu.” “Eh ... Enak aja ngomong ke gue sebagai anak manja!” teriak Aurora tepat ke arah Langit. Justru, tatapan itu membuat di antara mereka tidak berjarak. Apalagi, saat ini mereka sedang berada di dalam lift hanya berdua. “Langit, kamu mau ke mana?” tanya Aurora saat dirinya melihat Langit pergi meninggalkannya setelah keluar dari lift. “Anter sampai ke ruangan Papa, ya.” Langit hanya mengangguk sembari berjalan ke arah ruangan Bram yang berada di lantai lima. Sepanjang perjalanan menuju ruangan Bram, mereka mengobrol agar semakin akrab. Bukan semakin akrab, mereka malah semakin rusuh sampai hendak menabrak salah satu pegawai yang sedang membawa nampan. “Astaga, Ra. Jalan itu pakai kaki, jangan pakai mulut. Dari tadi cerewet mulu, sih, atau jangan-jangan lu itu tidak bisa jalan?” ledek Langit dengan tertawa puas. “Heh, kalau memang tidak mau mengantar gue ke ruangan Papa, ya, sudah. Balik saja,” jawab Aurora melanjutkan jalan kakinya lurus ke depan. Padahal, ruangan Bram seharusnya berbalik kanan. “Lu mau ke toilet?” tanya Langit dengan kedua tangan terlipat. “E-eh,” rancaunya. Langit menyeret lengan Aurora sampai di depan pintu ruangan Bram. Aurora masuk ke dalam setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Kakinya melangkah bergetar karena merasa tak pantas berada di gedung semegah ini. “Pa, ini berkas yang ketinggalan di rumah.” Aurora meletakkan satu map itu di atas meja. Tangannya masih bergetar dan wajah yang sedikit gugup. Seperti bertemu dengan artis idola, saja. Padahal, Aurora hanya bertemu dengan Bram dan atasan ayahnya yang sedang duduk di depan Bram. “Oke, terima kasih, Ra.” Aurora hanya mengangguk lalu menyalami Bram dan atasan ayahnya. Pada saat telapak tangan kanan Aurora berusaha untuk menyalaminya, orang itu dengan mendadak menyebut kata perjodohan. Bukan! Ini bukanlah zaman Siti Nurbaya yang harus adanya perjodohan. Aurora juga punya pilihannya sendiri. Padahal, di usianya yang saat ini belum waktunya untuk membahas pernikahan. Aurora lantas pergi meninggalkan ruangan itu. “Eh, Langit, kok, masih di sini?” tanya Aurora ketika keluar dari ambang pintu masih melihat adanya Langit di sana. Padahal, pikir Aurora dia telah pergi dari tempat itu. “Ya, sekarang ikut gue ke lantai tujuh,” katanya sembari menggenggam lengan Aurora untuk berjalan ke arah lift yang ada di lantai lima. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan milik orang tua Langit, itu sebabnya dia begitu hafal dengan sudut-sudut setiap ruangan yang ada. Langit mengajak Aurora ke lantai tujuh agar bisa menikmati indahnya kota dari ketinggian. Selain itu, Langit ingin mengajak Aurora mencicipi masakan yang ada di kantin paling atas. Memang, lantai tujuh di desain untuk tempat istirahat bagi karyawan dan menikmati berbagai masakan dengan gratis. “Lu suka gak?” tanyanya ketika kaki mereka telah menginjak di lantai tujuh. “Ehm bagus, tapi buat apa kita berada di sini?” tanya Aurora. “Makan,” jawabnya sembari berjalan ke arah salah satu penjaga kantin. Langit memesan makanan bercita rasa pedas untuk menamani siang hari yang mendung itu. Ia memesan dua mangkuk mi kuah panas untuk menghangatkan tubuh. Aurora menambahkan beberapa sendok sambal dan saus untuk menambah rasa pada kuah mi miliknya. Ia melahapnya dengan sedikit rakus, sebab Aurora telah menahan lapar sejak tadi. Mereka menikmati mi kuah sembari memandangi panorama kota yang indah. Walaupun, diselimuti cuaca mendung di angkasa. “Oh iya, tumben lu tidak bersama si Jasmin?” tanya Langit. “Enggak, dia lagi di rumah mengerjakan konten,” jawab Aurora tanpa menatap wajah lawan bicaranya. “Oh iya, bolehkah gue bertanya?” sambung Aurora. “Boleh.” “Apa lu pemilik akun Pencakar Bumi?” “Ha ha ha, enggak.” Tiba-tiba Langit menguap karena tersedak sambal yang ada di dalam kuahnya. Aurora yang tidak sengaja pun melihat hal itu. Dirinya waspada agar tidak terjadi sesuatu pada tubuhnya. Akan tetapi, tetap saja, tubuhnya mengendur secara perlahan. Di bagian pinggangnya perlahan melebar. Aurora panik. Secepat mungkin Aurora mencari toilet terdekat. “Ra, ada apa?” teriak Langit sembari mengejar Aurora yang tengah berlari mencari toilet. “Gak apa,” jawabnya sembari melenggang masuk ke toilet. Aurora terduduk di lantai yang tidak basah. Hatinya cemas dengan tubuhnya sendiri. Di pikirannya terbayang tentang cara untuk keluar dari gedung tujuh lantai. Akan tetapi, pakaiannya yang sudah dipastikan rusak membuatnya tidak akan bisa pergi tanpa bantuan seseorang. “Seharusnya, gue tidak ikut Langit sampai di lantai ini. Sekarang, gue sendiri yang bingung, kan?” batinnya. “Ra, tunggu di dalam, ya! Gue bakal ke sini lagi dalam waktu tiga puluh menit!” teriak Langit dari luar. Ke mana Langit pergi?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD