Keesokan harinya, bibi Ningrum membangunkan Aurora dan Jasmin yang masih terlelap. Padahal, waktu telah menunjukkan pukul setengah lima pagi, artinya mereka harus segera bangun untuk menjalankan dua rakaat.
“Aduh anak perempuan sudah subuh belum juga bangun. Jasmin ... Aurora ... bangun! Segera salat subuh!” teriaknya sembari membuka gorden kamar.
Setelah kedua gadis itu terbangun, mereka bergegas untuk bertemu dengan Tuhan melalui kewajibannya sebagai umat beragama. Selesai beribadah, mereka membersihkan diri ke kamar mandi umum seperti hari kemarin. Sebab, banyak anggota keluarga yang mulai hadir di rumah itu. Hari ini, mereka mengantarkan putra bibi Ningrum untuk pergi menjadi santri.
“Aelah, Jas. Gue gak tahu bisa betah apa enggak kalau harus tinggal di sini selama berabad-abad.”
“Ra, Aurora! Dengar baik-baik, ya. Jangankan berabad-abad ke depan. Beberapa tahun lagi saja, bisa jadi kampung ini sudah jauh lebih maju. Kaya tidak paham teknologi saja.” Jasmin mengambil handuk yang tersampirkan di belakang pintu kamar. Setelah itu, mereka berjalan menuju kamar mandi umum.
Hampir satu jam mereka mengantre hanya untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, mereka kembali ke rumah untuk mengikuti salah satu tradisi di kampung itu. Sebuah tradisi unik yang memberikan banyak nilai kehidupan. Aurora telah bersiap dengan mengenakan pakaian terbaik yang ia bawa. Sebuah balutan gamis brokat berwarna biru tua dan hijab abu-abunya. Di tangan kanannya telah tersampirkan sebuah tas mungil warna abu-abu. Sedangkan, Jasmin sudah siap dengan pakaian serba bernuansa merah muda.
Mereka berjalan ke arah mobil yang telah disiapkan untuk mengangkut anggota keluarga. Kekompakan satu keluarga besar itu membuat Aurora terharu. Ia bisa mengambil hikmah di balik kesusahan yang dialami di kampung ini. Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya dengan pertimbangan yang pas. Buktinya, mereka memang kesusahan air bersih. Ekonomi di kampung juga masih rendah. Akan tetapi, Allah masih memberikan sebuah kekompakan yang masih terlestarikan. Kekompakan inilah yang akan membawa kemajuan di masa depan.
“Anton, kamu ini aneh. Masa pulangnya baru tadi pagi,” kata salah satu tetangga bibi Ningrum.
“Nggih, kepripun, pekerjaan saya tidak bisa ditinggal. Lagian, saya masih bisa hadir, kan? Kalau saya tidak hadir, acara ini tidak terlaksanakan.”
“Isih bisa guyon, ya. Padahal kan, ini sudah tinggal menghitung jam, Ton.” Bibi Ningrum memakai alisnya. Ia memang suka berdandan. Bahkan, sejak pagi tadi ia berdandan hingga sudah menempuh perjalanan.
“Nek, jadi, Jasmin di suruh ke Yogyakarta hanya untuk mengantarkan Kak Anton pergi ke pesantren? Aduh, Nek, Jasmin itu banyak tugas di Jakarta.” Jasmin mengambil ponselnya yang ia letakkan di tas kecilnya.
“Jasmin, ikuti saja tradisinya. Kamu belum paham. Kamu seharusnya memahami tradisi ini, agar kelak kamu menikah sudah tidak awam lagi,” jawab bibi Ningrum yang masih asyik dengan pensil alisnya.
“Jasmin, mendingan kamu menetap saja di Yogyakarta. Biar jadi teman Nenek di rumah.” Anton memakai pecinya. Sebelumnya, ia mendapatkan teguran dari paman karena pecinya tidak dipakai, melainkan dijadikan pajangan tangannya.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, mereka telah sampai di sebuah rumah yang berbentuk joglo seperti rumah nenek. Namun, rumah itu telah berlantai keramik dan bernuansa modern. Mereka turun dari mobil lalu memasuki rumah itu dengan disambut oleh pemilik rumah beserta keluarga besar.
“Jas, sebenarnya kita itu mau hadir ke acara apa? Kata Nenek Kak Anton bakalan jadi santri, tapi kok bukan ke pesantren?” bisik Aurora.
“Gue juga enggak paham, ya, sudah ikuti saja.”
Jasmin duduk berdekatan dengan nenek dan Aurora. Mereka mengikuti acara yang bisa dibilang lumayan ribet. Di rumah itu telah terpasang dekorasi selayaknya pernikahan. Namun, dekorasi tersebut jauh lebih sederhana.
Paman mengutarakan maksud kedatangannya bersama rombongan. Ternyata, hari ini merupakan lamaran Kak Anton dengan calon istrinya. Di pertengahan acara, mereka menikmati hidangan yang lezat. Sebuah hidangan yang telah disiapkan oleh keluarga mempelai wanita.
Sekitar satu jam kemudian, mereka kembali duduk di ruang tamu. Paman menyerahkan Kak Anton untuk menjadi santri di rumah ini. Bukan tinggal satu atap bersama calon mempelai wanita, melainkan Kak Anton menginap di salah satu rumah tetangga calon mempelai wanita. Setelah acara selesai, mereka satu rombongan berpamitan untuk pulang kembali mempersiapkan segala sesuatunya untuk esok hari.
“Nek, kok, Kak Anton enggak ikut pulang? Memangnya, boleh tinggal saru rumah sebelum menikah?” tanya Jasmin pada neneknya setelah masuk ke mobil untuk kembali pulang.
“Astaga, Nenek pikir kamu bakal paham. Itu tadi namanya tradisi ‘nyantri’. Nah, itu tradisi Yogyakarta saat akan menikahkan anak laki-lakinya. Jadi, si calon mempelai pria harus nyantri dulu satu malam sebelum akad. Dia tinggal di rumah tetangganya si wanita. Akan tetapi, selama satu malam itu, mereka tidak diperbolehkan untuk bertemu.” Nenek mengambil tisu untuk membersihkan lipstik yang memberikan warna pada bibirnya.
“Terus, kenapa kita pulang? Kan, acara pernikahannya besok.”
“Ya, kan, kita juga perlu persiapan. Kaya, Bibimu harus mempersiapkan kamar pengantin.”
“Nek, seingat Jasmin, kalau ada hajatan, pasti ada acara masak-masak, deh. Kok, sekarang sudah tidak ada?”
Nenek tersenyum dengan manis. “Setelah ini, kita masak-masak.”
“Kok, cuman sehari?” tanya Jasmin.
“Kamu banyak bicara, lihat, Aurora tertidur.”
Jasmin menoleh ke arah kanan. Benar saja, Aurora lelap dalam tidurnya. Setelah satu jam mereka berada dalam mobil, akhirnya mereka sampai di rumah. Benar saja, mereka telah berganti pakaian dan bersiap untuk memasak. Mereka telah mengambil perannya masing-masing.
Setelah dua jam kemudian, mereka telah selesai memasak jenang. Jenang merupakan salah satu jenis bubur yang terbuat dari tepung. Pertama kalinya bagi Aurora menikmati makanan yang gurih itu. Bubur yang dimasak dengan air santan itu memberikan candu untuk Aurora. Kesempatan besar untuknya memuaskan diri menyantap menu tradisional itu.
“Bibi, ini masaknya serius cuman sehari?” tanya Jasmin.
“Ya enggak, Jasmin. Hari ini kita hanya memasak untuk dibawa besok. Untuk memboyong mempelai wanita. Nah, lusa kita memasak lagi untuk menerima mempelai wanita. Tapi, Bibi juga memesan dari luar untuk makanannya. Jadi, kita tidak terlalu repot dalam urusan dapur.”
Tidak terasa waktu berputar dengan cepat. Satu rangkaian acara pernikahan Kak Anton telah selesai. Sang istri juga telah tinggal di rumah bibi Ningrum. Kini, mereka hanya butuh waktu untuk istirahat. Setelah itu, mereka masih disibukkan dengan acara membersihkan rumah.
Sampai akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Jasmin mengajak seluruh anggota keluarga besarnya untuk berlibur. Di hari pertama, mereka memilih untuk pergi ke daerah Gunung Kidul. Pagi ini, Aurora sedang disibukkan dengan kamera dan peralatan kontennya yang lain. Sesuai dengan rencana awalnya, Aurora akan memanfaatkan liburannya juga ajang pembuatan kontennya.
“Ra, tri .... “