Layar Tancap Kampung Sebelah

1083 Words
Aurora terdiam akibat teriakan dari Jasmin. Bagaimana Jasmin tidak akan berteriak? Jika hampir seluruh warga menatap ke arah Aurora dengan tatapan tidak suka. Mereka duduk di kursi barisan tengah. Mereka mengikuti alur dari sebuah film yang sedang ditayangkan. Ternyata, film tersebut merupakan salah satu film yang sebenarnya pernah Aurora tonton di bioskop sekitar dua tahun yang lalu. “Jas, gue dah nonton ini film. Pulang, yuk!” Jasmin memegang lengan kanan Aurora. “Ra, sabar. Kita juga harus bisa menghargai panitia. Lu harus tahu, di sini jauh kalau mau ke bioskop. Untuk bisa menonton bareng seperti ini juga butuh usaha keras.” Aurora kembali diam duduk di kursinya. Matanya bukan ke arah layar melainkan mengamati para penjual di belakang. Mereka berdagang dengan makanan yang beraneka ragam. Hampir semua jenis makanan tersedia di sana. Ada salah satu penjual makanan yang membuat mata Aurora terbuka lebar. Ada seorang pria yang memakai jaket berwarna biru muda dengan topi berwarna hitam. Ia berdiri di samping motornya yang ditumpangi barang dagangannya. “Jas, jajan, yuk.” Jasmin menoleh ke arah kanan. Di mana Aurora masih terduduk di sana. “Nanti kalau film sudah selesai ditayangkan.” “Keburu habis, Jas. Laris bener itu dagangan,” kata Aurora sembari melihat para pembeli yang masih mengantre untuk mendapatkan makanan itu. Jasmin menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya Jasmin kala melihat pedagang itu. “Ih, Ra. Kok enggak bilang ke gue kalau itu sate. Beli, yuk. Gila sih selaris itu!” “Katanya setelah film selesai?” goda Aurora sembari tersenyum miring. “Sudahlah mau jajan!” teriaknya sembari lari dari tempat duduknya. Saking terburu-burunya, Jasmin sampai menubruk kaki kursi plastik yang ada di deretan paling belakang. Ia terjatuh ke tanah dengan suasana yang dipenuhi gelak tawa penonton. “Jas, hati-hati.” Aurora mengulurkan tangan untuk membantu Jasmin yang masih terduduk di tanah. Mereka berjalan sembari membersihkan baju Jasmin yang kotor karena tanah. “Beruntung enggak ada hujan. Jadi, pakaianku aman. Tubuhku juga aman.” Mereka telah sampai di mana penjual sate itu berdagang. Aurora melihat sate yang sedikit berbeda dengan sate yang biasa ia beli ketika di Jakarta. Kata penjualnya, sate itu bernama sate klatak. Akan tetapi, jika dilihat dari bentuk, tidak berbeda jauh. Hanya saja, sate itu berbahan dasar daging kambing. “Pak, kenapa diberi nama sate klatak?” tanya Aurora yang merasa penasaran dengan asal-usul nama sate itu. “Ya, ini, karena di bakar di ruang terbuka. Sate klatak ini sate khas dari Yogyakarta. Khususnya daerah Bantul, Mbak.” “Uniknya sate klatak apa, Pak?” Jasmin mengamati penjual yang sedang menyiramkan bumbu di tusukan satenya. “Ya, kalau ditanya ... sate ini sama bentuk dan bahan dasarnya. Tapi, keunikannya ada pada bumbu. Sate klatak ini menggunakan bumbu rempah yang terbaik. Selain itu, tusukan sate bukan menggunakan bambu. Akan tetapi, menggunakan besi.” “Loh, Pak, kenapa pakai besi? Memang, tidak takut kalau ada karat?” tanya Aurora asal bicara. “Ya, enggak. Besi ini bukan besi yang seperti di tempat bangunan. Kita gunakan besi yang jenisnya sama dengan bahan dasar untuk membuat sendok makan. Jadi, aman, Mbak. Nah, karena tusukannya berbahan konduktor, maka akan menghasilkan sate yang matang sampai dalam. Selain itu, kita juga menggunakan bumbu gulai sebagai bumbu satenya.” Aurora dan Jasmin melongo tidak percaya dengan penuturan pedagang sate itu. Akan tetapi, tusuk sate yang terbuat dari bahan dasar besi juga terlihat nyata di depannya. Lamunan mereka tersadar dengan pertanyaan dari pedagang sate itu. “Mbak ini asalnya dari mana?” “Oh kita dari Jakarta, Pak.” Aurora duduk di bangku plastik yang disediakan oleh penjual. “Pak, memang apa kelebihan sate klatak ini? Saya lihat, sejak acara belum dimulai dagangan Bapak terlihat laris.” “Waduh, apa ya, Mbak. Saya sendiri tidak tahu dengan itu. Bukan bermaksud untuk memuji dagangan saya, ya. Sate ini memang asli resep khas dari Bantul, Mbak. Saya asli orang Bantul dan sudah terbiasa dengan memasak sate seperti ini. Selain itu, bumbu gulai juga yang masak Ibu saya.” Bapak penjual sate itu melepaskan tusukan sate agar bisa dipakai kembali. Tentu saja, sebelum dipakai ulang, dicuci terlebih dahulu. Ia menghidangkan sate tersebut di atas lembaran daun pisang dengan piring plastik sebagai penyangga. Sate ini juga dihidangkan bersamaan dengan lontong sayur. “Mbak, kalau mau pakai cabai, boleh loh. Rasanya bakal lebih lezat lagi.” Aurora merasa tertantang dengan saran dari penjual sate itu. Aurora mengambil lima biji cabai rawit yang sudah semburat merah. Ia memotongnya menggunakan pisau yang dipinjam dari penjual sate. Setelah selesai memotong cabai, Aurora menaburkannya ke dalam piring agar rasa pedasnya bisa merasuk bersamaan dengan gurihnya bumbu gulai. “Ra, awas nanti kepedasan,” tegur Jasmin. “Mbak, awas biji cabainya kalau kebanyakan bisa jadi penyakit.” Bapak penjual itu mencuci piring yang kotor dengan air yang ia bawa menggunakan ember berwarna hitam. “Tidak apa, Pak. Saya sudah terbiasa dengan biji cabai,” jawab Aurora masih fokus dengan hidangan sate yang rasanya tidak dapat diragukan lagi. Memang, harga sate ini bisa dikatakan mahal untuk orang yang berekonomi bawah. Akan tetapi, harga yang lumayan mahal itu sebanding dengan cita rasa yang tidak bisa dibohongi. Tidak terasa waktu sudah semakin larut. Film yang ditayangkan pun sudah mencapai penyelesaian. Saudara Jasmin mengajak untuk segera pulang. Sebab, jalanan yang minim dengan penerangan akan membuat mereka kesusahan dalam berjalan kaki. Bisa saja, jika mereka terlambat untuk kembali ke rumah, bukan hanya kesusahan dalam perjalanan, tapi juga mendapatkan hukuman. Mereka berjalan kaki bersama-sama dengan tetangga yang juga turut menyaksikan tayangan layar tancap di kampung sebelah. Dengan perasaan suka cita mereka bisa menyaksikan sebuah film karya anak bangsa. Belum tentu mereka bisa menyaksikan film di layar bioskop. Selain tempat yang jauh dari desa, harga tiket yang bisa untuk membeli beras guna makan satu keluarga dalam waktu dua hari. Sepanjang perjalanan, mereka masih asyik membicarakan alur film yang mereka tonton. Berbeda halnya dengan Jasmin dan Aurora yang sibuk dengan kenikmatan sate klatak khas Bantul. Setelah menempuh beberapa ratus meter, akhirnya Aurora dan Jasmin beserta sepupu Jasmin telah sampai di rumah nenek. Mereka mencuci tangan dan melepas masker, lalu masuk ke dalam rumah. Aurora dan Jasmin bergegas pergi kembali ke rumah bibi Ningrum untuk menumpang membersihkan badan. Sebab, mereka tidak tahu seberapa banyak bakteri yang menempel di tubuhnya. Setelah selesai mandi, mereka memutuskan untuk tidur di rumah bibi Ningrum. Mereka tidak sempat untuk sekadar menonton televisi atau bermain ponsel, sebab hari besok mereka harus siap membantu untuk mempersiapkan acara hajatan yang akan segera diselenggarakan. Kedua gadis itu telah terlelap dalam alur bunga malamnya. Krek!                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD