Seorang dokter yang menangani Mario sejak awal itu berdiri di samping suster. Saat itu, suster sedang memberikan membenarkan posisi ranjang Mario yang tidak sengaja bergeser. Akhirnya, dengan keyakinan yang bulat, orang tua Mario mengikuti langkah kaki dokter. Entah apa yang mereka diskusikan, yang paling jelas, Aurora percaya mereka sedang membicarakan sesuatu yang bisa memberikan efek terbaik untuk kesehatan Mario.
“Ra, Papa sama Mama pulang, kalian mau ikut atau di sini?” tanya Bram sembari mengambil kunci mobilnya di atas nakas. “Suster, nanti kalau orang tua Mario kemari, tolong beritahu kalau saya sudah pulang ke rumah.” Suster itu menyanggupi.
“Aurora di sini saja. Lagian, kalau malam-malam begini takutnya malah tidak fokus menyetir, Pa.”
Walaupun memiliki sikap yang sedikit bar-bar. Tetapi, Aurora masih memiliki aturan. Ia masih bisa menjaga kesopanan terhadap orang lain dan orang tua. Selain itu, ia masih mengerti batasan-batasan dalam pergaulan. Bahkan, sekadar keluar malam saja, ia tidak berani. Sebab, risiko bepergian malam hari sangat tinggi.
Hari telah berganti, Aurora dan Jasmin pulang ketika hari masih buta. Sekitar pukul setengah lima pagi, mereka berpamitan untuk pulang karena harus melaksanakan kewajibannya sebagai pelajar SMA.
“Ra, jam berapa mulai daring?” tanya Jasmin dari kamar mandi. “Beruntung hari ini daring, bukan luring.”
“Jam sembilan. Lha iya kamu tidur kek kebo.” Aurora mengambil buku yabg akan digunakan hari ini.
Sebagai pelajar, sebaiknya kita bisa bersikap profesional. Dalam artian, kita harus bisa mengerjakan yang menjadi kewajiban sebagai pelajar, sebaliknya kita juga wajib mendapatkan hak yang diterima. Sebuah profesionalitas akan memberikan nilai yang berharga bagi setiap orang yang mampu melakukannya. Begitu juga dengan profesi lainnya.
“Enak aja, lu kali yang tidurnya kek kebo. Bangun aja baru, kan? Tuh lihat, masih ada kotoran nyempil di mata.” Jasmin membuka handuk di kepalanya.
“Ya, baiklah. Mentang-mentang situ sudah mandi.” Aurora beranjak lalu masuk ke kamar mandi dengan membawa handuk yang disampirkan di pundaknya.
Setelah lima belas menit kemudian, Aurora telah bersiap untuk mengikuti pembelajaran daring. Lagi-lagi karena kondisi bumi yang belum stabil, mengharuskan mereka untuk daring. Akan tetapi, hal ini memberikan manfaat untuk bisa meningkatkan kemampuan dalam digitalisasi dan melek teknologi semakin tinggi. Sebenarnya, dalam era globalisasi, dunia digital sangat diperlukan. Sebab, kecanggihan dunia saat ini sudah berkembang pesat.
Selama kurang lebih dua jam, mereka mengikuti pembelajaran. Kini, mereka tengah duduk di ruang tamu. Tidak lama dari mereka hadir di ruangan itu, Nilam baru kembali dari pasar. Dengan tas belanjaannya yang berisi penuh sayuran, ia berjalan melewati putrinya.
“Mama tidak sopan,” kata Aurora dengan diiringi tawa tipis-tipis.
“Kamu ...?” jawab Nilam dengan tersenyum. “Menirukan gaya Mama kalau memarahimu?” sambungnya sembari mengelap meja yang digunakan untuk meletakkan foto-foto dan hiasan lainnya.
“Jelas, Mama sedang berusaha menjadi istri yang profesional dalam mengurus rumah?” tanya Aurora yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Sejak dulu, Mama sudah profesional dalam mengurus rumah, mengurus Papamu, dan mengurus anak nakal Mama.” Nilam berjalan ke arah sofa berwarna krem. Dia duduk di sebelah Jasmin. Nilam melihat ke arah Aurora yang tengah mengerucutkan bibirnya tanda tidak suka atas pernyataan dari ibunya.
“Mam, sebenarnya apa yang terjadi dengan Mario?” tanya Jasmin yang membuat suasana menjadi tegang kembali. Padahal, sebelumnya mereka tenang dan nyaman dengan gurauan remeh yang terlontar dari mulut. Mendengar penuturan itu pun membuat Nilam menutup mulut dengan rapat. Tidak hanya dalam berumah tangga, Nilam juga harus bisa profesional dalam bekerja sama dengan pihak keluarga Mario. Bahwa, penyakit yang diderita olehnya harus dirahasiakan, dengan tujuan agar Mario pun tidak mengetahuinya, sehingga bisa hidup normal seperti biasanya.
“Sudah, kalian teruskan menontonnya. Mama mau memasak.”
Nilam beranjak dari ruang tamu. Sebenarnya, dia sudah memasak sejak subuh tadi. Sekarang, ia ke dapur hanya membuat camilan untuk menemaninya bersantai di hunian mewahnya. Bukan mewah dalam artian banyak pernak-pernik berharga fantastis, melainkan mewah karena terisi dengan berjuta rasa nyaman, bahagia, dan keharmonisan. Setelah selesai menggoreng pisang, Nilam membawa hasil karyanya untuk dinikmati oleh kedua gadis yang sedang sibuk dengan dunianya.
“Nih, ngeditnya sambil nyemil pisang goreng.” Nilam meletakkan piring ke meja lalu pergi ke halaman belakang untuk menyirami tanamannya.
“Jas, sepertinya hasil editan kita tidak semulus karya Mario,” lirih Aurora sembari melahap satu gigitan pisang goreng yang sudah disediakan oleh ibunya.
“Ya, benar. Sebab, Mario memang selalu bersikap profesional dalam melakukan pekerjaannya. Sedangkan, kita dari tadi banyak ngocehnya persis sama burung merpati milik Papa yang ada di garasi depan.” Jasmin mengambil sebuah kertas untuk membuat desain yang akan digunakan sebagai tampilan depan video terbaru mereka. Kebetulan, ucapannya mendapatkan dukungan dari burung-burung yang ada di garasi milik Bram.
“Aelah,” jawab Aurora sembari tertawa dengan terbahak-bahak. “Sudahlah, Jas. Perutku keram.”
Jasmin mengambil alih laptop milik Aurora. Bermodalkan keyakinan, Jasmin mencoba untuk mengedit video tersebut. Ia sudah menggunakan waktu selama seperempat jam untuk mengeditnya, akan tetapi hasil masih belum semulus editan Mario.
“Astaga, gue mengantuk. Lu kelamaan editnya. Padahal, hasil sama saja dengan editan gue.” Aurora mengambil bantal untuk menyangga kepalanya yang sejak tadi meminta untuk direbahkan.
“Nah, kan, sebentar lagi pasti berak.” Jasmin menggerakkan kursor ke arah kanan.
“b***k? Iya gue mau b***k. Dah mau ke kamar. Lu lanjutkan! Bekerjalah dengan keras,” jawab Aurora sembari berdiri hendak berjalan ke kamarnya. Matanya benar-benar ingin untuk direbahkan di kasur empuknya. Akan tetapi, tangan Jasmin terlebih dahulu mencekal telapak tangan kanan milik Aurora.
“Awas, lu tidur ... Video gue hapus!” ancamnya.
Akhirnya, Aurora mengambil air untuk mencuci wajahnya di kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Setelah selesai mencuci wajah putihnya, ia kembali bersama Jasmin mengedit video tersebut agar bisa segera tayang. Sebab, sudah banyak para penonton setia yang menagih untuk meng-upload videonya.
“Dah jadi, coba lu lihat dulu, Ra.” Jasmin mengambil air minum di meja untuk meredakan dahaga yang telah menyerang tenggorokannya sejak beberapa menit yang lalu.
Aurora dengan mata tajamnya menatap ke arah layar laptop. Ia terkejut dengan hasil editan dari Jasmin. Jauh lebih lumayan daripada hasil editannya waktu pertama kali. Walaupun membutuhkan waktu yang lumayan lama, tetapi video tersebut telah selesai diedit agar memberikan tampilan yang jauh lebih menarik.
“Lumayan, juga, Jas.” Aurora menaruh laptop ke meja sembari mengambil ponselnya. Ponsel berwarna merah muda itu berdering sejak lima detik yang lalu. Di sana, tertuliskan sebuah pesan dari nomor Mario. Sebuah tulisan yang membuatnya menganga tidak percaya. Apa pesan itu yang mengetik Mario?
“Ra?” kata Jasmin sembari mengibaskan jari-jari tangannya di depan wajah Aurora dengan kilat.