“Mario, Jas!” teriak Aurora tepat di telinga Jasmin. “Mario mengirimkan pesan. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang pergi ke Yogyakarta. Aneh, kan? Jelas-jelas kemarin dia masih terbaring di ranjang rumah sakit.”
Jasmin menghela napas. “Mungkin, dia dipindahkan ke salah satu rumah sakit di Yogyakarta yang—menurut keluarganya—merupakan rumah sakit terbaik yang bisa menangani Mario. Lagian, orang pergi ke luar kota bahkan negara tidak hanya untuk berlibur. Bisa saja untuk berobat.”
Jasmin berjalan menaiki tangga untuk mengambil beberapa buku miliknya. Sudah lebih dari seminggu, Jasmin tidak pulang ke rumahnya karena alasan yang cukup klise. Ayah Jasmin yang berprofesi sebagai pebisnis sudah tidak heran jika sering pergi melakukan perjalanan antar kota sampai antar provinsi.
Setelah selesai mengambil buku yang ia perlukan, Jasmin kembali ke ruang tengah bersama Aurora. Ia mengerjakan tugas-tugas sekolahnya yang belum terselesaikan. “Jas, tapi ... Apa yang mengirimkan pesan ini Mario?” tanya Aurora setelah Jasmin duduk di tempatnya kembali. Ia memperlihatkan isi pesan dari Mario yang ada pada ponselnya.
“Sudahlah, mungkin saja itu Ibu atau Ayahnya. Berpikir positif saja.”
“Artinya, kita harus mandiri?” jawab Aurora sembari menutup layar ponselnya. Ia teringat dengan kontennya yang belum selesai diedit. Sedangkan, selama ini Aurora hanya mengandalakan kepada Mario. Sekarang, siapa lagi kalau bukan dirinya?
“Ya, begitu. Walaupun, kita seorang wanita, tapi kita harus bisa kuat dan mandiri. Jangan pernah bergantung kepada manusia. Karena apa? Manusia juga akan mati seperti kita. Ibaratkan, kita bergantung sama orang tua. Pada saat mereka sudah menemukan waktunya, kita bisa apa? Begitu juga, kita tidak boleh bergantung pada Mario untuk menulis skrip, membuat video, dan mengedit video untuk konten. Kita harus terbiasa tanpa Mario. Begitu juga ... Lu harus terbiasa tanpa aku atau Mario atau orang tua lu sendiri.” Jasmin menghentikan jemarinya yang tengah asyik menari sembari menikmati alunan kata-kata yang tergores dalam kertas putih.
“Ya ... Ya, gue percaya kalau lu itu mandiri dan terbiasa tanpa bergantung hidup sama orang tua,” ketusnya. Akan tetapi, Jasmin tidak merasa sakit hati atau tersinggung akibat ucapan Aurora. Jasmin tersenyum seakan memberikan sinyal bahwa dirinya kuat berdiri sendiri selayaknya Tugu Yogyakarta. Walaupun, berdiri sendiri, sebagai manusia awam, sudah sepatutnya membutuhkan pernak-pernik yang memberikan kehangatan dalam kehidupan.
“Ra, kamu pun seharusnya bisa berdiri sendiri. Artinya, kamu bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain. Tapi, ada keraguan besar dalam diri kamu. Bukan hanya sebuah ragu, tapi juga ada ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan yang selalu melekat dalam dirimu. Kamu itu takut kalau bakal roboh, hancur, dan tumbang. Padahal, semua itu yang akan membuatmu bangkit dan belajar sesuatu yang lebih berharga.” Jasmin mengunyah permen yang baru saja ia masukkan ke dalam mulutnya.
Aurora tertawa. “Kamu paranormal? Kok bisa tepat sekali?” jawab Aurora yang sedang duduk sembari mengamati ponselnya. Ia menunggu balasan dari Mario. Padahal, ia sendiri tidak tahu dengan siapa yang mengirimkan pesan kepadanya.
“Bukan. Tapi, terlihat dari cara hidupmu.” Jasmin membuang bungkus permen ke tong sampah yang terletak di ujung jendela.
“Jas, seberapa pentingnya kemandirian?” tanya Aurora.
“Seberapanya itu tergantung masing-masing individu. Sebab, setiap manusia yang diciptakan oleh Allah itu memiliki porsinya sendiri. Kita tidak bisa menyama-ratakan. Begitu juga dengan dirimu. Kamu harus bisa mengatur kehidupanmu. Jadi, kita diciptakan sebagai makhluk sosial dan untuk beribadah kepada Allah. Dari sini, kita harus pandai bagi waktu. Walaupun, kita mandiri, tapi kita juga membutuhkan orang lain. Tapi, ya, gak kaya kamu yang apa-apa harus orang lain.”
“Jadi, begitu?” jawab Aurora dengan nada seakan-akan meremehkan tanpa ada keseriusan.
Jasmin mengangguk lalu mengambil bukunya. Ia melanjutkan mengerjakan tugasnya. Walaupun, membantu Aurora membuat konten, Jasmin juga tidak meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar. Hidup bersama ayahnya yang sering melakukan perjalanan bisnis ke luar daerah, tidak membuat Jasmin patah semangat. Justru, dengan hal itu ia membuktikan pada ayahnya, bahwa ia bisa hidup mandiri.
“Jas, kontennya kita unggah sekarang atau ...?” Aurora mengambil laptopnya.
“Terserah lu, Ra.” Jasmin masih fokus dengan buku sejarahnya.
“Tadi pas ceramah bahasanya sudah kaya Ukhti. Eh, sekarang bahasanya sudah kaya .... “
“Kaya apa?” tanya Jasmin sembari melotot ke arah Aurora.
“Tuan putri!” teriak Aurora yang sedang mengunggah kontennya.
Aurora sejak lima menit yang lalu hanya memaki-maki karena jaringan yang sulit untuk dijangkau. Selain itu, laptop yang ia gunakan sudah sering sakit-sakitan dan meminta untuk dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, Aurora masih enggan untuk mengeluarkan biayanya.
“Ra, Ayah kirim pesan. Lu mau gak, temani gue ke Yogya?” tanya Jasmin.
“Ngapain?”
“Ke rumah Nenek. Di sana lagi ada acara. Masa gue enggak datang?” jawab Jasmin.
“Oke. Gue ikut, tapi kalau diizinkan sama Mama dan Papa.”
“Nanti gue yang minta izin. Kalau sudah di Yogya, nanti gue kasih gambaran mandiri yang sesuai dengan porsi gudeg gurih pedas.” Jasmin beranjak mengembalikan bukunya ke meja. Tugasnya telah selesai sejak beberapa menit yang lalu.
“Mana ada mandiri rasa gudeg. Btw, gudeg itu apa, Jas?” tanya Aurora.
“Elah, lu mah makan makanan khas orang luar, sih. Jadi, makanan khas Indonesia tidak tahu, kan? Sambal kelapa saja kemarin hasil google. Gudeg itu makanan khas Yogyakarta. Bahan utamanya terbuat dari buah nangka muda. Diolah menggunakan bumbu ayam. Kalau di Yogya biasanya dimasak dengan ayam dan telur. Rasanya ... jangan diragukan lagi. Tentu saja gurih, manis, pedas, semuanya berpadu dengan pas. Kalau gak suka pedas, ya, gak usah pakai sambal.” Jasmin memperlihatkan gambar makanan gudeg yang ia ambil dari internet.
“Wih, enak. Boleh juga dipakai buat konten. Jadi, sekalian aja, Jas, kita buat konten khusus makanan tradisional kaya gitu.” Aurora mengambil buku kecil dan pena. Ia menuliskan daftar-daftar makanan yang akan ia gunakan sebagai bahan kontennya. “Tapi, gue ingin ke Tugu,” sambungnya.
“Tugu, mah, gampang. Tuh, Tugu Yogya kokoh banget. Berdiri sendiri di tengah-tengah jalan yang ramai kendaraan. Setiap hari disiram asap dari knalpot. Tapi, tetap kuat. Jadi, kita harus seperti itu, Ra. Walaupun, banyak orang yang membicarakan tentang kita, ya, kita juga harus kuat. Jangan tumbang. Soal berdiri di tengah jalan dikelilingi kendaraan, kota harus tiru juga. Kita harus berani untuk hidup di tengah-tengah masyarakat dengan mandiri, tapi kita juga membutuhkan kehangatan dari sekitar. Makanya, segala sesuatu itu harus sesuai dengan porsinya. Tujuannya apa? Hanya satu, agar kita tidak tumbang.” Jasmin memakan secuil roti tawar dengan isi selai pisang.
Tidak lama kemudian, ponsel Aurora berdering. Di sana terdapat nama Mario muncul di layar benda pipih itu. Ternyata, Mario dipindahkan ke Rumah Sakit besar di Yogyakarta. Dibalik pesan itu, merupakan ibu dari Mario. Kesempatan besar untuk Aurora bisa menjenguk sahabatnya, jika ia ikut bersama Jasmin menyusul ke Yogyakarta.
“Siapa, Ra?” tanya Jasmin yang mendengar suara dering ponsel Aurora.
“Mario, Jas. Oh iya, nanti kalau kita ke Yogya, sekalian menjenguk Mario, ya?” jawab Aurora.
“Tenang saja. Itu, mah, gampang.”
“Lu, jadi orang serba gampangin segala hal, ya?” candanya.
Jasmin tertawa. Tidak lama kemudian, Nilam ikut bergabung bersama mereka. Ia baru saja keluar dari tempat tidur, karena merasa badannya sedang tidak nyaman. Sejak kemarin sore, Nilam memang sudah mengalami gejala flu. Nilam telah menjalani pengobatan, Allah masih memberikan nikmat yang begitu besar. Nilam tidak terinfeksi dengan virus yang sedang merebak di belahan dunia.
“Mama Nilam, Jasmin mau minta sesuatu ... boleh?”