“Jas,” lirih Aurora sembari menatap Jasmin.
“Turun ke bawah, Ra. Itu ada suara apa? Mario, kan, sedang ke dapur mengambil air minumnya karena telah habis.” Jasmin berdiri langsung berjalan keluar dari pintu kamar Aurora.
Mereka telah sampai di lantai satu. Keadaan biasa saja, akan tetapi firasat Aurora masih saja tidak menenangkan. Jasmin menyeret lengan Aurora untuk berjalan ke arah dapur. Keadaan masih sama, tidak ada sesuatu yang mencurigakan.
“Ra, apa ada maling?” kata Jasmin dengan berbisik-bisik takut kalau memang ada sekelompok atau seseorang yang membahayakan berhasil singgah di istana milik orang tua Aurora.
“Hus, jangan bicara yang aneh-aneh. Takutnya, benar terjadi. Mending kita tetap berpikir positif sembari mencari Mario. Ingat, kan? Mario tidak bersama kita.” Aurora berjalan ke arah ruang tengah yang biasanya dijadikan tempat terfavorit Mario untuk menonton televisi.
Namun, di sana tidak terdapat Mario. Di sana hanya ada sebuah kucing yang sedang memainkan wadah camilan berwarna biru muda. Lantas, sebenarnya di mana Mario? Kenapa bisa menghilang mendadak selayaknya vampir? Sudahlah, berpikir logis saja.
Mereka berjalan dengan tempo kaki yang dipercepat. Dari jendela yang tidak terpasang gorden itu terlihat ada seseorang yang tergeletak di teras rumah Aurora. Hal tersebut membuat Aurora dan Jasmin merinding dan tubuh dingin karena rasa cemas dan takut. Dengan keyakinan yang tidak seberapa, Aurora membuka pintu utama di istananya, di sana terdapat Mario terkapar tidak berdaya.
“Ra, jangan-jangan memang ada maling. Terus, Mario mencoba untuk melawan,” kata Jasmin yang masih berdiri di ambang pintu. Sedangkan, Aurora telah terduduk lesu mengamati sahabat dari kecilnya tengah tergeletak tak bisa bergerak di lantai teras rumahnya.
“Jas, lebih baik, telepon ambulans!” teriak Aurora.
“Lama, Ra. Mending pakai mobil saja. Lu yang mengemudikan, gue jaga Mario di belakang.”
Aurora bergegas masuk ke rumahnya untuk mengambil kunci mobilnya. Benar kata Jasmin, memanggil mobil ambulans hanya akan membuang waktu, sedangkan di rumahnya ada mobil yang terparkir tidak digunakan. Akhirnya, mereka menuju rumah sakit untuk mengecek keadaan Mario.
Sepanjang perjalanan, Jasmin tidak berhenti untuk menghubungi orang tua Mario. Akan tetapi, tidak mendapatkan respons yang baik. Apa karena jaringan di tempat orang tua Mario sedang buruk?
Setelah lima belas menit kemudian, mereka telah duduk di depan pintu ruangan di mana Mario sedang diperiksa oleh dokter. Entah, apa yang terjadi dengan Mario, sampai pemeriksaannya membutuhkan waktu yang sangat lama.
“Suster, ada apa dengan Mario?” tanya Aurora ketika melihat seorang perempuan berpakaian putih keluar dari ruangan.
“Tunggu dokter saja, ya. Permisi.” Suster itu melangkahkan kakinya ke arah lorong yang terletak di sebelah kanan ruangan.
Perasaan Aurora semakin memburuk setelah melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul lima sore. Artinya, sudah satu jam lebih Mario diperiksa oleh dokter. “Ra, apa sebaiknya kita ke musala mendoakan Mario?” tanya Jasmin.
Aurora tidak menjawab melainkan hanya memberikan anggukan kepalanya. Kedua perempuan itu menjalankan salat asar yang tertunda karena harus mengantarkan Mario ke rumah sakit. Setelah selesai menjalankan kewajiban empat rakaat, mereka mendoakan Mario dengan bersungguh-sungguh meminta kesembuhan dari sahabatnya itu.
Setelah selesai sembahyang, Aurora menelepon Nilam untuk segera datang ke rumah sakit. Tanpa mengatakan siapa yang sakit, Aurora mematikan teleponnya karena hatinya benar-benar dalam keadaan yang buruk.
Seorang sahabat seakan menjadi seperti sebuah jaringan internet. Kala salah satu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, maka yang lainnya akan merasakan sebuah sinyal yang buruk. Begitu pun sebaliknya.
“Tunggu Mama saja Jas.” Aurora mendudukkan diri ke kursi yang disediakan di sana. Dengan memakai masker dan menjaga jarak dengan orang lain sangat wajib saat ini dilakukan. Apalagi, mereka berada di lingkungan rumah sakit yang memegang protokol dengan ketat.
“Iya, Ra. Kalau begitu, lebih baik kamu memberikan kabar ke warga internet tentang pengunduran jadwal tayang.”
Aurora mengambil ponselnya yang ada di saku celana. Akan tetapi, sama saja tidak bisa mengunggah informasi, sebab jaringan di rumah sakit sedang tidak terkondisikan. Setelah menunggu lama, dokter keluar dari ruangan. “Apakah ada orang tua pasien, Mbak?” tanyanya.
“Maaf, Bu, orang tua Mario belum bisa dihubungi. Apakah ada hal yang serius dengan Mario?” jawab Aurora yang berdiri di depan dokter itu.
“Nanti kalau orang tua pasien telah hadir, tolong suruh bertemu dengan saya, ya.”
Aurora duduk kembali di kursi itu. Tidak lama kemudian, Nilam dan Bram telah tiba di rumah sakit. Nilam mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Mario. Akhirnya, Jasmin yang menceritakan runtutan peristiwa yang terjadi, karena Aurora tidak sanggup untuk menceritakannya.
“Mama Nilam, apa sebaiknya Mama masuk ke ruangan dokter?” Jasmin bertanya sembari memeluk Nilam.
“Iya, Mama ketemu dokter dulu. Kalian berdoa, ya!” Nilam yang berjalan lebih dulu dengan diikuti oleh suaminya menuju ruangan dokter. Sebuah perasaan buruk yang menghinggapi hati mereka membuat keadaan tidak karuan.
Aurora dan Jasmin saling berpegangan tangan untuk sekadar mencari ketenangan. Tidak jauh dari tempat duduk mereka ada seorang perawat laki-laki berjalan ke arah mereka duduk. “Mbak, mohon maaf, untuk keadaan seperti saat ini, diharapkan tidak berpegangan tangan dan selalu mencuci tangan menggunakan sabun dari air yang mengalir.” Perawat itu melenggang pergi menjauh dari mereka yang masih setia duduk di tempat. Secara mendadak, mereka harus melepaskan genggaman tangan.
Beberapa menit kemudian, Nilan dan Bram telah berkumpul kembali di depan ruangan Mario. Tidak kama juga, dokter bersama dua perawat berjalan untuk memindahkan Mario ke ruang rawat inap. “Kita harus selalu berdoa untuk kesembuhan Mario. Mama yang akan memberikan kabar ke orang tua Mario.” Nilam mengikuti perawat dan dokter yang menyeret tempat tidur Mario ke ruangan inapnya. Begitu pun dengan Bram, Aurora, dan Jasmin. Sampai pukul sembilan malam, Mario belum juga memberikan tanda-tanda akan membuka matanya. Apakah pengaruh bius dari dokter atau karena terjadi sesuatu dengan Mario? Pastinya, Aurora hanya bisa selalu berdoa yang terbaik untuk salah satu sahabatnya.
Sekitar pukul sebelas malam, orang tua Mario baru sampai di rumah sakit. Nilam memberitahu tentang penyakit Mario kepada orang tuanya dengan sejujurnya. Entah apa yang terjadi dengan Mario, Aurora tidak mengetahui sedikit pun. Sebab, Nilam dan Bram memutuskan agar Aurora tidak mengetahui penyakit Mario dalam waktu ini. Alasannya, mereka tidak ingin Aurora mengalami kesedihan dan akhirnya terpuruk. Aurora masih memiliki rada trauma ketika kehilangan neneknya ketika masih berusia enam tahun. Oleh karena itu, Nilam tidak ingin Aurora merasakannya kembali.
“Ra, terima kasih sudah membantu menjaga Mario.” Ibu Mario berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Aurora hanya mengangguk sembari tersenyum dan menatap punggung ibu sahabatnya. Setelah itu, ibu Mario yang bernama Laras, membaca kitab suci untuk diberikan kepada Mario yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Aurora dan Jasmin keluar dari ruangan untuk mencari makanan di halaman depan rumah sakit. Sebab, jam tengah malam di kantin rumah sakit sudah tidak ada menu yang bisa dibeli. Bahkan, mungkin sudah tutup sejak tadi.
Pada saat Aurora dan Jasmin sampai di depan gerbang rumah sakit, tiba-tiba ada kecelakaan yang mengakibatkan korban luka-luka dan kerusakan pada kendaraan. Aurora dan Jasmin mengucapkan rasa belas kasihan dengan dirinya sendiri kala melihat peristiwa itu, lalu pergi membeli makanan dan minuman. Saat mereka memasuki rumah sakit, Aurora melihat korban kecelakaan tadi sedang duduk menunggu antrean. Aurora memberikan satu botol air mineral kepadanya. “Terima kasih,” ucapnya.
“Sama-sama, semoga lekas sembuh, Pak.” Aurora berpamitan untuk kembali ke ruangan Mario. Mereka telah sampai di sana, akan tetapi Mario belum juga sadarkan diri. Mungkin benar, hari ini merupakan hari yang sial untuk Aurora. Sejak pagi mengalami rentetan peristiwa yang buruk baginya.
“Selamat malam, apakah orang tua Mario bisa ikut dengan saya?”