Bercak

2509 Words
Hari ini adalah tepat dua minggu Aurora menjalani sistem sekolah daring. Ia merasakan jengah duduk di rumah sembari mendengarkan materi yang disampaikan gurunya dari balik layar. Aurora memang pandai, tapi dia juga sama seperti manusia pada umumnya. Saat ini, dia berada fase jengahnya ketika mendapati materi yang tidak dimengerti. Aurora memutuskan untuk pergi mencari ketenangan. Pikirnya, untuk menentramkan pikirannya dari tugas-tugas sekolah yang setumpuk bak bukit. Aurora melangkahkan kakinya tanpa arah tujuan yang pasti. Di dalam benaknya, terpenting bisa keluar dari rumah. “Ra, mau ke mana?” tanya Jasmin di pertigaan jalan. “Jengah di rumah, cari kafe yuk?” ajaknya. “Ra, maaf, gak bisa. Tugasku belum selesai,” jawab Jasmin sembari pergi meninggalkan Aurora dengan tangannya yang membawa dua kantong plastik besar. Aurora melanjutkan jalan kakinya mencari tempat yang membuatnya merasa rileks dan nyaman. Kakinya terus menyusuri jalanan, entah mau sampai di mana, mungkin sampai merasa mendapatkan tempat yang cocok untuk suasana hatinya. Di depan sana ada sebuah warung angkringan yang buka selama 24 jam non-stop. Aurora menginjakkan kakinya di sana. Ia masuk ke dalam dan mencari tempat duduk yang ternyaman. Ia memesan nasi goreng dengan cabai sepuluh biji. Kenapa hanya sepuluh biji? Apakah tubuhnya sudah lengah dengan cabai? Oh, tidak! Ia sadar bahwa harga cabai sedang mahal, oleh karena itu Aurora tidak ingin membuat pemilik warung bangkrut secara tiba-tiba. “Mang Nasi goreng cabai lima dan es jeruk ya,” pintanya pada penjualnya. “Makan di sini atau dibungkus, neng?” “Di makan sini,” ujar Aurora sembari membenarkan posisi duduknya. Ia menghadap ke arah luar warung, menatap pengguna jalan yang berlalu lalang. Ia sangat menyukai dengan bentuk-bentuk mobil yang bervariasi. Dulu, sewaktu kecil Aurora sering minta mobil mainan. Jarang sekali membeli boneka. “Neng, ini nasi sama es jeruknya.” Mamang Dul kembali ke tempatnya untuk membuatkan pesanan pembeli yang lainnya. “Terima kasih, Mang,” ucapnya sembari menengok ke arahnya berdiri. Beliau tampak tersenyum tipis ke arah Aurora sembari menganggukkan kepalanya. Aurora membuka ponselnya untuk mencari inspirasi membuat konten selanjutnya. Tapi, tiba-tiba ada seseorang yang dengan seenak hatinya duduk di sampingnya. Ia malas untuk melihatnya, apalagi dia orang yang tidak kenalinya. “Punten, Apa saya boleh duduk di sini?” tanyanya, jika dilihat dari cara berbicaranya seperti orang Jawa. Aurora menganggukkan kepalanya memperbolehkan. Walaupun sebenarnya ia tidak ingin di dekati orang lain. Aurora melanjutkan makannya dengan sedikit tergesa-gesa. Hampir saja tersedak makanannya sendiri. Terdengar suara yang sangat ia hafal dari dekat. “Kalau makan itu pelan-pelan, jangan kaya orang di kejar setan.” Aurora mendongakkan kepalanya dan berbalik ke arah belakang, benar saja ada Langit di sana. Langit berjalan menuju depan Aurora. Ia duduk di depan persis Aurora duduk. “Ngapain coba ada di sini,” batin Aurora. Langit menyuapkan beberapa sendok nasi goreng milik Aurora. Aurora jengkel dengan perilakunya yang sesuka hati meminta makanan orang. “HEH, KAMU TIDAK PUNYA UANG? KENAPA HARUS MAKANANKU YANG KAU MAKAN?” Aurora meradang sembari menggetak meja makannya. “Punten, saya jadi tidak bisa makan kalau kalian beradu mulut terus.” Ibu-ibu itu pergi membayarkan makanannya pada Mang Dul lalu meninggalkan warung ini. Sedangkan, Langit masih setia menyuapkan nasi goreng milik Aurora sampai-sampai tubuhnya mengeluarkan keringat yang cukup banyak. “Gila, ini cabai berapa sih?” tanyanya dengan mengusap keringat yang ada di dahinya. “Kenapa? Kepedasan? Makanya kalau mau makan milik orang itu minta izin. Mau tahu itu cabai berapa?” tanyanya sembari menaik turunkan alis. “Iya,” jawabnya singkat. “2 kilo cabai rawit.” Langit Kepedasan lalu menguapkan asap panas dari dalam mulutnya. Hal di luar dugaan Aurora, padahal tadi dia tidak menguapkan asap panas dari mulutnya, lalu kenapa sekarang ia melakukan itu di saat Aurora membohonginya, padahal itu hanya lima biji cabai. “Gila ... Kamu mau mati?” tanyanya sembari menguapkan asap-asap panas itu. Tiba-tiba tubuh Aurora timbul bercak-bercak merah di lengan tangan kanannya, Aurora pergi ke luar warung sebelum uap panas itu memberikan efek yang dahsyat ke tubuhnya. Ia lari sejauh mungkin untuk menghindari Langit dan orang lain. Ia melihat jarit bermotif batik bertengger di gantungan milik orang lain. Aurora mengambilnya lalu digunakan untuk menutupi tubuhnya. “Ra, kamu mau ke mana?” tanya Langit menepuk bahu Aurora. “E-eh kamu bukan Aurora? Maaf, ya, aku salah orang.” Langit memijat kepala belakangnya ia kaget melihat Aurora yang penuh bercak-bercak warna merah. “Untung, gak mengenaliku. Padahal wajahku tidak berubah,” batin Aurora. “Oke, aku permisi.” Aurora melangkahkan kakinya. Belum sampai ada sepuluh langkah, Aurora sudah di hajar oleh pemilik kain batik yang ia gunakan untuk menutupi gradasi kulit dan perut yang membuncit serta pinggangnya yang melebar. “Neng, kembalikan jarit saya,” ucap sang pemilik jarit itu. “Bu, maaf, saya pinjam dulu, ya,” Aurora membenarkan posisi jarit yang melekat dalam tubuhnya. “Nanti gak dikembalikan lagi,” ucapnya. Aurora membuka dompetnya lalu mengambil KTP-nya. Benda itu ia gunakan untuk jaminan kalau jaritnya akan dikembalikan lagi. Kalau bukan demi menutupi beberapa bagian baju yang robek, mana mungkin Aurora mau menjaminkan KTP-nya hanya untuk selembar jarit, masih mending kalau dijadikan jaminan pinjam uang, kan lumayan bisa beli cabai satu truk. “Baik, saya bawa ya KTP-nya,” ucapnya percaya. Ibu itu pergi kembali ke rumahnya. Aurora pun bergegas pergi sebelum ada orang yang mengenalinya. Sesampainya di rumah, Aurora langsung melenggang ke kamarnya. Dia membersihkan diri lalu berganti pakaian. Memang, tubuhnya timbul bercak-bercak hanya sesaat, ya, tidak sampai satu jam. Paling lama hanya tiga puluh menit. “Ra, tadi kata bibi, kamu pulang pakai lilitan jarit, kenapa?” tanya mama setelah mendekatkan dirinya di tempat Aurora terduduk di ranjangnya. “E-oh, iya, tadi bajuku basah ketumpahan air talang milik orang,” jawabnya asal. “Air talang? ... Perasaan tidak ada hujan sehari ini,” Aurora menghela napasnya kasar. Duh, Aurora salah membuat jawaban, seharusnya bukan air talang, tapi—mungkin—kepleset atau yang lainnya. Akhirnya, Aurora hanya bisa tersenyum kikuk. “Terus itu, jarit milik siapa?” tanya mamanya. “Punya orang di kompleks sebelah, Ma.” Aurora beranjak dari ranjangnya menuju meja belajarnya, setelah mamanya keluar dari kamarnya. Aurora membuka kanalnya lalu membaca kolom komentar yang ada. Banyak tanggapan positif akan kontennya yang menghibur dan unik. Tapi, banyak juga yang mengatakan bahwa kontennya tidak mendidik dan lainnya. Aurora berpikir untuk menambah segmen dalam kontennya. Ia berpikir untuk melakukan collab bareng konten kreator lain. Tapi, tiba-tiba muncul ide dengan tema sosial. Ah, kenapa banyak sekali ide yang berkeliaran? Aurora memutuskan untuk menghentikan pencarian ide untuk penambahan segmen, ia memutuskan untuk menuju ruang makan dan menyantap makan malam bersama keluarganya. Ia menyantap makanan yang ringan dan tidak mengandung banyak cabai. Hal aneh pada Aurora tidak hanya perubahan yang drastis ketika makan pedas dan banyak. Ia juga bisa menurunkan berat badannya kalau memakan makanan ringan dan tidak pedas, seperti roti. “Ra, muka kamu kenapa?” tanya papa. “Memang kenapa, Pa?” “Kok di dekat telingamu ada bercak merah, tapi cuma sedikit kok, palingan digigit nyamuk saja.” Aurora terdiam. Ia memilih melahap roti berselai cokelat itu. “Papa bersyukur punya kalian .... “ Aurora menghentikan makannya lalu menatap sendu papanya. “Mama dan Aurora yang selalu membuat Papa semangat, tersenyum, dan merasakan bahagia. Lalu, Mama yang selalu mengingatkan Papa untuk selalu beribadah, salat, mengaji, dan mendengarkan ceramah ... Ceramah harian bareng Mama maksudnya.” “Ih, Pa, ada aku loh awas saja kalau sampai ... Bermesraan di sini.” “Pa, Ra, salat, mengaji, zakat, dan ibadah lainnya itu yang menyuruh Allah, bukan Mama. Ada dalam salah satu firmannya, dalam Surah Al Baqarah ayat 43. Jadi, jangan pernah melupakannya, ya,” ucapnya. “Ma, bunyi Al Baqarah ayat 43 bagaimana?” “Aurora, banyak-banyak mengaji, ya, jangan bikin konten melulu,” jawab Papa dengan nada bercanda. Aurora tersenyum. “Pa, aku juga mengaji kali.” Acara makan malam ditutup dengan mama yang pergi ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah sejak pagi tadi. Begitu pun dengan Aurora. Sedangkan, papa pergi ke ruang privasinya, yaitu ruang kerjanya. Ia memilih menyelesaikan pekerjaannya. Bramantya memilih untuk menyelesaikan salah satu proposalnya yang akan diajukan untuk menarik minat dari kliennya. Bramantya Abadi merupakan papa dari Aurora. Ia bekerja di salah satu perusahaan bernama CV Tunggal Sejati sebagai direktur. Perusahaan yang ia tempati untuk bekerja adalah perusahaan di bidang penginapan yang dibangun pada tahun 2000 oleh Rony Alexander. Perusahaan itu didirikan di kota Jakarta dan memiliki dua cabang di Bekasi dan Depok. Besok pagi, Bram akan melaksanakan rapat bersama kliennya, hal itulah yang membuat Bram harus lembur menyusun proposal dan materi presentasi di malam ini. Dilain tempat, Aurora sedang duduk di sofa yang terletak di sebelah kanan ranjang miliknya. Ia terlihat berbaring berharap menghilangkan penatnya. Ia membuka ponselnya mencari akun i********: dari konten kreator yang mengangkat konten yang sama dengan dirinya. Ia menemukan akun i********: dari Isabel Laurin. Ia adalah seorang konten kreator yang terjun ke dunia youtube sejak tahun 2014 silam. Aurora berniat mengajaknya kolaborasi, apalagi Isabel bertempat tinggal di Jakarta juga. Hal itu yang membuat Aurora tertarik untuk mengajak kerja sama gadis berambut panjang dan memiliki bola mata yang cantik itu. “Hai, Isabel! Perkenalkan aku Aurora. Jika kamu belum pernah mendengar namaku atau melihat diriku, kamu bisa mengunjungi akun youtube-ku yang bernama Aurorawa. Melihat isi konten dari akunmu yang sama-sama dalam bidang makanan, aku berniat untuk mengajakmu berkolaborasi untuk mengisi konten di youtube. Jika kamu berkenan, silakan balas DM ini. Thanks, Aurora.” Akhirnya, Aurora menemukan seseorang untuk kolaborasi untuk segmen barunya di youtube. Tapi, Isabel tampak seperti tidak berniat atau tertarik dengan ajakan Aurora. Hal itu dibuktikan dengan Isabel yang tidak kunjung membalas DM yang Aurora kirimkan dalam jangka waktu tiga jam. Setelah empat jam DM itu terkirim, akhirnya Isabel membalas pesan tersebut dan menyetujui kerja sama tersebut. Aurora bernapas lega setelah menanti balasan itu setelah empat jam ia menahan rasa kantuknya. “Hai, Boleh. Tapi, kamu mau seperti apa dengan konten yang kamu susun? Kalau boleh tahu, waktu dan tempatnya bagaimana?” “Baik, untuk tempat rencanaku dilakukan di Taman Wiladatika, Cibubur. Untuk konsep dari konten tersebut, aku merencanakan untuk membuat video ulasan tentang sebuah makanan khas sebuah daerah di nusantara. Ya, bisa dibilang seperti konten-konten yang pernah aku buat sebelumnya.” “Baik, tapi aku berharap akan ada sesuatu yang unik dari konten tersebut. Misal, kita melakukan mukbang sembari bercerita tentang sebuah kasus yang pernah terjadi.” “Baik, Bel. Aku pikir, kita akan membuat konten itu sesuai dengan ciri khas dari kita masing-masing.” Ya, konten dari Isabel memang tergolong unik, dia tidak hanya melakukan mukbang dengan me-review makanan, ia juga akan menambahkan sedikit pembahasan kasus yang pernah terjadi di dunia. Kadang, ia juga akan membubuhi kontennya dengan sesuatu yang mendidik, seperti materi pelajaran SD sampai SMA. Entah, bagaimana bisa ia melakukan hal itu. Bahkan, untuk melakukan memberi ulasan terhadap sebuah makanan, Aurora masih begitu kesulitan. “Oh, ok, jadi tetap dengan ciri khas masing-masing. Tapi, sebagai timbal baliknya kamu juga harus bersedia untuk mengisi kontenku dengan gayaku. Kalau kamu setuju, langsung tentukan waktunya saja. Kebetulan, aku masih berada di daerah Cibubur.” Aurora melihat kalender yang terduduk di meja belajarnya. Ia membuka-bukanya dan mencari tanggal yang tepat. “Baik, aku menginginkan untuk syuting tanggal 7 Maret 2021, karena mengingat kita masih sekolah dan harus mengerjakan tugas secara daring.” Aurora mengirimkan pesan. Tidak lama kemudian, Isabel membalas sebagai tanda setuju dengan sarannya. Membuka balasan pesan itu, membuat Aurora bergegas menghubungi Jasmin dan Mario untuk membantu dan menemaninya membuat konten tersebut. Sampai pada hari yang telah ditentukan, Aurora menunggu kedatangan kedua temannya untuk mengikuti kegiatan syutingnya. Tapi, dalam waktu 15 menit belum ada seorang pun yang hadir di hadapannya. Aurora berkali-kali menghubungi Jasmin dan Mario, tapi tidak ada panggilan yang terjawab sama sekali. “Kalau tidak mau menemaniku, kemarin tidak perlu berjanji dan mengatakan mau,” batin Aurora dengan perasaan yang sangat kacau. “Ra, maaf, tadi jalanan macet .... “ Jasmin keluar dari mobil Mario bersamaan. “Jadi, sampai di sini sedikit telat.” “Sedikit telat dari mana coba, Ra? Yang ada telat banget. Bisa-bisa si Isabel sudah lama menunggunya.” “Sudah-sudah, ayo berangkat saja. Sini barang-barangnya di masukkan.” Mario, Aurora, dan Jasmin mengangkat barang-barang itu. Dari tempat Aurora untuk sampai ke taman, membutuhkan sekitar satu jam perjalanan. Ya, hal inilah yang membuat Aurora jengkel terhadap temannya yang terlambat. Ia takut jika Isabel sudah tiba lebih dulu. Aurora membuka ponselnya lalu menghubungi Isabel. “Hallo, apa kamu sudah sampai di tujuan?” tanya Aurora. “Maaf, sedikit terlambat dikarenakan aku sedang dalam masalah kecil. Tapi, kamu santai saja, aku akan tetap hadir hari ini sesuai dengan ketentuan.” “Baik, aku dalam perjalanan.” Panggilan pun terputus sejak satu detik yang lalu. “Ra, dalam perjalanan, memang kita kaya barang ekspedisi?” canda Jasmin yang disusul tawa dari Mario. “Jas hujan, pikirannya jauh juga, ya. Ah, mungkin kalau kamu bisa, kan kamu jas hujan.” “Ra, aku Jasmin. J-A-S-M-I-N!” Jasmin menatap Aurora tajam. “Iya-iya, Aurora tahu namamu itu Jas ... Jas hujan!” Aurora menatap ke arah depan. Sedangkan, Jasmin masih sedikit kesal karena namanya dipelesetkan olehnya. “Ra, kenapa gak ke Cibubur Junction aja?” “Malas, nanti habisin duit bukannya nyari duit.” Taman Wiladatika dan Cibubur Junction memang berdekatan. Ya, sedekat hati Aurora dengan Langit. Eh, kok? Ya, sudahlah lupakan. Kedua tempat itu hanya berseberangan jalan, jadi ada kemungkinan akan singgah di salah satu supermarket itu. “Akhirnya ... Taman sejuta FTV Aurora hadir!” “Taman sejuta FTV?” tanya Jasmin, sedangkan Mario menghela napas melihat sikap Aurora yang masih seperti anak-anak walaupun usianya sudah menginjak angka 16 tahun. Eh, tapi kan dalam undang-undang anak-anak itu sampai umur 18 tahun, kan? “Iya, kan banyak FTV syutingnya di sini.” Mereka memasuki area taman paling depan. Dengan membayar uang tiket, mereka bisa leluasa mengelilingi taman itu. Mereka telah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk berjalan di taman. Belum ada konfirmasi masuk ke ponsel Aurora tentang kabar Isabel. Ah, mungkin masih sibuk atau sudah jalan. Sesuai anjuran Mario, Aurora mencoba menghubungi Isabel untuk menanyakan keberadaannya. Ya, terlambat satu dua menit sih masih tidak masalah, tapi ini sudah lebih dari lima belas menit. Apalagi, perjalanan mereka bertiga cukup jauh, jadi kalau sampai di tempat ini tanpa membawa sebuah hasil kan sia-sia. Setelah lima kali deringan telepon, akhirnya Isabel menjawab panggilan Aurora. Ternyata, Isabel masih belum bisa untuk memberangkatkan mobilnya menuju taman di mana mereka sepakati. Aurora, Mario, dan Jasmin memutuskan untuk keluar dari area taman. Mereka menyeberang jalan untuk masuk ke Cibubur Junction. Mereka ingin mencari sesuatu yang—mungkin—dibutuhkan saat syuting berlangsung. Terutama membeli makanan yang akan digunakan untuk konten, yaitu mi instan dengan varian rasa yang bisa menggugah selera Aurora. Di tengah keasyikan belanja, Isabel memberitahu kalau dirinya tidak bisa hadir. Dia membatalkan perjanjian karena alasan yang tidak disebutkan. Aurora mau marah pun tidak ada gunanya, tapi tidak bisa dipungkiri kalau hatinya merasa kesal dengan sikap Isabel. Ia memutuskan untuk masuk ke salah satu kafe yang ada di sana, mereka menikmati makan siang. “Ra, gue .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD