Pesan dari Isabel yang entah kelanjutannya belum diketahui oleh Aurora. Walaupun merasa kesal, Aurora tetap membalas pesan itu dengan sikap—sandiwara—ramah terhadapnya.
“Iya, kenapa?” balas Aurora dalam selang waktu dua menit.
“Gue sudah sampai di depan taman,” balasnya dengan cepat.
Aurora membelalakkan matanya. Ia tidak percaya kalau Isabel hanya mengerjainya. Aurora bergegas membawa barang belanjaannya dan mereka kembali ke taman.
“Gila sih, gue udah mau balik tadi,” kata Aurora sembari menahan tangisnya.
“Ya, maafkan aku, tadi aku itu ada masalah sedikit, tapi sudah teratasi. Oh iya, mau buatnya di sebelah mana?” tanyanya yang masih memegang tripod dan kamera serta menggendong ransel berwarna hitam.
Mereka berjalan mengitari taman untuk mencari tempat yang cocok dan jauh dari kebisingan pengunjung taman. Mereka menemukan sebuah tempat yang berada di belakang, tapi tempatnya tidak terlalu indah dan menarik. Akhirnya, mereka mencari ke sebelah samping kanan. Tapi, di sana mereka menemui beberapa orang yang sangat berisik. Alhasil, mereka menemukan tempat di sebelah kiri taman. Walaupun banyak pengunjung, tapi mereka tidak terlalu berisik dan menimbulkan suara yang akan mengganggu jalannya kegiatan.
“Oke, Mario, tolong kamu siapkan mikrofon dan semua perlengkapan,” ucap Aurora yang telah menemukan tempat yang cocok. Ia menguncir rambutnya bak kuda poni. Ia duduk di bangku yang memang sudah ada di sana.
Mario menyiapkan segala sesuatunya tentang peralatan yang akan digunakan. “Gue kira lo enggak punya tim,” kata Isabel sembari mengatur kameranya yang sudah terpasang di tripod warna hitam.
“Haha mereka mah, sahabatku,” tutur Aurora sembari tertawa kecil, “Aku tidak pernah menganggap mereka itu pembantu atau apa pun itu, tapi mereka adalah sahabat terbaikku,” sambungnya sembari merangkul Jasmin yang sedang menuang cabai ke dalam mangkuk kecil bermotif angsa.
“Aaa, Aurora ini tangan bikin sakit tau,”kata Jasmin sembari menyingkirkan tangan sahabatnya itu.
Aurora berjalan duduk ke bangku itu setelah dirinya dan Isabel siap menjalankan kegiatan pengambilan video pada hari ini. Mereka duduk berjejer dengan menu pisang cokelat dengan ukuran berat dua kilo gram dan tempe mendoan sebanyak dua puluh biji beserta cabai sebanyak tiga kilo gram. Padahal, harga cabai saat ini sedang mencapai angka sembilan puluh ribu rupiah. Artinya, ratusan ribu baru pada cabai saja, belum dengan barang lainnya. Dasarnya anak orang kaya, mah, enggak akan mengurusi tentang biaya.
“Hai geng, hari ini gue sedang ada di Taman Wiladatika, Cibubur. Gue barengan sama Aurora bakal membuat sebuah kolaborasi, jadi, di sini sudah ada pisang cokelat yang super gedhe, tempe mendoan, dan cabai seberat tiga kilo gram,” kata Isabel membuka konten untuk akunnya.
“Nah, ini dia salah satu yang membuat gue tertarik diajak kolaborasi bareng dia, ini itu menarik. Kok bisa, makan cabai dengan porsi besar, tapi perut santai saja?” tanya Isabel untuk membuka topik.
“Ini yang gue enggak mengerti, sampai-sampai gue itu disebut ratu angin, hanya gegara enggak bisa bengah atau buang angin,” jawab Aurora, “Nah, Bel, kalau kamu nih, memangnya enggak enek makan cokelat begini?” tanya Aurora balik untuk membuat topik semakin melebar.
Isabel tampak menunduk sebentar lalu mengibaskan rambut panjang yang tergerai dengan indahnya itu ke belakang. “Sebentar gerah, di sini panas banget, ya. Sebenarnya sih ... enek,” katanya sembari tertawa kecil.
“Tapi, ya mau bagaimana lagi, karena gue udah nge-judge diri gue sebagai pencinta cokelat, jadi, ya mau enggak mau harus mau melakukan ini,” sambungnya sembari mengubah posisi duduknya agak memiring menghadap ke arah Aurora.
“Mario, itu tolong tripodnya dibenerin biar enggak goyang hasilnya,” kata Aurora pada Mario yang berdiri di dekat tripod milik Isabel.
“Oh oke,” jawabnya sembari membenarkan tripod berwarna hitam itu.
“Woah, terima kasih, Ra, kita mulai atau masih ingin berbincang?” tanya Isabel pada Aurora yang sedang membuka ponselnya.
“Iya, kita berbincang-bincang dulu saja, kita berbagi ilmu dulu, ya,” jawab Aurora sembari membuka aplikasi sosial medianya.
Aurora beberapa hari yang lalu sempat membuat QnA bareng pengikutnya agar bisa membuat kegiatan hari ini semakin seru dan berbeda dengan sebelumnya. “Bel, kita jawab pertanyaan orang-orang penghuni dunia maya,” ajak Aurora.
“Oh baik, silakan pertanyaan yang pertama,” jawab Isabel yang sebelum meneguk air putih dari botol kemasan seharga lima ribu rupiah.
“Isabel, apa yang membuat kamu terjun ke dalam konten kreator?” tanya Aurora mewakilkan netizen pada pertanyaan pertama.
“Konten kreator ... baik, berawal dari tugas sekolah waktu itu. Jadi, gue itu sekolah di SMK Multimedia. Dari situ, gue diajarin banyak hal tentang media, karena itu aku belajar lebih dalam tentang konten kreator. Sebenarnya, di jurusan multimedia itu enggak cuman tentang konten kreator, sih, tapi tentang pelajaran yang lainnya kaya yang anak SMA gitu juga ada,” tuturnya, “Ini pertanyaan dari aku, sih, kalau Aurora apa yang membuat lo tertarik dengan dunia kreator?”
Aurora meneguk air mineral karena kerongkongan yang telah dihuni makhluk kurang air. Setelah itu, ia mengibaskan tutup nasi kotak yang kebetulan ada di bawah meja kecil yang ia bawa dari rumah ke wajahnya yang gerah. “Gue ... awalnya iseng, eh, kok terus tertarik sama keterusan, kaya, kecanduan gitu. Tapi, mau apa pun hobi kalian, kerjakan dengan senang. Percayalah, kalau kalian nyaman dan senang, Insya Allah hobi kalian akan bermanfaat,” jawab Aurora dengan mata fokus pada kamera.
“Nah ini, yang gue suka heran sama orang, mereka kaya menganggap bahwa hobi mereka itu tidak bermanfaat. Menurut gue, hobi itu bisa menghasilkan uang kalau kita punya niat untuk menekuni dan bersungguh-sungguh dalam mengasah kemampuan. Sebagai contoh aja, ada orang yang hobi nyanyi, ya, dia bisa menjadi penyanyi, caranya bisa buat lagu lalu masuk ke tahap rekaman dan lain-lain, begitu juga sama kreator, zaman sekarang mah mudah banyak wadah untuk menampung segala hobi,” kata Isabel menyetujui tentang pembicaraan Aurora yang mengatakan bahwa hobi bisa bermanfaat.
“Nah, gue beberapa waktu lalu, pernah mendapatkan dirrect message dari seseorang. Dia bilang begini, Kak, maaf kalau punya hobi tentang edit foto atau video bisa enggak ya, dijadikan peluang usaha? ... Ya, jelas bisa. Bisa aja banget, guys. Nih, ya, kalian bisa bikin akun youtube atau Vlive, atau bisa juga menjual jasa editing foto dan video,” kata Aurora, “Lanjut ya, satu pertanyaan aja butuh waktu berapa menit ini, pertanyaan selanjutnya ... ‘Aurora, pernah enggak kentut atau buang uap karena kepedasan? Soalnya kalau lihat di video cantik-cantik aja’, waduh ... Ini pertanyaan harus buka aib kah?”
“Ra, ini mewakili gue banget!” teriak Isabel ke arah kamera sembari melebarkan matanya dari sebelumnya. Sedangkan, jempolnya terangkat untuk memberikan apresiasi terhadap orang yang mengajukan pertanyaan tersebut.
“Oke, gue cuman orang awam. Perempuan biasa yang sama dengan kalian semua, ya pernahlah sayang, tapi ya enggak bisa juga kalian dengar,” kata Aurora menjawabnya dengan jujur.
“Sudah aja, ya, sekarang kita lanjut ke acara inti, jadi kita bakal makan ini semua sesuai dengan ciri khas kita masing-masing,” kata Isabel sembari menunjukkan makanan itu satu persatu.
Mereka membenarkan posisi duduk dan merapikan rambut agar tidak mengganggu. Mereka telah mencuci tangan menggunakan sabun dan air mineral yang hanya tinggal setengah. Ternyata, Aurora pergi ke pusat perbelanjaan tidaklah sia-sia.
“Nah, geng, gue ditantang sama Aurora untuk memberikan sejarah tentang pisang cokelat,” katanya sembari mengelap tangannya yang basah menggunakan tisu. “Apa ya sejarahnya pisang cokelat? Ah, iya ... bentar cari di chrome dulu,” sambungnya sembari menahan tawanya.
“Baik, menurut dari google, pisang cokelat berasal dari Bandung,” kata Isabel, “Baik, memang ya, Bandung itu banyak banget makanan. Ini, satu mendoan gue bakal makan dengan cabai sebanyak dua puluh biji,” ucapnya sembari menyusul Isabel yang sudah memulai menggigit makanannya.
“Wah, serius habis cabainya, gen,” kata Isabel.
“Nah ini nyata, ya, ... Oke, sekarang gue mau menutup konten kali ini. Jangan pernah mengulik apa yang seharusnya tidak kamu ketahui atau akan merasakan sesal di kemudian hari. Tapi, sebuah ilmu harus kamu kejar setiap hari,” ucap Aurora menutup konten.
Sudah lima menit mereka menutup konten. Kini, mereka sedang berjalan mengelilingi taman yang untuk dinikmati kesejukannya. Walaupun, cuaca panas, tapi tidak menutup akses udara untuk memberikan rasa adem di tubuh putih berbalut kaos merah muda milik Aurora.
Mereka sampai di titik di mana banyak penjual berseliweran dan dijadikan sebagai pangkalan. “Gue mau beli minuman, lo mau gak?” tanya Aurora pada teman-temannya.
Mereka mengangguk, Aurora berjalan menuju tempat penjual minuman kemasan itu. Aurora memberi enam botol kemasan teh. Mereka duduk di bangku terdekat untuk menikmati minuman itu.
“Alhamdulillah, ini kerongkongan sudah terisi,” kata Aurora.
Setelah merasa puas berada di sana, mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Aurora, Mario, dan Jasmin masih harus direpotkan dengan mengedit video agar bisa segera tayang. Mario duduk di kursi meja belajar yang ada di kamar Aurora, sedangkan Jasmin dan Aurora rebahan di kasur.
“Walah, baru pada pulang?” tanya ibunya Aurora—Nilam.
“Iya, Mam,” jawab Aurora masih memainkan ponselnya yang berwarna merah muda itu, “Mam, besok Rora ada masuk sekolah,” sambungnya memberitahu agar Nilam bisa bangun lebih pagi menyiapkan sarapan dan bekal sekolahnya.
Nilam mengangkat jempolnya seakan membentuk lambang ‘Ok’ setelah itu, beliau kembali keluar dari kamar Aurora. Tidak lama kemudian, tercium bau lezat dari arah dapur lantai satu. “Ra, enak banget, gue lapar,” kata Jasmin sembari memegangi perutnya.
Memang setelah pergi dari taman, mereka tidak menyantap makanan apa pun. Jasmin berdiri lalu berjalan menuju lantai satu untuk meminta makanan sama Nilam. Sedangkan, Aurora masih terdiam di kasurnya bersama ponsel kesayangannya.
“Hai Tante, Jasmin boleh minta makan?” tanya Jasmin malu-malu selayaknya anak lima tahun.
“Boleh, dong, sebentar, ya, kamu tunggu saja di kamar Rora,” kata Nilam yang masih mengaduk sayur tumis kangkung.
Jasmin tersenyum lalu berlari seakan anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Jasmin membuka pintu kamar, ia langsung melompat ke arah kasur sembari melihat Aurora yang sedang asyik memainkan ponselnya.
“Jas Hujan, besok kita ada pesta di salah satu kafe,” ucap Aurora tanpa menatapnya. Jasmin hanya mengangguk lalu beranjak mendekat ke Mario yang sedang fokus mengedit video.
Jasmin menarik kursi plastik yang ada di dekat Mario. Ia melihat proses demi proses yang Mario lakukan untuk mempercantik tampilan video. “Jas, menurut lo, bagaimana?” tanya Mario yang masih menggeser kursor.
“Udah jauh lebih baik sih dari aslinya,” jawab Jasmin yang melihat video jauh terlihat fresh dan terang dari aslinya. Karena cahaya matahari yang berlebih, hasil video yang mereka ambil sejak tadi menjadi jelek dan pencahayaan terlalu terang, sehingga menyebabkan gambar visualnya buram.
Tiba-tiba ada suara teriakan misterius dari dapur. Suara yang menggema begitu kuat di balik dinding kamar. Jasmin yang merasa namanya terpanggil pun langsung lari menuju dapur dengan sekuat mungkin. Baru saja Jasmin keluar dari kamar, suara itu menggema kembali menyebut nama Aurora dan Mario secara bersamaan. Kini mereka bertiga telah duduk di meja makan, di sana telah berjejer menu makanan yang terlihat menggiurkan.
“Jangan lupa buat berdoa dulu,” ucap Nilam yang baru duduk dan meletakkan teko berisi air putih.
“Wah, sudah siap nih makanan?” tanya ayah Aurora yang baru pulang dari tempatnya bekerja. Ia meletakkan tas berwarna hitam di sofa ruang tengah yang berhubungan langsung dengan ruang makan tanpa penyekat. Kemudian, beliau duduk di samping Nilam.
“Masuk rumah itu salam dulu, Pa,” ucap Nilam sembari menyalami tangan suaminya. Aurora dan kedua temannya pun turut menyalami tangan pria separuh baya itu.
Mereka menyantap menu makan malam dengan begitu nyaman. Tidak ada suara kecuali dentingan sendok dan garpu. Mereka menikmati tumis kangkung, telur dadar gulung, tempe dan tahu goreng, serta ada ayam bakar spesial.
Setelah selesai makan, Mario pamit pulang karena waktu telah petang. Sedangkan, Jasmin memilih untuk menginap di rumah Aurora. Ia menghubungi orang tuanya melalui telepon untuk meminta izin. Setelah diizinkan, Jasmin berangkat ke kamar mandi untuk membersihkan keringat hasil olahan seharian ini.
“Jas, itu dipakaiin handuk, biar lantai kaga basah karena air dari rambut lo,” kata Aurora yang melihat rambut basah milik Jasmin dan air bercucuran jatuh ke lantai berkeramik warna moka.
Jasmin tersenyum miring lalu mengambil handuk kecil yang ada di balik pintu untuk menutup rambutnya. Setelah air meresap ke handuk, Jasmin duduk di meja rias milik sahabatnya untuk mengeringkan rambut dan menyisirnya.
Setelah kering, Jasmin bergegas masuk ke dalam selimut lalu memejamkan matanya. Tapi, Aurora malah mengganggunya dengan mengajak mengobrol. Padahal, dirinya sudah terlalu capek karena seharian membantu Aurora membuat konten. Belum lagi, karena harus membantu Mario dalam mengedit video.
“Jas jangan tidur dulu, gue lagi mau minta pendapat,” katanya sembari mendudukkan dirinya dan bersender ke kepala ranjang. Mau tidak mau Jasmin pun ikut bangun dan duduk sepertinya.
“Apa?” tanya Jasmin yang sudah dilanda rasa kantuk berlebih.
“Menurut lo, akun yang waktu itu Langit, kan? Nah, kayanya emang dia,” kata Aurora dengan raut yang serius dengan tangan memegang bahu Jasmin dengan kuat.
“Ini tangan jangan nyakar juga kali, gue bukan mangsa lo. Kan, gue juga udah bilang,” jawab Jasmin sembari merebahkan dirinya kembali dan menarik selimut berwarna moka itu.
“Yah, udah kebawa mimpi,” kata Aurora yang melihat Jasmin telah pulas dalam tidurnya.