Akun Sialan

3326 Words
“Ra, kenapa? Ada apa? Kok kek setan teriaknya.” “Jas, tuh dari beribu komentar, cuma akun itu yang menghujat tanpa henti. Sumpah banyak banget.” Ga waras! Gila! Masuk rumah sakit, gih. Jangan-jangan kena korona. Ga mutu isi kontennya. Ga ada edukasinya. Begitulah, beberapa komentar yang dituliskan oleh akun itu. Kata-katanya sebenarnya tidak salah dan tidak terlalu kasar. Tapi, seperti ada jurus kebencian, kata-kata itu mampu melukai hati Aurora. “Mario .... “ Aurora menatap Mario dengan intens, matanya ia kedipkan beberapa kali. Bahkan, ia memberikan senyuman yang sangat manis. “Apa?” tanya Mario dengan tangan yang ia lipatkan di dadanya. “Cari tahu dong tentang akun pencakar bumi,” bujuk Aurora. Mario mengubah posisinya. Tangan kanannya di masukkan ke dalam saku celana panjang berwarna hitam. Tangan kirinya ia gunakan untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku tidak bisa. Aku bukan kang hacker.” Aurora mengerucutkan bibir ranumnya yang berwarna merah muda. Tangannya dilipat di depan dadanya. Matanya mendadak sayu, bak awan tak mampu menampung air hujan. Kakinya berjalan mundur beberapa langkah. “Sudah-sudah, Ra, itu akun biarkan saja.” Jasmin memeluk Aurora. “Aku pulang, ya, Ra,” ucapnya sembari tersenyum manis, sangat manis. Mario telah pergi. Jujur, Aurora tidak ingin kehilangan sahabatnya lagi. Walaupun, dulu Mario pernah mencoba mengungkapkan perasaannya lalu ditolak oleh Aurora, tapi mereka tetap menjadi sahabat seperti janjinya ketika kecil. “Ra, report saja itu akunnya,” “Jas hujan si penyuka warna putih, Aurora tidak akan melakukan itu!” Aurora menggeleng dengan cepat. Ia menundukkan kepalanya untuk mencari cara supaya bisa mengetahui tentang pemilik akun itu. Tapi, semakin lama ia memikirkannya, semakin pusing dengan cara yang menurutnya paling tepat. Aurora duduk di kursi dengan mengamati Jasmin yang setia dengan ponselnya. Entah aplikasi apa yang sedang ia telusuri. Dasar, anak pencinta ponsel! “Jas, bagaimana kalau .... “ Jasmin menoleh ke arahnya. Mengangkat sebelah alisnya ke atas. Seperti memberikan pertanyaan ‘apa?’ Aurora lari kecil menunu ranjangnya. Membuka tas berwarna merah muda berukuran kecil miliknya untuk mengambil ponselnya. Jasmin berjalan mendekat. Duduk di sebelah Aurora. Tangannya menyenggol lengan Aurora. Ia penasaran dengan aktivitas Aurora yang sedang berselancar di dunia mayanya. “Ra, kalau apa?” “Ini .... “ Aurora memberikan ponselnya. Jasmin bingung dengan ponsel Aurora yang membuka akun pencakar bumi. “Ra, kamu ngapain stalking akunnya?” “NYARI TEMPE JASMIN!” kesalnya. Tentu Aurora mencari tahu tentang akun itu. Ia penasaran kenapa akun itu begitu tidak suka dengan kontennya yang mungkin terkesan gila. Tapi, justru hal itu jauh menarik daripada konten akun itu yang berisi sajak galaunya. “Gila, Jasmin tidak menyangka, Aurora bisa melesat ke akun ini. Mana pemiliknya tampan. Uh, Jasmin inginkan dia ... gak jadi, ding, kata-kata dia kasar pas komen konten pertama kamu.” Aurora mengembuskan nafas jengahnya. Ia yakin, orang itu pasti hanya tinggal di wilayah Jakarta. Bukan orang Korea. Kenapa? Jelas, fotonya saja khas orang Indonesia, hanya saja mata dan hidungnya seperti orang Korea. Ah, mungkin dia operasi plastik (?) “Ra, kok Jasmin kek kenal orang ini ... Kaya pernah ketemu, tapi lupa di mana.” “Seriusan?” “Iya, dua rius malah. Tapi, di mananya lupa.” “Jas, coba diingat-ingat ... Apa dia anak SMA Galaksi?” Jasmin memegang dahinya yang berkerut ke atas. Dia mencoba untuk mengingat-ingat pemilik akun itu. “Ah, iya, aku ingat. Dia itu anak SMA Galaksi. Pencakar Bumi? Ra, di SMA Galaksi yang pakai kata bumi dalam namanya itu ... Langit.” Aurora kaget dengan penuturan Jasmin. Tapi, memang murid galaksi yang ada kata bumi hanya Langit. Ya, Langit Pelindung Bumi. Tapi .... “Heh, Jas, tidak mungkin kalau Langit. Namanya kan Langit Pelindung Bumi. Di akun itu namanya pencakar bumi, Jas, Argh, sudahlah.” Aurora masih menebak-nebak siapa pemilik akun itu. Apa mungkin pemilik akun itu bukan murid SMA Galaksi atau memang anak SMA Galaksi? Aurora berdiri menuju komputernya. Ia mengunduh satu foto dari akun itu. Tapi, sayangnya hanya ada satu foto yang sedikit menampakkan wajahnya. Selebihnya, sama sekali tidak ada gambar wajahnya, pemilik akun itu hanya mengunggah foto yang membelakangi kamera. Setelah di pindahkan ke komputer, Aurora mencetak foto itu di selembar kertas. Lalu memasukkan hasil cetakan ke dalam tas gendongnya. “Ra, gila ... Buat apa itu kertas?” “Keliling SMA Galaksi,” jawabnya santai. Aurora ingin mencari orang itu di seluruh sudut SMA Galaksi. Ia yakin, dengan bantuan fotonya, Aurora bisa menemukan orang itu. “Ra, buat apa di cari? Mending, kamu fokus saja sama konten kamu. Lagian ... Ah, kamu lupa, kan? Sekolah kan daring, Ra. Kamu mau mencarinya ke seluruh penjuru sekolah juga enggak bakal ketemu.” Aurora memukul jidatnya sendiri. Ya, ia lupa dengan sekolah yang dilakukan secara daring karena dampak dari pandemi. Tapi, lusa ... Jadwal sekolah luring kelompoknya. Mungkin, saat itu Aurora bisa menemukan orang itu. Dua hari kemudian, pada saat Aurora sedang makan di kantin bersama Jasmin, tiba-tiba ada seorang pria duduk di depannya. Aurora menatapnya sekilas lalu melanjutkan memakan baksonya. “Hai, kamu Aurora bukan?” “Iya, kau sudah kenal aku. Kenapa masih menanyakan namaku?” “E-eh, jangan marah, dong. Ya, kita kan cuman kenal nama sama kelas doang. Jadi .... “ “Huft, iya kamu Langit dan aku Aurora. Kita bersebelahan kelasnya. Aku rasa sudah cukup. Silakan pergi dari sini.” Langit mengambil bakso milik Aurora. Ia melahap bakso itu beberapa sendok lalu mengembalikan lagi. Aurora merasa kesal dengan sikapnya yang sembarangan mengambil makanannya. Padahal, ia sangat merasa lapar karena tadi pagi tidak sempat sarapan di rumah. Tiba- tiba tersengar suara dari orang bersendawa. Tidak lama kemudian, suara kentut terdengar. Mulutnya membuka mengeluarkan nafas panas sebagai pelepasan. Tidak! Aurora mendadak seperti cacing kepanasan. Dia merasakan pedas yang sangat menyiksa tubuhnya. Perutnya mulas dan tenggorokan panas sampai ubun-ubun kepala. Aurora lari dari kantin ke toilet sekolah. Aurora menelan air keran, berharap rasa pedas itu hilang dari tubuhnya. Aurora mengaca di kaca besar yang ada di dalam toilet, ia melihat wajahnya yang berubah warna menjadi bergradasi antara putih dan merah yang menyala. Ia tidak mengerti dengan fenomena yang hadir dari dalam dirinya. Ia menunduk, ternyata kulit tangan dan kakinya juga sedemikian rupa. Perutnya tampak membuncit dan pinggang melebar. Tapi, anehnya, kaki, tangan, dan wajahnya tidak mengalami pembengkakan. “Gila, Aurora kamu kenapa?” tanyanya pada bayangan dirinya di cermin. “Aurora ... Pikir caranya buat bisa keluar dari sini!” Baju yang dikenakan Aurora sobek karena terjadinya pembengkakan di perut dan pinggangnya. Celananya masih aman, tapi bagian pinggang membuatnya kesusahan bernapas. Sudah empat jam Aurora berada di dalam bilik toilet. Memang, ia sengaja menunggu penghuni sekolahnya sepi. Ketika ia mau keluar dari toilet, Aurora melihat dua orang yang berjalan di sekitar toilet. Dengan terburu-buru Aurora menutup kembali pintu toilet. “San, aku kebelet, aku ke toilet dulu, ya?” “Jangan lama-lama,” jawab seseorang yang disebut ‘San.’ Siswi yang lainnya berdiri di depan pintu toilet yang aku gunakan. Dia tampak berusaha untuk membuka pintu, tapi tidak bisa karena aku menguncinya. “Biasanya enggak dikunci, kok ini dikunci, sih,” gerutunya. “Maaf, apa ada orang di dalam? Bisa keluar enggak, ya, aku keburu kebelet, nih.” Orang itu mengetuk pintu selama tiga kali. Aurora sedari tadi hanya diam, tapi ia tidak sengaja menjatuhkan gayung berwarna biru itu. “Hallo, bisa dengar suaraku, kan?” “Ah iya, maaf aku belum selesai. Kamu pakai toilet yang lain saja.” Aurora mendengar langkah kaki yang semakin menjauh. Ia mengembuskan napas dengan lega. Tapi, ia bingung untuk keluar dari toilet. Ia tidak mungkin keluar dalam kondisi yang sudah berantakan. Ia menarik napas dalam lalu mencari ponselnya. “Jas, posisimu di mana?” “Iya, Ra, ada apa?” “Ke toilet sekarang, sekaligus bawakan pakaian ganti.” “Ra, aku pikir kamu sudah terbang ke Korea menemui Jimin.” “Jas hujan, bukan waktunya buat bercanda. Cepat, ke sini.” Hanya butuh waktu 30 menit, Jasmin sudah hadir di depan Aurora. Ia bergegas untuk mengganti pakaiannya. Dia pun membuang pakaiannya di tempat sampah yang ada di depan toilet sekolah. Dia pulang ke rumahnya bersama Jasmin. “Ra, kenapa bisa seragammu robek kek daun kering?” “Panjang ceritanya. Aku malas ceritanya, nanti bisa-bisa jadi rumus persegi panjang.” Jasmin menginap di rumah Aurora karena harus menemaninya untuk siaran langsung di akun i********: miliknya. Aurora menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penggemarnya. “Hallo, apa kabar semuanya? Aurora kembali untuk kalian. Oke, kali ini kita bakalan berbagi tentang obrolan yang cukup menarik. Aku mau mengajak kalian untuk membahas seputar kuliner. Kali ini, Aurora mau membahas makanan khas berasal dari Palembang. Duh, siapa yang berasal dari Palembang? Yuk tulis di kolom komentar, ya .... “ Adindadn_ Hai, Kak. Aku dari Palembang, Kak. Sintatrw1 Aku bukan orang Palembang, Kak. Tapi, aku suka empek-empek. “Baik, langsung saja, yuk, jadi sebelum ada siaran langsung ini, aku sudah membuka boks pertanyaan di akun aku. Nah, banyak banget yang mengirimkan pertanyaan-pertanyaan. Jadi, aku pilih beberapa saja, ya.” Aurora mengambil buku tulis yang sudah berisikan materi. “Empek-empek merupakan makanan khas dari Palembang, Sumatra Selatan. Makanan ini di buat dengan daging giling dicampur dengan tepung kanji atau tepung sagu bersamaan dengan bahan pendukung lainnya. Nah, untuk menikmatinya bisa di makan dengan kuah cuka yang rasanya masam, manis, dan pedas. Benar, bukan? Ayo banjiri komentar kalian, anak-anak Palembang!” Aurora membaca komentar dari followers-nya yang mengikuti acara siaran langsungnya. “Wah, ternyata banyak juga, ya, yang berasal dari Palembang. Aurora jadi ingin ke sana, deh.” “Oke, Aurora ingin konten yang aku bawakan itu tidak hanya bersenang-senang saja, tapi juga memberikan edukasi kepada kalian. Jadi, aku mau memberikan sedikit sejarah tentang si makanan satu ini, ya.” Aurora membenarkan roknya yang bergeser sedikit ke atas. “Oh, iya, kalian juga boleh loh berkomentar memberi saran untuk konten aku yang selanjutnya.” Jasmin berdiri lalu keluar dari kamar Aurora. Ia ingin mengambil seporsi empek-empek yang tadi di belinya melalui aplikasi online. Tidak lama kemudian, ia telah kembali ke kamar Aurora. “Hai, guys, nih, aku sudah ada satu porsi empek-empek spesial,” ujarnya, “Tapi, sebelum aku melakukan aktivitas yang—mungkin—sudah biasa aku lakukan. Aku mau menjelaskan dulu tentang sejarah empek-empek.” Aurora membenarkan posisi ponselnya dan lampu senter yang digunakan sebagai penerangan kamera ponselnya. Ia juga mengambil sebuah bolpoin untuk menggaris bawahi kalimat yang akan ia ucapkan di acara siaran langsungnya. “Empek-empek ada di Indonesia, khususnya Palembang pertama kali sekitar abad ke-16. Menurut tradisi yang berlaku, empek-empek berasal dari kata pek-pek yang digunakan untuk sebutan paman atau pria tua Tionghoa. Nah, dulu, ada seorang kakek dari Tionghoa yang mampu menciptakan inovasi yang menarik dalam pengolahan ikan. Ikan yang ia hasilkan dari memancing, ia giling lalu dicampur dengan tepung tapioka. Kemudian, ia menjualnya keliling kota. Wah, ternyata dari sini kita bisa belajar, ya, hanya dari empek-empek, kita belajar bahwa siapa pun bisa berinovasi sesuai kreativitas masing-masing.” Aurora tersenyum menghadap ke kamera. “Aku sambil makan, ini, sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian yang sudah aku kumpulkan dan beberapa yang ada di kolom komentar .... “ “ Dari akun Satputr, Kak, bikin konten makan empek-empek, tapi kuahnya ditambah cabai yang banyak, dong.” Aurora membacakan pertanyaan yang pertama. “Nih, aku sudah makan .... “ Memperlihatkan mangkoknya ke kamera. “Jadi, ini kuah aku tambah 2 kilo gram cabai rawit yang sudah aku tumbuk.” Aurora membaca pertanyaan yang ke dua dari akun bernama Riskia Anjani. “Kak, kok perutnya bisa bertahan sih dengan pedas itu?” Aurora mendadak tersedak membacanya. “Eh, iya, aku bisa menahannya. Bahkan, perutku tidak mulas atau kenapa-kenapa.” Aurora melihat ada komentar yang masuk ke ponselnya. Ia melihatnya dan mencari pertanyaan yang menurutnya unik dan menarik untuk dijawab. “Ada pertanyaan dari Sawitri21, nih, terima kasih, ya, sudah bertanya. Kak Aurora, apakah tidak ada efek dari aksi makan dalam porsi besar serta banyak cabai?” Aurora menarik napasnya. “Selama ini sih, sama kaya yang tadi. Tidak ada efek yang serius, sih. Cuma kalau aku melihat orang yang sedang menguap karena kepedasan .... “ Jasmin mendekat ke arahnya seakan ingin mendengar lebih jelas lagi. Aurora tersadar bahwa dirinya hampir kelepasan dengan omongannya. “Aku merasa kasihan dengannya.” Aurora buru-buru menyambung kalimatnya dengan berbohong. “Lalu, aku berpikir bagaimana rasanya kepedasan? Hanya itu yang ingin aku sampaikan.” Aurora tersenyum di depan kamera. Aurora mengubah posisi duduknya memiring dari sorot kamera ponselnya. Ia membenarkan roknya yang lagi-lagi tergeser tanpa sengaja. “Ternyata sudah hampir satu jam, ya, kita berbincang bersama. Sampai di sini dulu, semoga bermanfaat obrolan kita tadi. Jangan lupa tunggu aku mengunggah jadwal siaran langsung dan lainnya, ya. Sampai jumpa!” Aurora mematikan siaran langsung tersebut. Aurora hendak beranjak dari meja belajarnya. Tapi, tangan Jasmin mencegahnya. Ia merasa ada sesuatu yang janggal dari diri Aurora. Ia ingin menanyakan apa itu sebenarnya. Apalagi, perkataan Aurora tadi mengundang rasa penasaran. “Ra, jawab dengan jujur. Sebenarnya, ada apa kalau kamu melihat orang menguap kepedasan?” Jasmin tanpa sengaja menguap karena memang merasa kepedasan setelah makan kripik yang ada cabai bubuknya level 20. Tapi, anehnya badan Aurora tidak bereaksi sama sekali. Bercak-bercak warna merah menyala itu tidak muncul dari kulitnya. Perut dan pinggang yang melebar pun tidak ada. “Jasmin, kamu barusan menguap, kan? Kamu lihat, aku tidak kenapa-kenapa.” Jasmin percaya dengan perkataanku, dia mengangguk, tapi seperti masih ada yang dipikirkan. Aurora mencoba untuk meyakinkan Jasmin. Aurora akhirnya bisa membuat Jasmin percaya dengan perkataannya kalau Aurora tidak kenapa-kenapa. “Syukur deh, kalau kamu tidak ada apa-apa. Aku hanya ... Sedikit khawatir.” Jasmin memeluk Aurora dengan erat. “Aduh, Jas engap, nih, lepasin,” Aurora tersenyum ketika Jasmin melepaskan pelukannya. “Tidur, yuk.” Aurora menggandeng tangan Jasmin. “Sudah malam, jangan banyak mikir.” Mentari telah memancarkan cahayanya ke sorot mata besar milik Jasmin dan Aurora. Kedua gadis itu masih menggeliat di atas ranjangnya. Sesekali menguap karena masih merasa kantuk. Aurora membangunkan tubuhnya, menyenderkan pada kepala ranjangnya. Sesekali mengusap wajahnya. Ia pikir kalau rasa kantuk sudah hilang, Aurora membangunkan Jasmin. “Jas, bangun. Keburu hujan. Kamu kan jas hujan tapi tidak tahan dengan hujan.” Aurora menggoyangkan tubuhnya yang masih menggeliat. “Jasmin, bangun, ih, kita harus mandi terus sekolah daring lagi. Kamu mau dimarahi si guru yang galaknya kek cewek PMS?” Akhirnya usahanya tidak sia-sia. Jasmin terbangun dari tidurnya. Ia memutuskan untuk mandi di kamar mamanya. Sedangkan, Jasmin memakai kamar mandi pribadi Aurora. “Ra, kelompok kita digabung sama kelas sebelah.” Aurora memutar bola matanya lelah. “Serius, coba saja kamu buka ponselmu.” Aurora membuka ponselnya, ternyata memang benar ada hari ini kelas IPS 1 dan IPS 2 digabung untuk pelajaran bahasa Indonesia bersama Bapak Danu. Beliau guru yang tampan dan masih muda, tapi sayang Beliau galak dan tegas. Hal itu yang membuat muridnya tidak berani membolos pelajarannya. “Selamat pagi, mohon maaf, saya izin untuk tidak mengadakan daring melalui zoom. Tapi, saya memberikan tugas yaitu membuat sebuah premis untuk membuat cerpen. Terima kasih, selamat mengerjakan.” Aurora kesal akan sikap gurunya yang seenaknya membatalkan pelajaran dengan zoom. Aurora melepas kembali seragamnya. Ya, selama daring ia harus memakai seragam sekolahnya. Karena memang itu peraturannya. “Jas, mau mengerjakan apa lagi?” Aurora memutar malas manik matanya. “Ya, sudah kita bikin premis saja, yuk.” Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk Aurora membuat premis. Walaupun, dirinya tidak mengerti dengan makna dari tulisannya. Toh, yang terpenting mengerjakan lalu mendapatkan nilai. Tiba-tiba ada nomor tidak dikenal mengirimkan pesan kepada Aurora. “Ra, premis apaan? Enggak pernah mendengar kata premis, soalnya.” “Maaf dengan siapa?” Aurora membalas pesannya. “Sebelumnya apa pernah bertemu atau berkontak denganku?” “Aku Langit. Tahu kan, Langit Pelindung Bumi, aku kelas IPS 1,” balasnya. “Oh iya. Premis itu ya kamu membuat kaya ide cerita yang bakal kamu tulis.” “Boleh lihat punya kamu, Ra?” Aurora menggeleng. “Maaf, tidak bisa. Kalau kamu mau tahu lebih jelas, lebih baik kamu mencari di google atau tanya sama Pak Danu. Terima kasih.” “Sombong banget sih.” Aurora membuang asal ponselnya ke kasur. Jasmin mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Aurora. Tidak mau ambil pusing, Jasmin mengambil buah pir di kulkas yang ada di dapur rumah Aurora. Ia mengupasnya lalu kembali ke kamar Aurora. Aurora membuka akun sosial medianya. Lagi-lagi dia menemukan akun yang menyebalkan itu berkomentar di foto terbarunya. Di sana, akun itu menuliskan beberapa kata seperti: sombong, jijik banget sama orangnya, dan masih banyak lagi. “Sombong .... “ Apa pemilik akun itu ... Langit? Tapi, akun itu bernama berlawanan dengan nama lengkapnya. Ah, sudahlah Aurora memilih membuat sarapan. Sudah tiga hari orang tuanya pergi ke Prancis. Hal itu, membuat Aurora harus mandiri selama di rumah sendiri. Aurora meninggalkan Jasmin yang sedang memainkan ponselnya sembari menikmati potongan buah pir miliknya. “Ra, kamu mau membuat apa?” Jasmin menaruh piring di meja. “Kamu mau buat sarapan?” “Iya, Jas. Kalau orang di dapur masa mau menembak.” Jasmin mencuci piring kotornya, sedangkan Aurora membalik ayam yang sedang digoreng. “Wah, kamu punya abang tampan?” tanya Jasmin semangat, “Ra, buru-buru menembaknya ntar keburu diambil orang.” Jasmin mengelap tangannya yang basah dengan tisu. “Jas, abang tampan? Siapa?” “Loh, tadi katanya menembak,” balasnya. “Kamu pikir menembak dalam artian menyatakan cinta?” Aurora mengangkat ayam gorengnya. “Iya, Ra, kamu itu terlalu lama jomblonya.” “Memangnya kamu punya kekasih? Enggak, kan? Jas, maksudku menembakkan panah ke papan atau menembak burung, bukan menyatakan cinta.” “Astaga, Jasmin kira ....” “Kamu mah sudah jadi bu-cin semenjak kenal si Langit. Kamu kan tergila-gila sama si kang sombong itu.” Aurora duduk untuk menyantap nasinya. Ia sarapan dengan ayam goreng dan sambal cabai rawit goreng sebanyak dua puluh biji. Bukan takut sakit perut, melainkan tidak ingin membuat mamanya marah-marah ketika sudah kembali ke rumah. Ah, iya, kan bisa beli lagi nanti. Iya, memang, tapi kalau mereka pulangnya dadakan? Aurora tidak akan bisa pergi dalam satu menit ke pasar yang jaraknya dua kilo meter, kan? “Ra, semalam kan, kamu sudah makan batagor banyak banget, kok sekarang makan lagi? Perutmu benar-benar perut karet, ya?” “Jas, bukankah kita harus sarapan sebelum melakukan aktivitas supaya sehat?” “Ya, memang, tapi perutmu itu ... Kamu tidak takut kalau perutmu mengembang berkali-kali lipat atau meledak secara dadakan?” Aurora tersedak ketika mendengar kata-kata ‘Mengembang’ membuatnya teringat dengan kejadian anehnya kalau melihat Langit menguap karena kepedasan, secara otomatis ... Ah, lupakan saja. Aurora membuka ponselnya. Lagi-lagi ia dikagetkan dengan pemberitaan dari sekolah yang membuatnya merasa bahagia. “Anak-anak, dikarenakan kasus positif di Indonesia sudah menyebar luas secara cepat, kami pihak sekolah sepakat untuk tidak mengadakan tatap muka. Pembelajaran dilakukan secara daring dari rumah masing-masing. Jaga kesehatan, tetap mematuhi protokol kesehatan, dan selalu waspada. Sekian informasi ini di sampaikan. Tertanda tangan, Kepala sekolah.” Begitulah isi pesan dari guru BK. Sebenarnya, Aurora merasa sedih karena kasus yang ada sudah semakin meningkat dan belajar secara daring tidak hanya membuatnya merasa bosan, tapi juga merasa semakin bodoh. Coba, kalian bayangkan, ketika belajar di sekolah secara tatap muka dan dijelaskan secara rinci oleh guru, kalian saja ada yang tidak paham, bukan? Lalu sekarang dilaksanakan secara daring yang membuat kepala semakin pusing karena tidak bisa memahami materi dengan detail. Tapi, dibalik itu semuanya, ada rasa bahagia karena bisa bebas untuk beraktivitas yang sebelumnya dilarang oleh pihak sekolah. “Ra, dengan ini apa aku bakal semakin bodoh?” Jasmin menunduk setelah membaca informasi yang beredar. “Percayalah, kamu itu pandai hanya saja kamu tidak ingin bersungguh-sungguh. Jika, kamu mau belajar dengan serius, aku yakin kamu pasti bisa menghadapi situasi ini. Ya, kita belajar bareng-bareng.” Aurora tersenyum, walaupun dirinya juga tidak tahu akan bisa menghadapi cara pembelajaran yang baru atau tidak. “Ra, kalau aku kesusahan, aku mohon dibantu, ya. Hitung-hitung sebagai gantinya aku menemanimu siaran langsung atau membuat video untuk konten kamu itu.” Jasmin menggaruk pipinya yang memang gatal karena baru saja digigit nyamuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD