Proses Produksi

1218 Words
Langit pergi ke sebuah toko pakaian yang terletak di depan perusahaan milik ayahnya. Ia pergi dalam waktu kurang lebih setengah jam. Dengan tergesa-gesa Langit menaiki lift menuju lantai ke tujuh. Kakinya berlari menuju toilet untuk memberikan sekantong plastik untuk Aurora yang masih berada di dalam sana. Akan tetapi, dirinya ragu. Akhirnya Langit bertemu salah satu karyawati yang sedang berdiri di depan toilet. “Kak, tolong kasih ke perempuan yang berada di dalam.” Langit menyulurkan kantong plastik berwarna hitam kepada Langit. Tidak lama kemudian, Aurora telah keluar dari toilet. “Ra, kenapa sih?” tanyanya dengan nada yang tidak biasa. “Tidak ada. Gue mau balik, terima kasih untuk pakaiannya.” Aurora melangkah menjauh sembari menunduk. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal pergerakannya. Ternyata, ada tangan yang mencekal pergelangan tangan Aurora dari belakang. Langit dengan tatapan tak bersalahnya, menggenggam lengan Aurora lalu mengajaknya turun ke lantai paling dasar. Langit mengajak Aurora pergi ke sebuah tempat indah. Sebuah tempat yang dikelilingi dengan pepohonan yang hijau dan rindang. Begitu menyejukkan dan memberikan rasa nyaman. “Ra, duduk dulu.” Langit pergi bersama dengan mobilnya. Entah, dia pergi ke mana lagi. Aurora yang merasa berada di tempat asing dan seorang diri pun mulai ketakutan. Dia duduk di bawah pohon besar seorang diri. Kakinya ditekuk untuk memberikan rasa aman bagi dirinya. Hatinya gundah dilanda kecemasan. Tapi, bukan Aurora, jika tidak menanganinya. Aurora berdiri lalu berjalan ke arah bangku dari kayu yang berada di ujung kanan. Selama kurang lebih lima belas menit, Aurora menunggu Langit di tempat asing. Akhirnya, Langit telah kembali dengan berbagai atribut yang bertengger di pundaknya. Beberapa saat kemudian, Langit duduk di sebelah Aurora di bangku panjang itu. “Maaf, ya. Gue mau minta tolong,” katanya sembari membuka tas gendong berwarna hitam. “Tolong ajari gue tentang ekonomi,” sambungnya. Aurora melenguh panjang. Bukan tidak mau, akan tetapi dia merasa bukan ahli dalam ekonomi. Aurora pun memosisikan dirinya sebaik mungkin agar bisa memahami materi. Berbagai posisi tempat duduk telah dicoba oleh Aurora, tapi ia tidak juga menemukan titik ternyaman untuk membaca materi. “Heh, gila! Ini masuk ke akuntansi?” “Iya, Ra. Bodoh, sih, gue. Sudah jelas-jelas tidak menyukai dunia perhitungan. Eh, malah masuk ke IPS.” Langit memukul kepalanya dengan alat tulis bertinta hitam itu. Bukan memukul dengan sungguhan, dia hanya sedang membuat sebuah tak tik pembodohan dirinya sendiri, agar Aurora mau mengajarinya. “Bukan salah otak lu. Gak perlu lu ketok segala. Itu tidak akan membuat otak lu ... jadi cerdas. Lebih baik, lu konsumsi itu makanan bergizi dan bervitamin. Jangan hanya makan makanan enak, tapi tidak berpengaruh dalam tumbuh kembang. Nah, sekarang lu baca dulu materinya,” kata Aurora sembari membuka sebuah materi yang terdapat di buku itu. “He he, Ra, kenapa dibutuhkan perhitungan?” tanya Langit yang memang sedang berusaha memahami dengan konsep perhitungan harga pokok produksi. “Perlu, biar enggak sesat. Nih, amal ibadah lu aja ntar dihitung. Tujuannya apa? Ya, biar lu enggak tersesat pas masuk neraka.” Aurora mengambil kertas berwarna putih untuk menjelaskan kembali proses perhitungan biaya-biaya yang bersangkutan dalam proses produksi produk. “Jahat banget, maksudnya bagaimana?” jawab Langit. “Astaga, biar tidak tersesat alias salah jalur pas mengambil keputusan. Belajar akuntansi itu luas dan diperlukan untuk belajar dasar-dasarnya dulu. Jangan-jangan lu belum pernah mempelajari dasar akuntansi, kan?” Aurora menuliskan sebuah soal yang didapatnya dari internet. Sebuah soal yang sesuai dengan pembahasan materi yang diminta oleh Langit. Soal tentang perhitungan harga pokok produksi. Di mana sebelum menghitung harga jual produk, kita harus mengetahui perhitungan harga pokok terlebih dahulu. Harga pokok produksi adalah biaya total yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam satu periode untuk menghasilkan suatu produk. Perhitungan biaya ini perlu dilakukan secara benar, sebab harga ini akan berpengaruh dalam pencatatan keuangan. “Ra, jadi biaya langsung dan tidak langsung ikut dihitung semua?” tanyanya. “Tolong dibaca lagi materinya, selain itu dipahami juga teorinya. Setelah itu, kamu amati dengan baik-baik contoh soalnya. Lu kurang ajar, sih. Ajak gue ke tempat kaya gini cuma buat minta diajari tentang akuntansi doang.” Aurora meletakkan kertas dan pensil ke bangku. Seakan-akan kesabaran Aurora habis akibat Langit yang tidak mengerti dengan penjelasannya. Tapi, dia sudah terlanjur berada di tempat itu. Aurora terpaksa harus mengajarkan materi tentang proses produksi kepada Langit. “Ra, gue pahamnya proses produksi manusia,” katanya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Aurora melotot lalu beranjak untuk pergi dari tempat itu. Hari sudah siang dan menjelang sore, Aurora harus segera kembali ke rumah. Langit pun berniat untuk mengantar Aurora pulang ke rumah. Di perjalanan, Langit dan Aurora ditemani keheningan. “Aurora ... Aurora kenapa sih lu suka butuh pakaian ganti tiap kali ke toilet?” tanya Langit yang membuat Aurora tersedak air liurnya sendiri. Aurora tidak membalas pertanyaan Langit. Ia malah memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Aurora mengamati pemandangan sepanjang jalan untuk membuang pikirannya terkait pertanyaan yang terlontar dari mulut Langit. Akan tetapi, Langit terus menerus menerornya dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Ra, apa lu itu alien? Manusia dari planet lain kah?” “Kurang ajar!” teriak Aurora sembari memukul lengan kanan Langit. Aurora turun dari mobilnya. Ia masuk ke rumahnya setengah berlari. Napasnya terengah-engah karena rasa khawatir rahasianya terbongkar. Bukan maksud untuk menutupi, tapi Aurora tidak ingin dipandang aneh oleh orang lain. Walaupun, memang aneh dengan dirinya. Aurora duduk di ruang tengah dengan napas yang masih memburu. Di sana ada Jasmin yang sedang menonton drama bergenre romantis. Sebuah drama yang dimainkan oleh aktor favoritnya. “Ra, lu minggat ke mana?” tanyanya tanpa mengalihkan matanya dari laptop. “Bodo lah, Jas. Gue mau mandi dulu, tubuh sudah banyak bakteri yang menempel,” katanya. Aurora melangkah untuk masuk ke kamarnya. Ia membersihkan badan selama kurang lebih lima belas menit. Tidak lama kemudian, Aurora telah berada di dapur untuk membuat mi kuah panas untuk menemaninya menyusun konten barunya. “Jas, tadi pas sama Langit, tiba-tiba badan gue berubah,” kata Aurora sembari memberikan semangkuk mi untuk Jasmin. “Serius?” tanya Jasmin masih menonton drama tersebut. “Iya, lu ... malah asyik nonton drama. Gue mau bikin ilustrasi buat konten baru. Itu mi dimakan, Jas, biar enggak oleng.” Aurora berjalan ke arah meja makan. Di sana, dia menuliskan beberapa materi tentang makanan yang akan digunakan dalam konten terbarunya. Akan tetapi, dia terganggu akibat Nilam yang meminta bantuan kepadanya. “Aurora, tolong Mama ... belikan obat flu ke apotek, ya,” katanya sembari memakai masker kain berwarna biru muda. “Ma, Mama masih bisa mencium bau dan merasakan makanan, kan?” tanya Aurora. “Iya, masih. Mama flu biasa, Mama hanya kelelahan saja,” katanya. Aurora pergi mengambil masker di dalam kamarnya. Dia pergi dengan berjalan kaki sampai depan gang depan. Tepatnya, di seberang jalan di kompleks depan untuk membeli obat di apotek. Ia membeli satu paket obat flu untuk Nilam yang sedang meriang di dalam rumah. “Mama jangan ke mana-mana. Selalu di rumah dan pakai masker,” kata Aurora sembari memberikan satu plastik obat yang telah dibelinya. “Oh iya Ma, kalau dalam satu minggu ke depan masih meriang, Mama cek ke rumah sakit, ya.” “Iya, Ra. Mama itu kelelahan saja,” jawab Nilam. “Tapi, kan, Aurora khawatir. Apalagi, Aurora ini sering keluar kota untuk membuat konten. Aurora, kan, banyak bertemu orang asing, Ma. Jadi, Aurora khawatir kalau Mama kena .... “ Plak!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD