Mendengar jawaban itu, Finn menghentikan siksaannya kepada Terios dan beralih kepada Mavra. “Baiklah, katakan apa yang kau dapat dari anakmu, Mavra,” ucap Finn, sambil mendekatikan besi panas ke depan wajahnya.
“Saya mendapatkan palu kecil dari anak saya,” jawab Mavra.
“Palu kecil? Menarik. Lalu di mana kau simpan palu itu?” tanya Finn lagi.
“Di bawah tembikar,” jawab Mavra.
“Grisham, cepat kau cari palu itu di kamar Mavra. Marco, ke sini kau!” perintah Finn kepada 2 anak buahnya.
Grisham langsung bergegas keluar dari ruangannya dan menuju ke ruang tahanan Mavra dan Terios. Sementara Marco menghampiri Finn.
“Kau pegang ini. Arahkan ke mata kanannya,” perintah Finn yang mengagetkan Marco dan Mavra.
“Tapi Tuan, Mavra sudah memberitahu semuanya,” jawab Marco yang menolak untuk melakukan perintah Finn.
“Tuan Finn, Saya sudah mengatakan isi buku itu. Saya mohon hentikan.” Mavra meminta kepada Finn untuk menghentikan siksaannya kepada Terios.
“Diam!” teriak Finn kepada Marco dan Mavra.
“Lakukan sekarang atau kau akan bernasib sama!” ancam Finn kepada Marco.
Akhirnya mau tidak mau membuat Marco melakukan perintah pimpinannya. Marco mendekatkan alat tersebut ke mata kanan Terios. Tangannya bergetar cukup hebat. Nuraninya membuat tangannya tidak bisa menancapkan alat tersebut ke mata Terios yang sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
“Marco, kau harus bisa melakukannya. Seperti ini.” Finn meletakkan tangannya ke tangan Marco dan menggerakkan tangan anak buahnya ini untuk menancapkan alat tersebut ke mata kanan Terios.
Kembali teriakan menyakitkan itu terdengar memekakkan telinga semua yang ada di ruangan Finn. Mavra tidak tahan melihat penderitaan rekan sekamarnya tersebut. Sangat disayangkan dia tidak melakukan apapun untuk menyelamatkan Terios.
Rasa-rasanya Finn punya dendam pribadi pada Terios, tetapi mengkambing-hitamkan dirinya karena sudah mendapatkan buku itu.
Siksaan-siksaan kembali dilakukan Finn kepada Terios. Setelah membuat kedua mata Terios buta dan terbakar, Finn membuat Terios tidak bisa melihat selamanya. Nyawa Terios akhirnya berakhir di tangan Finn setelah dia memukul leher Terios.
Mavra pilu. Nyawa Terios yang menjadi rekan sekamarnya di penjara dan membantunya selama dia mendekam di Abodie In Hell melayang akibat dirinya.
Finn memerintahkan kepada anak buahnya untuk membawa jasad Terios ke peternakan hewan di belakang penjara Abodie In Hell agar tidak ada jejak akibat penyiksaan tersebut.
Finn kemudian menunjukkan palu kecil yang dia temukan kepada Mavra. dia tidak menyentuh dan menyiksa Mavra sedikitpun. Namun perlakukan psikologis Finn dengan menyiksa serta membunuh Terios membuat Mavra mengalami tekanan mental. Finn menghukum Mavra di kamar isolasi.
Mavra duduk meringkuk di ruangan kecil tanpa cahaya lampu. Hanya dari lubang udara di bagian atas dinding saja, tidak mampu menerangi keseluruhan.
Finn, manusia kejam yang sudah mengambil nyawa Terios. Apa sebenarnya masalah yang terjadi di antara mereka? tanya Mavra dalam hati, penasaran sekali karena menurutnya tidak mungkin hanya karena buku, Finn membunuh Terios.
Masa hukuman Terios tinggal beberapa bulan lagi. Andai pun Finn tidak menghukum dia secara brutal, Terios pasti mati karena hukuman tersebut.
Napas Mavra terputus-putus karena merasa sedih dengan kepergian teman satu ruangannya.
Mavra akan mencari tahu alasan di balik kematian temannya itu. Teringat akan kebaikan pria berkulit putih, berambut putih, senyumannya manis dan suka bercanda. Terios selalu menghibur di kala Mavra merindukan anak serta istrinya.
Air mata Mavra terus mengalir karena telinganya tak henti-hentinya mendengar suara Terios yang selalu mengisi kekosongan waktu selama dalam penjara bak neraka ini.
“AH!” jerit Mavra, melepaskan gemuruh dalam benak karena emosi. Dia menjerit sampai 3 kali saking sedihnya. “TERIOS!” lanjutnya hingga suara itu menggema ke langit.
Meninggalkan kekejaman dalam penjara yang memang sudah terkenal untuk para tahanan yang tidak lagi mendapat ampunan.
Pustin memacu sepedanya ke rumah Scott karena sudah berjanji untuk menemaninya ke Abodie In Hell pagi ini. Dia terlambat bangun pagi akibat latihan keras yang dilakukan untuk memenuhi syarat masuk ke dalam kelompok Konstantin Field di penjara Abodie In Hell.
“Pagi, Scott. Maafkan aku terlambat datang,” ucapnya setelah tiba di rumah Scott.
“Aku kira kau tidak jadi ikut, Pustin,” jawab Scott yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Maaf. Kita berangkat sekarang?” tanya Pustin melihat Scott sudah bersiap-siap.
“Ayo. Kita masih bisa mengejar ferry ke Abodie In Hell,” balas Scott.
“Kita naik bus?” Pustin bertanya lagi ketika melihat Scott tidak membawa sepedanya.
“Iya. Lebih cepat. Kita naik Victorian Bus ke Bispham Port,” tunjuk Scott ke halte pemberhentian bus yang letaknya tidak jauh dari rumah Scott.
Pustin meletakkan sepedanya di rumah Scott dan segera berangkat menuju ke halte. Tidak berapa lama Victorian Bus pun datang. Mereka masuk dan duduk di kursi belakang.
“Gerald tidak diajak melihat kakeknya?” tanya Pustin kepada Scott ketika sudah duduk di dalam bus.
“Tidak. Aku rasa belum saatnya Gerald melihat kakeknya. Mungkin ketika dia bebas, Gerald bisa bermain sepuasnya bersama papa,” jawab Scott optimis papanya akan bebas beberapa minggu lagi.
“Kenapa kau begitu yakin Mavra bisa bebas, Scott?” Pustin mencoba mengorek sedikit informasi mengenai Mavra.
“Bukti-bukti keterlibatan papa atas pembunuhan Felix tidak berdasar. Ini bisa jadi bukti kuat papa tidak melakukan pembunuhan itu,” jawab Scott yakin.
“Tapi bukannya bukti itu justru menguatkan kalau Mavra membunuh Felix?” Pustin mencoba menyanggah informasi dari Scott.
“Kenapa kau bersikeras kalau papaku bersalah?” Scott tampak emosi mendengar perkataan Pustin, “Papaku tidak sengaja melakukannya.”
Pustin hanya mengangguk kecil menyetujui perkataan Scott untuk sementara. dia tidak ingin membuat masalah selama perjalanan. Lebih baik dia memilih diam.
Scott dan Pustin akhirnya sampai di Bispham Port. Dari sini mereka harus menggunakan kapal penyeberangan ke arah penjara Abodie In Hell. Hanya membutuhkan waktu 15 menit saja menuju ke penjara tersebut.
“Abodie In Hell cukup seram. Dari kejauhan saja sosok penjara Abodie In Hell ini benar-benar mengintimidasi,” ujar Pustin membuka suara setelah terdiam selama perjalanan.
“Itulah penjara Abodie In Hell. Tempat yang benar-benar menjadi momok bagi para penjahat kriminal yang sudah tidak bisa mendapatkan jaminan bebas.” Scott merespon ucapan Pustin seraya memandang bangunan Abodie In Hell yang tampak kokoh dan mengintimidasi siapapun yang melihatnya.
Scott dan Pustin sampai di pelabuhan Abodie In Hell. Tampak sudah banyak orang antre guna menjenguk saudara atau suami mereka yang ditahan di penjara ini. Scott dan Pustin harus ikut dalam antrean tersebut.
Mereka masuk ke bagian pemeriksaan. Semua barang bawaan mereka di titipkan untuk diperiksa terlebih dahulu. Kemudian beberapa barang yang memiliki potensi untuk mencelakakan para tahanan dan juga pengunjung di titipkan pada bagian penitipan.
Setelah itu mereka masuk ke ruang tunggu untuk dipanggil oleh petugas. Scott dan Pustin berada di ruang tunggu. Mereka duduk dan menanti giliran mereka untuk dipanggil. Pustin melihat beberapa informasi dan pengumuman yang di pajang di dinding ruang tunggu. Salah satunya adalah informasi mengenai jadwal eksekusi dari Konstantin Field.
Eksekusi ini diadakan secara terbuka di halaman luar penjara Abodie In Hell. Dan bisa ditonton oleh masyarakat yang ingin melihat eksekusi tersebut. Ada pula eksekusi yang dilakukan di halaman aula istana kerajaan. Biasanya ini dilakukan untuk para tahanan yang melawan kepada keluarga kerajaan. Dan juga bisa disaksikan oleh masyarakat luas.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Scott dipanggil oleh petugas. Dengan segera Scott menghadap ke sebuah loket yang berisi petugas jaga.
“Selamat pagi, Tuan,” sapa Scott ramah yang hanya dijawab wajah garang oleh petugas.
“Mau bertemu siapa?” tanya petugas itu dengan ketus.
“Saya ingin bertemu dengan Mavra Scott,” jawab Scott. Lalu petugas itu beranjak dari tempat duduknya dan menghubungi seseorang melalui telepon di dekat pintu. Beberapa saat kemudian petugas itu kembali menemui Scott.
“Mavra Scott tidak bisa dikunjungi. Silahkan kembali lain waktu,” jawab petugas itu ketus.
“Kenapa Tuan? Saya sudah memiliki izin dari pusat untuk menjenguk papa saya.” Scott tampak marah dan emosi kepada petugas tersebut.
“Diam. Silahkan keluar dari sini,” jawab petugas itu kembali.
“Ini pasti ada sesuatu. Papa!” teriak Scott memanggil ayahnya sebanyak tiga kali. Hal ini membuat petugas jaga cukup berang dan marah.