“Hei, diam kau!” teriak petugas jaga. Melihat kondisi ini Pustin langsung berlari ke arah Scott menjaga agar dia tidak dihajar oleh petugas.
“Maafkan teman saya, Tuan. Scott, ayo kita pergi,” ajak Pustin yang tidak digubris oleh Scott. dia terus memanggil sang papa dengan keras.
“Pergi kalian atau kami jebloskan kalian ke dalam penjara,” ancam petugas tersebut.
“Jebloskan saja kami, Tuan!” tantang Scott yang membuat Pustin harus segera menariknya keluar dari ruang tunggu.
Pustin akhirnya dengan susah payah menarik Scott keluar dari ruang tunggu. Dia cukup kaget Scott yang biasanya periang, suka bercanda tiba-tiba kalap. Rasa pedih muncul di hati Pustin melihat Scott menangis sejadi-jadinya karena tidak bisa menengok sang ayah.
“Ini semua gara-gara aku,” teriak Scott menyalahkan dirinya.
“Sudah, Scott. Sekarang kita lebih baik pulang. Tidak ada gunanya kita memaksa untuk masuk. Kita bisa terkena akibatnya nanti. Ingat Gerald di rumah. dia masih membutuhkanmu,” bujuk Pustin.
Akhirnya Pustin berhasil membawa Scott pulang meski sahabatnya itu terus menangis di sepanjang jalan. Dia juga tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Scott sepanjang perjalanan pulang. Scott menyalahkan diri sendiri atas apa yang dia lakukan. Apa yang sudah Scott lakukan hingga membuat Mavra tidak bisa dijenguk.
Pustin ingin menanyakan hal tersebut, namun dia tidak tega terutama melihat kondisi Scott yang sedang sedih. Pustin mengantarkan Scott pulang dan membiarkannya beristirahat. Tidak lama kemudian dia mengambil sepedanya untuk beranjak kembali ke rumah.
Sebelum menuju rumah, Pustin kembali mengunjungi kios koran sebelum dia meluncur pulang. Seperti biasa dia mengecek berita yang ada di koran mengenai Mavra.
“Apa yang kau cari, Pustin?” tanya pria tua yang muncul di kios itu.
“Seperti biasa, Paman,” jawab Pustin yang mencari berita mengenai Mavra. Berita itu membuat mata Pustin sedikit terbelalak. Berita mengenai kemungkinan besar hukuman mati bagi ayah Scott muncul di koran tersebut.
“Apakah kau sudah mendaftar, Pustin?” tanya paman itu lagi sembari merapikan beberapa koran sore.
“Belum, Paman. Aku akan segera mendaftarkan diri hari ini,” jawab Pustin.
“Segeralah. Sebelum mereka menutup pendaftaran karena aku mendapat kabar kalau sudah banyak yang tertarik untuk masuk,” lanjut pria tua penjual koran ini yang membuat Pustin segera bergegas.
“Aku beli koran ini, Paman,” balas Pustin seraya mengeluarkan koin kepada pria tua tersebut.
“Mau kemana kau, Pustin?” tanya pria tua itu.
“Aku mau mendaftar sekarang juga!” teriaknya berlalu.
“Haha, tumben sekali dia beli koran, biasanya juga hanya numpang baca lalu pergi,” sahut si penjual koran tertawa geli. “Semoga kau berhasil, Pustin!” serunya kembali meski sudah tahu kalau pria itu telah jauh dari tempatnya berjualan.
Pustin tiba di rumah setelah dia merampungkan proses pendaftaran. Di surat tersebut, Pustin harus ikut ke dalam proses karantina selama 90 hari. dia menyimpan surat tersebut di dalam tasnya. Dia tidak ingin istrinya mengetahui hal tersebut terlebih dahulu. Pustin ingin mengatakannya nanti malam.
Setibanya di rumah, Pustin menuju ke gudang dan berlatih dengan samsak pasir buatan dirinya tersebut. Salsa melihat suami tercintanya itu terus saja bermain bersama samsak di gudang. dia seolah tidak peduli dengan dirinya yang sedang hamil dan juga ibunya.
“Salsa?” panggil sang mertua kepada Salsa yang tidak jauh darinya.
“Ya, Ma?” jawab Salsa segera menghampiri Juanita yang duduk di ruang keluarga.
“Pustin sudah kembali? Aku dengar bunyi benda jatuh,” tanya Juanita kepada Salsa.
“Sudah, Ma. Baru saja. Dia sedang berada di gudang,” jawab Salsa.
“Apa yang Pustin lakukan di gudang?” tanya Juanita lagi.
“Sedang berlatih dengan samsaknya, Ma,” balas Salsa sembari duduk di samping Juanita. Lirikan Salsa menuju gudang, penasaran juga dengan alasan sebenarnya dari latihan tinju suaminya.
“Apa yang sedang dia lakukan dengan berlatih seperti itu? Apa dia mau bermain tinju? Usianya sudah tidak muda,” lanjut Juanita mendengar Pustin anak tercintanya berlatih dengan keras.
Salsa hanya menghela nafas. Sejujurnya dirinya juga tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh suaminya itu. Setiap hari Pustin terus berlatih dan berlatih di gudang hingga dia tidak memiliki waktu untuk Salsa, Rian dan juga Juanita.
“Apa makan malam sudah siap, Nak?” tanya Juanita lagi sembari tangannya mencari lengan Salsa untuk dia usap.
“Sudah, Ma. Mau makan sekarang?” tanya Salsa kepada mertuanya itu yang dijawab dengan anggukan.
Salsa menyiapkan makanan dan membawanya ke tempat duduk Juanita. Seperti biasa ketika makan malam, Salsa akan menyuapkan makan malam tersebut ke Juanita. Biasanya Pustin yang akan menyuapkan makanan ke sang ibunda. Akan tetapi akhir-akhir ini Pustin sibuk dengan urusan pribadinya di gudang.
Salsa selesai memberikan makan malam kepada Juanita. Dia sekarang ditemani oleh Rian, putra Salsa dan juga Pustin di ruang tamu. Sementara Salsa menuju ke ruang makan dan dapur untuk merapikan makan malam milik Juanita.
Tidak sengaja Salsa melihat tas Pustin yang terbuka, surat dengan logo Abodie In Hell dan Konstantin Field mencuri minat Salsa untuk melihatnya. Akan tetapi Salsa tidak mau membuat suami tercintanya marah. Dia akan bertanya jika Pustin sudah selesai dengan urusannya.
Pustin mengambil tas miliknya dan masuk ke kamar. Salsa yang sedang berada di dapur, melihat Pustin membawa tas dan masuk. Dia segera menyusulnya.
“Sayang, apa ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Salsa kepada Pustin setelah mereka masuk ke dalam kamar.
Pustin terkejut karena istrinya menanyakan hal yang mencurigakan. “Kenapa, Sayang? Tidak ada yang ingin aku bicarakan,” jawab Pustin berkilah. Sebenarnya di dalam hati dia ingin berbicara mengenai masalah Konstantin Field. Namun Pustin belum menemukan kata-kata yang pas.
“Tidak ada yang mau kau bicarakan mengenai Abodie In Hell atau Konstantin Field, Sayang?” tanya Salsa dengan halus sembari dia duduk di ranjang mereka.
Salsa tidak ingin menginterogasi. dia bertanya dengan santai agar sang suami tidak marah. Bagaimanapun juga Pustin adalah suami dan ayah dari anak-anaknya. Selama dia tidak selingkuh, Salsa tidak akan marah dan mengamuk.
Pustin hanya terdiam. Dia mengeluarkan sebuah surat dari tasnya dan berkata, “Bagaimana kau tahu, Salsa?”
Salsa menghela nafas. Dia melihat wajah sang suami. “Aku tidak sengaja melihat surat itu di kursi.”
“Aku baru akan memberitahumu malam ini. Aku memutuskan untuk bergabung dengan Konstantin Field,” jawab Pustin pelan seraya duduk di sebelah sang istri memegang tangannya.
“Baby, itu pekerjaan berat. kau tahu resikonya kan?” lanjut Salsa memegang pipi sebelah kanan Pustin.
“Ya, aku tahu baby. Tapi ini kesempatan buat kita mendapatkan penghasilan yang bagus,” lanjut Pustin menjelaskan alasannya.
“Penghasilan? Apa ini alasan sebenarnya, baby? Tidak ada alasan lain?” tanya Salsa yang sebenarnya mengetahui isi hati sang suami.
Pustin terdiam sesaat. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, “Aku hanya akan pergi karantina selama 90 hari, sayang.” Pustin memegang tangan Salsa.
“90 hari? kau tahu ‘kan kalau aku sedang hamil?” Salsa berusaha menahan Pustin untuk ikut Konstantin Field.