“Apa isi makanan itu? Kenapa perutku terasa terbakar?” gerutunya sendiri sambil memegang perut. Beberapa saat berusaha menahan, tetapi tampaknya organ tubuh tersebut tidak mau diajak kompromi.
Mavra segera berlari menuju pintu untuk ke kamar mandi.
“Kau mau ke mana?!” tanya sipir yang menjaga pintu.
“Izinkan aku ke kamar mandi. Perutku sangat-sakit sekali!” jawab Mavra sambil memegangi perutnya dengan wajah meringis mulas.
Terios melihat Mavra menuju pintu, tidak tahu alasannya karena teman satu selnya itu tidak mengatakan apapun.
“Tahan saja! Waktu makan sekitar 10 menit lagi,” jawab sipir yang tidak memahami gejolak perut yang sudah mau meledak.
“Oh, tolonglah! Aku tidak bisa menahannya lagi. Apa kalian mau aku mengeluarkan semuanya di sini?” ancam Mavra serius. Ujung tempat pengeluarannya sudah mulai terasa pedas.
Dia harus bersusah payah meminta izin kepada sipir agar bisa memuntahkan lahar di dalam tubuhnya ini. Mungkin bisa dari mulut atau pun bagian bawah tubuhnya. Setelah berdebat agak lama, Mavra akhirnya diizinkan untuk ke kamar mandi.
Mavra langsung memuntahkan lahar yang ada di dalam perut begitu tiba di dalam kamar mandi yang baunya-ampun sekali! Lebih nikmat mencium aroma tempat benda yang tidak dipakai lagi.
Penjara yang dia masuki benar-benar tempat yang membuat semua penjahat akan jera dengan kesalahannya. Sumpah, kalau dia bisa keluar maka batinnya berjanji tidak akan pernah melakukan kesalahan sekecil apapun demi bebas dari sini dan tidak pernah mau kembali lagi.
Mavra masih ingat rasa makanan yang baru dikunyahnya. Dirinya merasa tidak pernah merasakan makanan se-busuk itu. Entah apa isi menu yang dibuat oleh chef kantin penjara Abodie In Hell. Hampir tak bersisa, semua keluar ke WC dan membuatnya lega.
Mavra membersihkan diri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mencari paket untuk dirinya dari seseorang yang mengaku putranya. Mereka bahkan belum pernah bertemu secara langsung karena larangan dari tempat ini.
“Di mana paketnya?” tanyanya sendiri, sambil mencari ke semua tempat. Demi mencari bungkusan itu, Mavra mengunci pintu dengan tali agar tidak ada masuk.
Akhirnya Mavra menemukan paket yang dikirimkan oleh Alexei. Tanpa menunggu waktu lama, Mavra segera membuka paket tersebut sebelum sipir mengetahui bahwa dirinya bersama benda dari luar penjara itu.
Mavra mengambil paket tersebut di dalam salah satu pembuangan kotoran di kamar mandi penjara. Mau tidak mau dia harus mengambilnya walau dia merasa tak sampai hati, karena kamar mandi ini memiliki tempat untuk membuang kotoran tanpa disekat. Jadi seperti tempat nongkrong hanya dalam bentuk pembuangan hajat.
Ia segera membuka bungkus kertas dari paket tersebut. Dilihatnya sebuah buku The Trail of Serpent. “Buku? Untuk apa Alexei mengirimku buku?” tanyanya bingung.
Menyingkirkan pikiran rumitnya, Mavra membukanya saja.
Tiba-tiba sipir yang merasa curiga pada durasi membuang kotoran di kamar mandi itu pun berteriak padanya dan memaksa Mavra membuka pintu kamar mandi yang terkunci.
Mavra membuka tali yang dia gunakan untuk mengikat pintu tadi kemudian membuangnya ke tempat yang tidak terlihat. Dia pun berpura-pura kesulitan membuka pintu.
“Hei, Mavra. Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa lama sekali kau ke kamar mandi?!” teriak sipir bersama rekannya yang mencurigai Mavra terlalu lama permisi.
“Maaf, tuan. Perut saya bermasalah,” jawab Mavra mencoba mencari alasan. “Dan, pintu ini juga sepertinya kurang bagus. Macet saat kita membukanya,” lanjut pria yang sudah menyembunyikan buku pemberian Alexei atau dikenal dengan nama Scott, pria yang berteman dengan Pustin
“Jangan cari alasan! Kau pasti melakukan sesuatu, benar ‘kan?!” balas sipir yang langsung melepaskan pukulan ke arah Mavra tepat ke arah perutnya.
Mavra jatuh tersungkur menahan sakitnya tendangan tersebut. Buku yang diberikan Scott itu pun terjatuh dan dilihat oleh para sipir.
“Apa ini? Sebuah buku? Kau berani membawa buku ke kamar mandi?” teriak sipir pertama yang menendang Mavra. Bukunya pun langsung diambil.
“Maaf, Tuan. Saya tidak tahu ada peraturan kalau tidak bo-”
“Diam kau!” balas sang sipir dengan melayangkan sebuah tendangan ke arah perut Mavra lagi. Dua tendangan telak masuk ke rongga tubuh yang berusaha ditutupinya. Membuat Mavra kesakitan dan muntah darah karena sepatu yang terbuat dari besi itu mengenai wajahnya juga saat meringkuk di lantai.
“Kamu berani menjawab yang kubilang?” pekik sang sipir yang kali ini menginjak kepala Mavra dengan keras.
Mavra hanya bisa menggertakkan giginya. Dia merasa kesakitan yang luar biasa serta emosinya memuncak. Seumur-umur dia tidak pernah dihina seperti ini. Apalagi sipir yang mengoloknya tampak lebih muda.
“Hei, sudah! Tidak ada larangan membaca buku di kamar mandi,” cegah rekan sipir lain yang tampaknya lebih muda dibanding sipir pertama. Dia lebih berperikemanusiaan.
Mavra hanya melihat sekilas. Sipir yang kedua itu memiliki rambut pirang dan badan yang lebih tegap dibanding sipir pertama.
“Hei, maafkan kekasaran Tuan Arnigo. Dia sedang sensitif hari ini,” ujar sipir pirang, Finn, setelah memisahkan mereka.
“Hei, jangan asal menuduh, Finn,” jawab Arnigo, tidak terima dengan ucapan rekannya itu. Finn membalasnya dengan senyum kecil.
“Kau membaca buku apa, Mavra?” tanya Finn dengan bahasa halus dan sopan pada tahanan yang baru saja dihajar teman satu profesinya.
Mavra hanya terdiam dan melirik buku yang tergeletak di depannya itu. Finn melihat ke arah di mana mata Mavra tertuju. Lalu dia mengambil buku tersebut. Dilihatnya sekilas dan dibuka halaman pertama kemudian terakhir. Mavra sangat berharap Finn tidak membuka halaman tengah dari buku tersebut.
Beruntungnya Mavra karena Finn hanya membuka dua halaman pertama dan terakhir. Setelah membuka buku tersebut, Finn pun tersenyum.
“Kau mendapatkan buku ini dari mana, Mavra? Ini bukan buku milik Abodie In Hell,” lanjut Finn dengan senyum ramahnya. Mavra merasa kebingungan menjawabnya.
“Hei, jawab pertanyaannya!” teriak Arnigo yang kemudian hanya dibalas oleh Finn dengan lambaian tangan agar tetap bersabar. Bagai surga dan neraka, kedua sifat sipir itu pun melambang keduanya. Satu berapi-api seperti ingin membakar saja sementara yang satu lagi dingin dan menyejukkan.
“Ini bukan buku Abodie In Hell, Mavra. kau dapat buku ini dari mana?” tanya Finn lagi
“Dari a-anakku,” jawab Mavra sedikit terbata-bata. Rasa takut mulai melingkupi perasaan Mavra.
“Anakmu? Baik sekali anakmu, Mavra. Tapi lain kali jangan kau ulangi kembali. Terpaksa aku sita buku ini,” lanjut Finn membawa buku tersebut.
Mavra tidak bisa menahannya lebih lama lagi dan menggigit bibirnya sendiri. Dia kira Finn akan meloloskannya karena rasa kasihan, ternyata semua orang di penjara ini seakan lahir dalam rahim yang sama, yaitu iblis!
“Hei, Finn. Kenapa kau ambil?” tanya Arnigo yang melihat Finn tampak baik kepada Mavra.
“Sudah, Arnigo. Biarkan saja. Dia hanya ingin membaca buku yang diberikan anaknya di kamar mandi, lalu kenapa kau keberatan?” tanyanya pada Arnigo, lalu melanjutkan, “Mavra, kau bisa kembali ke ruang makan,” suruh Finn, membuat Arnigo bertanya-tanya.
Mavra keluar dari kamar mandi dengan menahan perutnya yang sakit akibat tendangan dari sipir kasar itu. Mavra menghampiri Terios dengan wajah meringis kesakitan.
“Hei, Mavra. Apa yang terjadi? Kenapa sudut bibirmu berdarah?” tanya Terios melihat Mavra yang jalan dengan keadaan limbung ketika menuju ke meja makan.
“Tidak apa-apa,” jawab Mavra, tidak ingin menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya di kamar mandi.
“Kau tidak apa-apa? Kau yakin, Mav?” Terios memastikan keadaan Mavra lagi.
“Tidak apa-apa. Perutku hanya sakit karena makan nasi pasir ini,” jawab Mavra yang dibalas tertawa kecil oleh Terios.
“Astaga! Apa kau muntah darah karena makan makanan hewan ini?” tanya Terios.
Mavra tersenyum, menyeka sudut bibirnya kemudian meremas perutnya yang tertutupi di bawah meja.