Demi menembus Abodie In Hell, Pustin belajar keras serta latihan lebih banyak dari biasanya.
Sang istri serta ibunya menjadi heran dengan kegiatan Pustin yang begitu padat. Bahkan putranya hanya melihat sang ayah kurang dari satu jam setiap harinya.
Pustin menyapa Rian saat sarapan pagi dan sebelum tidur. Selebihnya Rian melihat ayahnya pergi kerja dan berlatih di gudang belakang rumah.
“Salsa!” panggil mertuanya.
“Ya, Ma?” sahut menantu satu-satunya itu.
“Kau sudah masak makan malam?” tanya Juanita.
“Sudah, Ma. Pustin juga akan kembali sebentar lagi,” jawabnya.
“Apa kau bisa tanyakan pada suamimu, alasan dia berlatih sangat keras seperti itu?” bisik mertuanya.
Salsa menghela napas, melirik suaminya dari jendela dapur. Ketika jam kerjanya selesai, Pustin langsung ke gudang belakang untuk berlatih.
“Nanti aku bantu tanyakan.” Sejujurnya dia juga tidak tahu alasan utama suaminya berlatih keras, tetapi intuisinya mengarah pada dendam masa lalu.
Tangan Pustin terus menghantam bola dengan kekuatan penuh. Di hadapannya bukanlah benda berbentuk lonjong seperti guling dengan isian kain tersebut, melainkan wajah Mavra Scott, pria yang telah membunuh ayahnya.
Pria yang sudah mendekam dalam penjara itu enggan mengakui kalau dirinya yang membunuh meski semua bukti telah mengarah padanya.
Wajah Mavra tak pernah dilupakannya. Iris mata berwarna terang miliknya, menatap lurus ke arah jendela, tetapi tidak sepenuhnya sadar sedang melihat pemandangan di luar, melainkan terbayang akan pria itu saja.
Di Abodie In Hell.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Semua narapidana akan mendengar lonceng tanda makan bersama di ruangan khusus yang kata mereka adalah ruangan penyambung hidup.
Seorang pria tengah duduk di sebuah bangku panjang terbuat dari batu dan semen. Bangku itu pula yang menjadi tempat tidur dan tempat duduknya.
Dia menghantukkan batu-batu kecil yang ada di tangan. Olahraga ringan agar saraf-saraf tangannya tetap merespon rangsangan.
Napasnya terembus keras, wajahnya tidak berekspresi. Dia adalah pria yang ditangkap beberapa puluh tahun lalu karena tuduhan pembunuhan seorang ilmuwan bernama Felix. Ya, dia adalah Mavra Scott.
Sudah terlalu lama berada di sini, hingga mengambil kesehatannya yang kian memudar dimakan waktu. Tidak sebugar dulu, Mavra kini seperti seonggok daging yang menanti hukuman mati.
“Hei, Mavra!” panggil teman satu selnya.
Pria yang dipanggil tersebut pun menoleh tanpa sahutan.
“Kau terus saja melamun. Apa keputusan pengadilan sudah kau dapatkan?” tanya Terios.
“Belum, tetapi aku mendengar kabar kalau hukuman mati pasti aku dapatkan,” jawabnya.
“Haha, lucu sekali! mereka terus saja menambahkan masa tahananmu sampai di titik terujung yang tidak bisa lagi ditolong. Pengacara bungkam meski kau sudah menjelaskan kenyataan yang terjadi.”
“Ya, aku hanya memikirkan nasib putra dan istriku. Bahkan sampai sekarang aku tidak melihat mereka.”
“Mungkin mereka sudah mulai melupakanmu,” sahut Terios.
Senyuman miring terukir spontan saat mendengar ucapan temannya itu. Mavra menarik diri dan bersandar ke dinding. Sungguh menyedihkan bila ucapan Terios benar. Padahal Mavra sangat sayang pada mereka.
Apalah daya, Mavra pun hanya bisa mengingat wajah mereka di masa lalu saja karena tidak tahu perkembangan wajah keduanya sekarang.
Tidak lama kemudian, mereka mendengar suara ketukan sipir menggunakan tongkat yang dipegang pada besi-besi sel di ujung koridor. Pukulannya bisa menembus sekitar 100 meter setelahnya. Sudah bisa dipastikan kalau sel pertama yang menjadi sasaran pukulan mengalami rusak saraf auditori.
Mavra dan Terios bangkit dari tempat duduknya. Harus mengikuti instruksi dari para sipir, kalau tidak mereka akan murka.
“Sejujurnya aku tidak pernah menyukai makanan di kantin penjara,” kata Terios tertawa kecil.
“Itu bukan kantin, tapi selokan penjara,” sahut Mavra.
Terios tekikik dengan suara kecil. “Kau benar, rasanya seperti kotoran kuda.”
Mavra tersenyum dan langsung memberikan kode kalau sipir akan segera membuka pintu. Jika mereka melihat para tahanan tertawa, langsung tersinggung. Mavra merasa mereka adalah wanita berkedok pria. Terlalu sering tersinggung seperti wanita sedang mengalami siklus bulanan.
Semua berjalan sesuai barisnya. Tidak boleh mendahului dan membuat keributan. Pakaian para napi juga sudah lusuh, walau awalnya sewarna, tetapi sekarang sudah berbeda-beda karena aktivitas dan umur kainnya juga.
Jika melihat warna coklat muda, maka dia adalah tahanan baru. Sementara bila warnanya memudar, bahkan mengabu atau menghitam sudah pasti milik narapidana lama yang hampir lumutan.
Mereka diberi kesempatan untuk mencuci, tetapi air di sana tidaklah bening. Melainkan berwarna seperti lumpur.
“Beri salam!” jerit seorang sipir sebelum napi pertama masuk ke dalam ruang makan.
Sontak semua bersuara lantang mengucapkan selamat siang agar suasana hening di sana menjadi ramai. Ingat, harus kuat, kalau tidak pentungan kayu di tangan sipir akan menghantam tubuh mereka.
Mavra mendengar suara pukulan dari belakang. Terios dan Mavra juga pernah merasakan sakitnya dipukul karena tidak menuruti perintah. Bahkan hanya karena sebuah fitnah, Mavra dimasukkan ke sel gelap selama 3 hari tanpa makan dan minum.
Istilah neraka dunia melekat pada penjara ini.
Abodie In Hell adalah penjara bagi penjahat yang terkena hukuman mati. Baik yang telah diputuskan atau akan direncanakan.
Seperti Mavra, keputusannya baru akan jatuh bulan depan, tetapi dia sudah berada di sana sekitar 10 tahun lebih. Sisa sebelum berada di sini dihabiskannya dalam tahanan biasa.
Mereka duduk secara bersama-sama dan menantikan makanan datang dan ditaruh ke piring masing-masing.
Wanita berumur paruh baya yang mendorong kereta makanan tiba di meja Mavra. Dia melirik pria tersebut kemudian menuangkan bubur sagu dan juga menu lain ke piringnya.
“Terima kasih,” ucap Mavra padanya.
Wanita itu membalas dengan senyuman dan menyelipkan sesuatu ke tangan Mavra secara cepat.
Mengawasi sekitar, Mavra pun menyembunyikan benda yang diberikan oleh si pengurus makanan.
Setelah wanita itu pergi, Mavra membuka kertas pemberiannya ketika memastikan keadaan aman. Dia membaca isi suratnya yang mengatakan kalau ada paket dari putranya di kamar mandi.
Mavra menikmati makanan yang tidak bisa dinikmati tersebut. Rasanya ambigu, juga terasa butiran pasir saat mengunyahnya.
Terios pun merasa malas makan, sejenak diabaikannya makanan tersebut kemudian memperhatikan sekitar.
Setiap hari akan ada pemandangan menarik seperti yang didapatnya hari ini.
Seorang napi lama sedang mengerjai napi baru. Sulutan kemarahan sengaja dibuat agar napi baru terpancing dan memukul orang sehingga dia akan mendapatkan hukuman.
Hiburan sangat sulit di penjara ini, mereka punya caranya masing-masing.
Sementara itu di meja lain, Mavra juga menemukan kejahilan dari napi yang duduk bersebelahan. Ketika teman sebangkunya itu melirik ke arah keributan, pria di kirinya langsung memasukkan kecoa dalam buburnya tersebut.
Mavra menahan tawa, mengingat dulu dia juga pernah merasakan tubuh kecoa itu dikunyah tiga kali sebelum akhirnya dimuntahkan. Anehnya pria yang menjadi korban malah tidak merasakan ada serangga dalam makanannya. Dia mengunyah dengan biasa dan menelannya.
Perut Mavra langsung merasa diguncang dan ingin meledakkan lahar dari dalam. Dia pun permisi pada sipir untuk ke kamar mandi. Tidak disangka kalau alasannya ke kamar mandi karena ingin mengeluarkan isi perut, padahal rencananya setelah makan siang saja baru izin ke sana.