KEBENARAN

1368 Words
Adhit menepati janjinya. Pukul delapan tepat, dia sudah berada di lobby hotel tempat Shila menginap. Dengan setelan celana katun dan kaos Polo biru laut, Adhit terlihat sangat segar dan tampan. Beberapa pengunjung dan pekerja perempuan hotel terlihat mencuri pandang ke arahnya. Tak bisa dipungkiri, darah Pakistan yang mengalir di tubuhnya sangat kental. Seandainya saja dia terlahir di Arab sana, mungkin dia sudah diusir dari negaranya karena ketampanannya.   Senyum mengembang ketika Adhit melihat kedatangan Shila. Tangannya terulur pada perempuan yang selalu mengisi hatinya itu. Bukannya menyambut uluran tangannya, Shila malah memberikan senyuman hangat dan duduk di seberang Adhit. Adhit paham, Shila tidak mau ada gosip. Bagaimanapun dia adalah perempuan baik-baik yang sudah bersuami.   “Kamu menepati janjimu,” kata Shila memulai percakapan.   “Kali ini aku tidak punya alasan untuk tidak tepat waktu.”   “Apa itu maksudnya kamu punya alasan yang tepat untuk membenarkan perbuatanmu dua puluh tahun lalu?”   Adhit mengangguk dan memandang intens pada Shila yang duduk menyilangkan kaki.   “Kita ngobrol di jalan, yuk! Aku akan mengajakmu menemui seseorang.” Perkataan Adhit membuat Shila memundurkan tubuhnya dan mengernyit.   “Menemui siapa? Apa ada seseorang yang penting yang harus kutemui?” Mengingat dia sudah lama meninggalkan kota ini, rasanya tidak ada orang yang perlu dia temui.   “Tentu saja ada. Kamu harus ketemu sama orang yang sudah memberimu cincin itu,” tunjuk Adhit pada cincin yang selalu Shila kenakan selama dua puluh tahun ini.   “Pakailah jika kamu masih mencintai Adhit.” Kata-kata itu kembali terngiang.   “Aku ..., rasanya aku nggak siap buat ketemu mamamu. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana,” ucap Shila sambil memainkan keliman di gaunnya.   “Bersikap biasa saja, Cil. Mama juga nggak akan bertanya aneh-aneh sama kamu. Dia hanya ingin menemuimu. Ada beberapa hal yang ingin Mama katakan. Sebenarnya, Mama juga yang selalu mendesakku untuk menemukanmu.”   Shila memandang Adhit untuk mencari kepastian di matanya. Dia harus yakin jika ini bukan jebakan yang akan membuat perasaannya sakit lagi. Istri Adhit benar-benar sudah meninggal, kan? Berarti aman, dong ke rumah Adhit. Tapi anak-anaknya? Mereka punya anak, kan?   “Anak-anakmu? Apa kamu punya anak? Aku nggak tahu harus bersikap gimana kalau ketemu anakmu nanti.”   Sial! Umpat Shila dalam hati. Kenapa juga dia harus merisaukan soal perasaan anak-anak Adhit? Kan kedatangan dia bukan untuk menjadi calon mama tiri bagi mereka. Status dia saat ini hanya sebagai teman Adhit. Tidak lebih. Diam-diam Shila menarik napas untuk mengisi otaknya dengan oksigen agar tetap waras. Berlama-lama dengan Adhit membuat dia kehilangan jati dirinya. Membuat dia berubah dan kembali merasa sebagai Shilanya Adhit.   “Mereka tinggal di Jakarta sejak Donna meninggal. Aku hanya tinggal berdua dengan Mama sekarang.”   Ah, jadi nama istri Adhit itu Donna. Mengapa rasanya nama itu tidak asing bagi Shila?   “Ayok, Cila, kita pergi sekarang. Mama pasti sudah menyiapkan makan malam spesial untuk kita. Kamu masih ingat rasa masakan Mama, nggak?” tanya Adhit mencoba mencairkan ketegangan yang sedikit terlihat di wajah Shila. Cila, cinta itu Shila. Panggilan sayang Adhit untuk Shila. Mendengar Adhit memanggilnya dengan nama itu membangkitkan kembali perasaan rindunya pada masa SMA.   “Ah, masakan mamamu selalu yang terbaik. Aku ingat aku dulu sering numpang makan di rumahmu. Ayuk kita ketemu mamamu. Anggap saja silaturahmi dari menantu gagal, ya, nggak?” Maksud Shila sebenarnya bercanda. Namun wajah Adhit yang sedih membuat Shila tidak enak. Dia merasa gurauannya tidak tepat.   ***   Di mobil Adhit mulai membuka percakapan dan bercerita tentang Donna, istrinya.   “Kamu pasti kenal dia. Dia termasuk salah seorang anak yang ikut les privat sama aku,” terang Adhit sambil melirik ke arah Shila.   “Ah, pantas rasanya aku kenal nama itu. Dia anak kelas satu tapi gayanya sok memiliki kamu banget. Tetanggamu kalau nggak salah, kan?”   Adhit mengangguk. “Ya, dia.”   “Akhirnya dia berhasil dapetin kamu, ya, Dhit?” tanya Shila sinis.   “Cila ..., bukan itu intinya. Donna memang mendapatkan keinginannya tapi dengan cara yang mungkin nggak kamu bayangkan sebelumnya.”   “O, ya? Dengan cara apa? Yang jelas dia membuatmu meninggalkanku,” sahut Shila dingin. Dia memalingkan wajah ke arah jendela di sampingnya. Memandangi kendaraan yang berpapasan dengan mereka. Temaram dari lampu jalan membuat suasana di dalam mobil terasa syahdu. Shila memperhatikan arah perjalanan mereka. Sepertinya mereka sedang mengarah ke luar kota.   “Dia menusukkan pisau dapur ke dadanya. Sedikit lagi hampir mengenai jantung. Ketika aku akan pergi ke terminal untuk menemuimu, dia datang untuk mencegah dan kami berdebat.”   Shila memandang Adhit seolah tak percaya dengan pendengarannya. Sebegitunya Donna menginginkan Adhit, seolah jika Adhit pergi dia memilih untuk mati.   “Darah berceceran di ruang keluarga kami, Donna sekarat. Kami panik. Mama berteriak-teriak minta tolong dan orang tua Donna pun datang setelah pembantu kami memberi tahu mereka. Kamu tahu apa respon mereka pertama kali? Menyalahkanku tentu saja. Mereka bilang apa salahnya memberi harapan palsu pada Donna, jangan menolaknya terang-terangan. Donna masih kecil, masih labil. Dia hanya tahu rasa suka padaku, begitu kata mereka. Bahkan kakak Donna menghajar wajahku hingga babak belur. Apa salahku, Cila? Mencintaimu adalah anugerah terbesarku, kenapa mereka bilang itu salah?”   Mata Shila mulai berair. Dia tak bisa membayangkan Adhit berada pada posisi seperti itu. Dia pasti tidak ingin menyakiti Donna atau membuatnya terluka. Sekarang baru terasa oleh Shila bagaimana perasaan Adhit saat itu. Meskipun dia selalu berlagak dewasa dan terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya, tapi dia hanyalah remaja belasan tahun yang tidak seharusnya menerima beban seperti itu. Ya, Shila bisa merasa akhir dari cerita Adhit. Dia dipaksa untuk bertanggung jawab atas hidup Donna yang di ujung maut.   “Apa kamu menawarkan diri untuk bertanggung jawab terhadap hidup Donna?”   Adhit menggeleng. “Mereka yang memaksa. Mereka mengancam akan melakukan sesuatu padamu.”   “Pengecut!” desis Shila.   “Kamu benar. Tindakan pengecut memang. Aku sanggupi ketika mereka bilang harus putus denganmu. Pikirku itu hanya sementara dan setelah semuanya reda, aku akan mencarimu. Tapi aku salah perhitungan. Di depan tubuh Donna yang masih koma, aku dipaksa menandatangi perjanjian. Begitu Donna siuman aku harus bertanggung jawab penuh pada masa depannya.”   “Kenapa kamu nggak lapor polisi? Tindakan mereka nggak bisa dibenarkan, Dhit!” Shila mulai merasa kesal dengan perlakuan yang diterima keluarga Adhit.   “Tidak bisa. Apa kamu tahu bagaimana posisiku ketika orang tua Donna menemukan tubuhnya di lantai ruang tamu kami?” Shila menatap Adhit penuh rasa ingin tahu.   “Aku yang panik dan ingin cepat-cepat pergi menemuimu pada saat itu ..., entah kenapa aku ..., aku mencabut pisau di d**a Donna. Bisa kamu bayangkan bagaimana kelihatannya, kan?”   Mata Shila membelalak dan dia menutup mulutnya yang menganga. Rintik-rintik hujan mulai menitik di kaca depan mobil. Meninggalkan bulatan-bulatan air yang mengalir turun dan terembus angin lalu menghilang.   “Adhit, Adhit, maafkan aku,” bisiknya lirih. Shila menyesal pernah merasa jika dia adalah pihak yang sangat terluka.   “Aku tidak ingin menimbulkan skandal dan merusak nama baik Papa dan Mama. Meskipun mereka tidak keberatan jika harus berurusan dengan pengadilan dan akan menyewa pengacara mahal untuk membelaku, tapi aku tidak mau mereka harus menanggung beban yang akan mencoreng nama baik mereka seumur hidup. Aku nggak sanggup membayangkan itu, Cila.”   “A-aku mengerti. Aku mengerti sekarang, Dhit.” Tanpa sadar, Shila mengulurkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Adhit.   Berdua mereka saling menggenggam dan saling pandang sekilas. Adhit tersenyum, setelah puluhan tahun akhirnya dia bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada Shila.   “Maafkan aku menyembunyikan hal ini padamu, Cil. Lagi pula yang kupikirkan saat itu adalah menjauhkan keluarga Donna dari kamu. Aku nggak mau mereka mengganggu dan menyakitimu. Mereka bisa melakukan hal-hal yang mungkin hanya bisa kita bayangkan di film.” Adhit mulai mengurangi laju mobil. Sepertinya tujuan mereka sudah dekat.   “Pernah Mama menyuruhku kabur dan bersembunyi sementara waktu. Saat itu Donna sudah siuman dan sedang dalam masa pemulihan. Kupikir sebentar lagi aku bisa mencari cara agar perjanjian kami batal dan aku nggak harus hidup bersama Donna seumur hidup. Ternyata aku salah. Demi mengetahui keberadaanku waktu itu, kakak Donna nggak segan-segan menyiksa Mama. Cila, setelah kamu mengetahui hal ini, apa kamu menyesali hidupmu selama dua puluh tahun ini?” tanya Adhit sambil membelokkan mobil ke jalan yang lebih kecil.   Shila memandang Adhit dan merasakan aliran air berjatuhan di dadanya. “Aku menyesal tidak tahu lebih awal, Dhit. Walau aku nggak akan bisa berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan waktu itu, setidaknya aku nggak akan menangisi perpisahan kita teramat dalam. Aku pasti akan menerimanya dengan lapang d**a karena itu yang terbaik. Dan aku nggak akan merasa kalau aku ini dicampakkan.”   Adhit terkekeh mendengar pernyataan Shila yang terakhir. Dia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang kayu yang tinggi. Tembok batu setinggi gerbang begitu rapat di kanan kiri. Membuat siapa pun tidak bisa melihat apa yang ada dibalik gerbang dan tembok tinggi itu. “Mana mungkin aku melakukan itu, Cil. Dibalik pagar ini, kamu bakalan melihat kalau hidup tanpamu itu sulit,” katanya sambil melajukan mobil perlahan memasuki gerbang yang terbuka. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD