“Sudah mau pergi lagi?” tanya Mama melihat Febi yang sudah dandan cantik dan bersiap akan pergi.
“Iya, Ma. Ada janji makan malam dengan teman. Mumpung mereka belum pada pulang.”
“Sering banget, sih, Feb? Teman yang mana lagi?” tanya Mama menyelidik.
“Aduh, Ma teman Febi, kan bukan satu dua. Besok sebagian sudah pada pulang ke daerahnya masing-masing dan entah kapan kita bisa ketemu lagi, Ma.”
“Ya, sudah. Jaga kondisimu jangan sampai kecapean. Dan jangan pulang terlalu larut.”
“Mama nggak usah khawatir. Dan nggak perlu nungguin Febi pulang, Febi sudah bawa kunci cadangan. Jangan di gerendel pintunya, ya, Ma,” kata Febi sambil mengecup pipi tua ibunya.
Febi melambai kepada Mama yang melepas kepergiannya dari balik pintu. Dia tersenyum sebelum memundurkan mobil dan keluar dari gerbang. Selama perjalanan, Febi melamun. Akan lebih mudah baginya jika Mama mengetahui hubungannya dengan Ervan. Namun sulit untuk memberi tahu Mama mengingat Mama selalu menyinggung tentang Ervan selama dia mempersiapkan reuni ini.
“Apa Ervan datang ke reuni, Feb?” tanya Mama penasaran ketika Febi sedang memeriksa daftar peserta reuni. Febi mengangkat wajah dari lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Emang kenapa, Ma?”
“Hati-hati saja sama dia. Mama tetap nggak suka kalau kamu menjalin hubungan lagi sama dia. Perasaan Mama nggak enak.” Mama mengelus dadanya ketika mengatakan itu. Febi pikir Mama membenci Ervan karena membuat Papa kena stroke. Padahal perbuatan Febilah yang membuat Papa kena stroke.
“Mama berlebihan. Percaya, kok sama perasaan. Musyrik, Ma,” sahutnya asal.
“Feb, jangan bercanda, ah! Mama serius. Berjanjilah kalau kamu nggak akan pacaran sama Ervan lagi,” pinta Mama serius.
Mama, bagi Febi adalah keluarga satu-satunya setelah Papa meninggal. Menyakitinya sama dengan menyakiti hatinya. Seharusnya Mama sudah dibahagiakan di umurnya sekarang. Namun Mama masih saja belum bahagia sepenuhnya. Harapan Mama sederhana, bisa menimang cucu sebelum ajal menjemput. Meskipun cintanya pada Ervan melampaui batasan-batasan yang tak terukur, Febi tetap tak bisa menyakiti mamanya. Dan dia pun berbohong untuk sekadar melihat senyuman di wajah Mama.
“Ya, Ma. Febi nggak akan pacaran sama Ervan,” ujarnya sambil tersenyum.
Pada Ervan dia bilang jika restu Mama sudah dikantongi. Lagi-lagi Febi berbohong. Dia hanya tidak ingin Ervan pergi meninggalkannya lagi jika tahu Mama masih juga belum merestui hubungan mereka. Entah bagaimana Febi akan keluar dari permasalahan ini. Dia berusaha menyenangkan semua pihak walau akhirnya dialah yang harus menjadi pihak yang sakit.
Febi mendesah. Sekarang dia memutuskan untuk tidak memikirkan Mama. Sekarang adalah saatnya berbahagia dengan menemui Ervan. Mungkin ini akan menjadi malam terakhir kebersamaannya dengan Ervan. Jika itu benar, dia tidak ingin malam ini pergi begitu saja. Febi harus membuat Ervan tidak bisa melupakannya dan akan datang lagi padanya. Di kepalanya berputar satu rencana dan dia harus siap melaksanakannya meskipun tidak pernah melakukan hal itu seumur hidupnya.
“Hai,” sapa Febi ketika dilihatnya Ervan sudah menunggu di meja pesanan mereka.
“Kamu cantik sekali malam ini, Feb,” kata Ervan sambil berdiri dan menyambut Febi dengan ciuman di kedua pipi.
Ervan tidak bohong. Febi memang cantik. Wajah semi oriental dan kulit yang putih mulus. Bibir Febi pun pink alami. Meski tubuhnya semampai, Febi memiliki sepasang buah d**a yang kencang dan padat. Sangat menonjol jika dia berpakaian sedikit ketat.
“Kamu pun gagah banget. Apa sudah pesan sesuatu?” tanyanya.
“Belum. Tapi aku sedang ingin makan steak dan wine. Kamu setuju?”
“Mmm. Aku belum pernah minum wine,” aku Febi jujur.
“Selalu ada yang pertama untuk semua hal, Sayang,” kata Ervan sambil tersenyum menggoda. Febi pun membalas senyuman Ervan dan mengangguk.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka mengobrol tentang banyak hal. Dari mulai reuni tadi siang hingga rencana kepergian Ervan esok hari.
“Rasanya cepat banget kamu pergi, Van. Apa nggak bisa mundur?”
“Kenapa? Apa kamu sudah mulai rindu sama aku?”
“Kamu menggodaku. Kapan kita akan ketemu lagi, Van?” tanya Febi penuh harap.
“Secepatnya, dong. Aku akan meluangkan waktu pas weekend buat mengunjungi kamu.”
“Beneran? Kamu janji?” kata Febi tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Ervan pun mengangguk.
“Sabar, ya, Sayang. Untuk sementara waktu kita LDR-an.” Ervan menggenggam singkat tangan Febi di atas meja, karena tak lama kemudian pesanan mereka datang.
Sambil tetap mengobrol, mereka menghabiskan satu porsi sirloin steak dan bergelas-gelas wine. Pandangan Febi mulai kabur. Meski ini yang pertama baginya, tapi ternyata dia menyukai rasa wine dan tanpa sadar minum terlalu banyak.
“Cukup, Van. Jangan tuang lagi, aku harus menyetir pulang.” Febi mencegah tangan Ervan menuang lagi minuman ke gelas.
“Nggak papa, nanti aku akan menyetir buat kamu.”
“Gila kamu. Kalau ketahuan Mama, gimana?”
“Aku akan cari alasan yang tepat nanti. Sudahlah ayo minum lagi.” Ervan pun mengisi gelas Febi penuh-penuh.
“Perutku penuh. Rasanya aku harus mengeluarkan sesuatu. Tunggu sebentar, ya, aku ke toilet dulu,” kata Febi sambil bergegas berdiri karena merasa kandung kemihnya akan meledak.
Setelah kepergian Febi, diam-diam Evan menaburkan serbuk putih pada minuman Febi. Dan ketika Febi kembali, dia memaksa Febi menghabiskan minumannya.
“Kita bersulang untuk hubungan baik kita, Feb. Dan untuk kepergianku besok,” katanya sambil menyentuhkan gelasnya pada gelas Febi.
Tak lama setelah Febi menenggak habis minumannya, dia mengeluh pusing dan ingin segera pulang.
“Tunggu sebentar, aku bayar bill dulu terus aku antar kamu pulang, ya,” kata Ervan sambil bergegas menuju kasir.
Setelah selesai membayar, dia memapah Febi ke dalam mobil. Membaringkannya di kursi penumpang dan setelah menutup pintunya, Ervan pun mengitari mobil untuk duduk di kursi supir. Senyum tersungging di bibirnya. Di kepalanya berkelebat rencana apik untuk menggagahi Febi.
Sebenarnya bisa saja dia merayu Febi untuk melakukan hubungan terlarang itu. Dengan perasaan Febi padanya pasti bukan hal yang sulit. Hanya saja Ervan tidak mau mengambil resiko penolakan, kemungkinan itu tetap ada. Dia harus cepat-cepat menjalankan rencananya dan itu tidak boleh gagal.
Sesampainya di depan rumah Febi, Ervan tidak langsung membawa Febi masuk. Dia mematikan mesin mobil dan menunggu sejenak. Memastikan jika mama Febi sudah tidur dan tidak keluar menyambutnya. Jika itu terjadi, dia harus cepat-cepat kabur dan menyusun rencana berikutnya. Perempuan tua itu menyebalkan. Radarnya kuat sekali. Dia seolah bisa membaca pikiran Ervan dan selalu menghalang-halangi jika Erva berada di sekitar Febi.
Setelah memastikan kondisi cukup aman, Ervan mengaduk-aduk isi tas Febi. Perempuan yang terkulai tak berdaya di sampingnya itu pernah bercerita, jika dia selalu membawa kunci cadangan jika sewaktu-waktu pulang terlalu larut sehingga mamanya tak perlu menunggunya untuk membukakan pintu. Di usianya sekarang, mamanya itu tidak diperbolehkan bangun terlalu malam dan udara malam sangat buruk untuk kesehatannya.
Kunci rumah sudah digenggam. Dia pun berjalan ke arah kursi penumpang dan membuka perlahan pintu di samping Febi. Setelah pintu terbuka, tubuh Febi yang lunglai meluncur turun. Ervan bergegas menopangnya agar tidak terjatuh. Setelah menyangga tubuh Febi dan menutup pintu mobil, Ervan pun memapahnya hingga ke depan pintu rumah. Membuka kuncinya sangat perlahan dan mulai meraba dalam gelap di mana kira-kira pintu kamar Febi.
Tidak sulit menemukan pintu kamar Febi. Di depan pintu ada hiasan kain flanel dengan huruf F besar. Kekanakan sekali, gumam Ervan. Dengan setengah menyeret tubuh Febi, dia membuka pintu kamar dan membaringkan Febi di kasur. Ervan pun keluar lagi. Memasukkan sepatunya dan mengunci pintu kembali.
Di dalam kamar, dia sengaja tidak mematikan lampu. Dia ingin dengan leluasa memandang tubuh perawan Febi ketika dia mulai mencumbu dan menggagahinya. Ervan tersenyum sinis, hari gini? Di usia setua ini? Masih perawan? Yang benar saja!
Anggap saja ini keberuntungan baginya karena sebentar lagi, dia akan merasakan nikmatnya darah perawan milik Febi. Ervan pun mulai membuka kancing-kancing kemejanya, melonggarkan celana jinsnya dan menyingkap rok Febi. Sambil mengelus paha mulus Febi, Ervan merasakan kelelakiannya mulai bangkit. ©