Acara talk show di TV terdengar bising sekali. Hastuti sedikit terganggu. Dia masih ingin bermalas-malasan dan mengembalikan staminanya setelah mengimbangi permainan Wijat semalam. Setelah mencapai kesepakatan, Wijat meninggalkan Hastuti sendirian di hotel. Sebenarnya dia ingin jika Wijat tetap tinggal disisinya dan menjadi pelayannya, namun dia tidak ingin Wijat mengetahui secara detail rencananya untuk menghancurkan kehidupan teman-temannya satu per satu. Hastuti tidak perlu khawatir jika Wijat membocorkan rencananya untuk balas dendam. Kalau sampai teman-temannya sampai tahu, Hastuti tidak segan-segan untuk melaksanakan niatnya mempermalukan Wijat. Dan lelaki pengecut seperti dirinya tidak akan sanggup menghadapi rasa malu apa lagi sampai rahasianya terbongkar. Bisa lari semua klien dan calon klien potensialnya.
Ponselnya berbunyi, ada WA dari bapak tirinya. Hastuti tersenyum. Dia ingat kemarin ada janji untuk bercinta dengan bapaknya itu. Tapi yang terjadi dia malah check in sama Wijat dan tidak pulang ke rumah. Benar saja, WA dari Bapak menanyakan di mana Hastuti dan mengapa tidak pulang ke rumah? Bapak bilang jika Ibu khawatir. Ah, mana mungkin perempuan yang lebih peduli pada diri sendiri itu mengkhawatirkan dirinya. Baginya Hastuti adalah masa lalu menyedihkan yang seharusnya dihilangkan.
Dan masalah bapak tirinya ini harus segera diselesaikan. Dia malas terus-terusan melayani laki-laki tua bau kentut itu dan berpura-pura puas dengan permainannya. Yang sebenarnya terjadi, dia muak dan jijik ketika lelaki itu menindih tubuhnya dengan perut buncitnya.
‘Bapak datang saja ke sini. Tutik tunggu.’
Hastuti mengirimkan balasan untuk bapaknya. Sudah saatnya permainan ini dihentikan. Dia pun bersiap memasang perangkap.
***
Tubuh gendut bapaknya tertidur dan mendengkur di sisinya. Tidak sampai sepuluh menit mereka bergumul dan bapaknya sudah kalah. Hastuti belum apa-apa. Sekarang dia harus mandi sebelum bapaknya terbangun dan minta jatah lagi. Namun rasanya bapaknya tidak akan bangun cepat. Obat tidur yang diberikan Hastuti di minuman bapaknya cukup besar dosisnya. Mungkin besok pagi bapaknya baru bangun dan pada saat itu terjadi Hastuti sudah pergi cukup jauh.
Selesai mandi, Hastuti membereskan barang-barangnya. Dia harus pindah hotel malam ini. Wijat memberi tahunya melalui WA jika dia sudah tiba di Jakarta. Baguslah. Dia butuh waktu untuk memutuskan hubungan dengan pacar-pacar tuanya dan siap-siap pindah ke apartemen Hastuti yang dibelinya tanpa sepengetahuan Eugene. Setelah yakin tidak ada jejaknya yang tertinggal, Hastuti berjalan menuju pintu dan melihat ke arah bapaknya yang masih mengorok dengan tubuh telanjang yang ditutupi selimut. Hastuti tersenyum jijik. Cepat-cepat dia keluar kamar dan membayar bill-nya di resepsionis.
“Masih ada seseorang di kamar dan dia masih tidur. Mungkin nanti akan ada seseorang yang bertanya tentang dia. Kasih tau saja, ya,” pesan Hastuti pada resepsionis.
Dia tidak bisa langsung mencari hotel untuk tidur malam ini. Masih ada seseorang yang harus ditemuinya dulu. Seseorang yang sudah membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Penuh dendam dan amarah. Hastuti melajukan mobilnya menuju jalan raya dan memacu dengan kecepatan tinggi menuju sebuah rumah.
***
“Tik, kok baru pulang? Nginep di mana kamu semalam?” tanya ibunya ketika membuka pintu untuknya. Tanpa menjawab pertanyaan ibunya Hastuti langsung menuju kamar depan, tempatnya menaruh semua barang-barang miliknya.
“Orang tua bertanya itu mbok dijawab. Jangan diem aja, nggak sopan, tau!” Suara ibunya mulai meninggi. Hastuti geming. Apa masih perlu sopan santun sama ibu yang sudah membuangnya?
“Tik! Kurang ajar kamu, ya. Ini ibumu lagi ngomong!” Suara Ibu semakin meninggi. Hastuti mengangkat wajah sebentar dan memandang ibunya sinis. Dia menutup tas kopernya dan menariknya keluar kamar.
“Ini alamat hotel tempat Tutik menginap semalam. Sebaiknya Ibu ke sana, jemput Bapak. Jangan lupa bawa baju, karena tadi Tutik nggak sengaja nyobekin baju Bapak,” katanya kalem sambil memberikan kartu nama hotel tempatnya menginap.
“Apa maksudmu, Tik? Jangan main-main sama Ibuk!”
“Main-main? Tutik nggak punya waktu buat main-main. Suami Ibu itu yang maksa-maksa. Dia bilang, Tutik mirip sama Ibu waktu masih muda. Dan dia kesal karena akhir-akhir ini Ibu sudah kayak gedebog pisang. Anyep!” kata Hastuti sambil berjalan keluar rumah.
Di belakangnya Ibu mengejar, dia menarik baju belakang Hastuti. Membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh.
‘PLAK!’
Sebuah tamparan mendarat di pipi Hastuti ketika dia membalikkan badan menghadap ibunya. Hastuti memegangi bibirnya yang kini berasa besi berkarat.
“Dasar p*****r!” Ibunya meneriaki Hastuti.
“Hhh, p*****r, kok ngatain p*****r. Memangnya dari mana Tutik belajar kemampuan ini? Ibuk itu inspirasi abadi Tutik,” ujarnya sambil mengecup pipi ibunya kuat-kuat. “Tutik ngirimin video ke HP Ibuk. Dilihat, ya. Dipelajari. Siapa tahu dapet inspirasi,” bisik Tutik yang membuat ibunya diam tak bergerak.
Sepeninggal Hastuti, ibunya membuka video yang dikirimkan anak kandungnya itu. Suara lenguhan-lenguhan nikmat berganti-ganti terdengar dari sepasang pemeran utama dalam video. Dua tubuh telanjang bulat saling memanjakan dalam peluh dan berganti-ganti memacu, saling memuaskan. Kadang Hastuti di atas kadang bapaknya yang di atas. Video berdurasi tiga menit itu membuat ibunya muak dan membanting HP ke lantai.
Apa yang terjadi padanya? Mengapa dua orang itu mengkhianatinya? Ibunya dulu pernah menelantarkan Hastuti dan mengkhianati bapak kandung Hastuti karena dia bosan terus-terusan hidup miskin. Ketika punya kesempatan untuk menggoda seseorang yang lebih kaya dari suaminya, maka kesempatan itu tak dia lepaskan. Bahkan dia rela merusak rumah tangga selingkuhannya itu demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Apa ini karma dari perbuatannya? Rasanya menyakitkan. Mungkin seperti ini perasaan suami pertamanya dulu ketika dikhianati. Mungkin seperti ini juga perasaan Hastuti ketika dia meninggalkan anaknya itu untuk dirawat neneknya dan pergi ke Jakarta ikut suami barunya. Yang tidak disangka-sangka, anak kandungnya itu malah membalas semua perbuatannya dulu. Anak kandung yang dulunya polos dan kampungan. Kini dia tumbuh menjadi perempuan penuh dendam dan mengerikan. Ibunya bergidik, dia telah menciptakan seorang monster dari darahnya.
Dipandanginya kartu nama yang diberikan Hastuti. Masih ada rasa tidak percaya meski tadi telah melihat video yang dikirim ke HP-nya. Bisa saja itu video editan. Untuk membuktikan kebenarannya, dia harus pergi ke hotel itu dan membawa suaminya pulang. Usianya kini sudah tua. Benar kata Hastuti, dia sudah menopause dan kehilangan napsu untuk melayani suami. Namun jika dia meninggalkan suaminya itu, hidupnya akan kesepian. Dia malas ikut dengan anak-anak hasil pernikahan keduanya. Mereka semua laki-laki dan dari cerita orang, tidak ada mertua yang akrab dengan menantu perempuannya.
Dia tidak punya pilihan, dia harus memaafkan suaminya. Mencoba hidup dengan perasaan menyesal dan bersalah telah menelantarkan Hastuti. Namun dalam hati, tidak ada keinginan dalam dirinya untuk memaafkan dan menerima Hastuti di rumah ini lagi.
“Ben mati wae bocah kualat!” serunya tertahan.
Di perjalanan menuju hotel barunya, setelah melampiaskan kemarahannya yang menumpuk puluhan tahun pada sang ibu, Hastuti merasa ruang dalam hatinya sedikit longgar. Dia bersenandung riang dan memijit kepalanya yang sedikit berdenyut.
Satu-satu Bapak sayang aku
Dua-dua sayangnya di kamar
Tiga-tiga ketauan Ibuk
Satu dua tiga, ibuk marah-marah. ©