Bab 9: Ready for Broken Heart?

1010 Words
Rendy pulang dengan pikiran penuh. Bagaimana bisa Bulan memintanya menikahinya? Itu tak mungkin. Ia berniat membantu Bulan karena ia juga membenci Bian yang b******k. Tapi tak mungkin dengan menikahi Bulan dan menjadi walinya. Di sisi lain, ia masih tak bisa melupakan Tamara, gadis yang hendak menikah dengannya namun tiba-tiba saja menghilang bagai ditelan bumi tepat dua minggu sebelum mereka menikah. Hari dimana adiknya juga mati kecelakaan. Rendy melemparkan jasnya begitu kesal teringat bagaimana mungkin seorang Bian yang b******k menjadi wali Bulan? ia tak ingin gadis buta itu berakhir sama dengan adiknya. Dia harus mencegahnya, tak akan dia biarkan Bian sekenanya saja hidup di dunia tanpa rasa bersalah dan tanpa minta maaf. Rendy mulai berpikir bagaimana caranya agar Bulan mau mengubah metodenya. Solusinya bukan harus menikah, kan? Pasti ada solusi lainnya. *** Bulan mengingat-ingat apa yang ia dengar dan ucapkan bersama Rendy di ruangannya. "Menikah?" tanya Rendy terhenyak. "Apa? Untuk menjadi waliku kenapa tidak?" kata Bulan. "Aku gak senaif itu Bulan! oke aku akuin aku membenci Bian, tapi untuk menikah denganmu dendam saja tak cukup dijadikan alasan, harus ada perasaan!" kata Rendy. Mendengar itu Bulan ingin muntah dan merasa jijik. Ia tahu dengan kondisinya seperti sekarang ini siapa yang mau menikah dengannya? tak ada. "Mungkin karena aku buta jadi kau enggan menikah denganku!" "Berhenti membicarakan kekurangan, Bulan!" Rendy tak suka mendengarnya. Ia bukan lelaki seperti yang dipikirkan Bulan. Jika ia lelaki b******k sudah lama ia move on dari tunangannya. "Lalu apa? kau tak akan rugi dengan menikah denganku! setelah hidup Bian hancur kau boleh membunuhku dan mengambil semua yang kumiliki!" "Brakkk!!" Bulan kaget, tak menyangka bahwa Rendy akan marah. Tangan Rendy memerah setelah memukul meja kerjanya. Ditatapnya baik-baik Bulan dengan sorotan mata yang sangat tajam. Ia benci ketika Bulan mengatakan kematian. "Aku memiliki tunangan dan kita akan segera menikah! Jika kau memang berniat menikah dan merusak hidup Bian lalu setelahnya mati, lupakan rencana kita!" kata Rendy tegas dan dalam. "Kita bicarakan lagi besok, hari ini ada perjamuan di rumahku!" katanya. Rendy kesal dan ia tak ingin berdebat dengan gadis keras kepala yang labil. Dia menyadari di usia Bulan yang masih dini banyak pergolakan jiwa yang terjadi, dan bingung membedakan antara ego dan keinginan sendiri. Terkadang malah dua-duanya tak bisa dibedakan jika sudah bernaung di dalam hati. Ya seperti adiknya yang mati dan ditinggalkan oleh Bian begitu saja. Bulan kembali ke kamar dengan hati yang remuk. Ia bahkan meminta Rendy memanggilkan perawat dan membawakan kursi roda untuknya. 'Rendy sudah punya tunangan dan aku tak mungkin merusak kebahagiaan orang lain.' Kalimat itu yang terus menerus berulang di kepala Bulan hingga ia tak ingin makan, minum, ataupun tidur. Ia meminta perawatnya menyimpan amplop perjanjian itu di dalam laci sebelum ia meninggalkan kamarnya. Tiba-tiba ia merindukan keluarganya dengan sangat besar. Tiba-tiba ia rindu pelukan Mamanya. Tiba-tiba ia rindu cerewetnya mbak Maya dan tiba-tiba ia kangen usilnya si Satria. Di dunia ini ia sudah tak memiliki apa-apa lagi. Tapi orang pasti masih iri dengan dirinya seorang gadis yang kesepian dan kaya raya. Ketika uang yang menjadi tolak ukur kebahagian orang pada umumnya. Jadi sesepi apapun kehidupan Bulan, tetap saja ia masih dianggap istimewa. Ah, dunia dan segala isinya yang sangat merepotkan. Semoga surga tak sepeti itu. *** Pagi-pagi sekali Rendy sampai ke rumah sakit dan membangunkan Bulan. Ia tak tidur semalaman karena gadis itu berhasil membuatnya berpikir dan berjaga sepanjang malam. Memikirkannya entah kenapa. Belum pernah ada yang membuatnya terjaga seperti itu sebelumnya, bahkan tunangannya. Entahlah. Sejak bertemu Bulan pikirannya dipenuhi gadis itu. Apa karena ia teringat Tari adiknya? Atau ia merasa iba pada Bulan? Atau ia benar ingin balas dendam kepada Bian? Rendy bingung, sangat amat bingung hingga ia terjaga semalam penuh tanpa bisa tidur sama sekali. "Sepertinya masih pagi, bau udara dingin yang basah dan tak ada bau matahari..." kata Bulan seraya bangkit dari posisinya yang miring sesaat setelah ia benar-benar bangun karena Rendy benar-benar mengusik tidurnya. Ia tak menyangka lelaki itu benar-benar datang sepagi ini. Ada apa sebenarnya hingga ia begitu risau? Batin Bulan. "Kamu harus belajar Brailer." kata Rendy to the point. Ia sudah memutuskan memikirkan hal itu semalaman, terlepas dari setuju atau tidak Bulan, yang pasti ia akan membuat Bulan belakar brailer. "Aku akan mempelajarinya ketika kita menikah." kata Bulan yang hendak berbaring kembali. Rendy buru-buru menahannya. "Aku masih mencintai Tamara dan aku tak berniat melukainya." jawab Rendy. "Meski sudah lima tahun?" tanya Bulan tak yakin dengan perasaan Rendy. "Lima , sepuluh atau bertahun-tahun aku masih menunggu Tamara, ia berhutang alasan padaku!" kata Rendy tegas. "Begitu rupanya. Bagaimana jika alasannya karena lelaki lain?" tanya Bulan iseng. Rendy tersenyum kecut. "Halloo nona, Tamara bukan perempuan seperti itu!" "Oh maaf, semoga saja ia tak seperti itu mengingat dengan mudahnya ia pergi begitu saja tanpa pemberitahuan." kata Bulan. "Dengar nona, jangan mengkritik pasanganku! lihat saja orang yang kau cintai itu? apa ia layak? atau kau yang bodoh karena terlalu percaya?" kata Rendy kesal. Matanya sudah merah karena menahan amarah. Padahal pagi ini ia berniat memberitahu Bulan bahwa ia akan berpura-pura menjadi tunangan untuknya saja. Menjadi tunangan bukankah sudah cukup? Tak perlu menikah, ka "Kau lupa satu hal tuan, bahwa aku yang mengajukan pernikahan denganmu! Membuang segala ego dan perasaanku pada Bian! Sepertinya kau cukup pintar untuk menarik kesimpulan bahwa hatiku telah mati! Bahkan aku tak yakin bisa jatuh cinta lagi!" kata Bulan tegas. Rendy sedikit terhenyak atas pernyataan Bulan. Rendy menatap gadis itu baik-baik. Semenjak gadis itu mengetahui kebusukan kekasihnya ia sudah tak pernah tersenyum lagi dan matanya menyiratkan dendam yang dalam kepada Bian. Sangat dalam. Mata yang menahan tangis dan kekecewaan yang besar. Mata yang terluka namun tetap berusaha tegar. Bukankah memang mata tak pernah bisa berbohong? "Baiklah, maafkan aku." kata Rendy, "Tetapi tetap aku tak bisa menikah dengan orang yang tak kucintai, itu sama saja aku merusak kehidupannya." imbuhya lagi. "Lalu kenapa pagi-pagi buta kau ke sini." "Aku tak bisa menikah denganmu, tapi aku berniat menjadi tunanganmu tiga minggu setelah ini, untuk itu kita perlu bersandiwara untuk terlihat saling mencintai satu sama lain." Tak pernah dibayangkan oleh Bulan bahwa Rendy akan bertunangan dengannya. Dia pikir lelaki itu akan mundur ketika ia mengatakan pernikan. Tunangan? Oke, tak masalah, pikir Bulan. Bulan tersenyum penuh kemenangan mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan menghukum Bian. Tak ada hal paling menyakitkan selain patah hati, kan? Lihat saja Bian, aku akan memulai semuanya dengan sangat baik. Batin Bulan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD