Sebelum Bulan berakhir di ruangan dokter Rendy seperti sekarang ini, dua jam lalu seorang pria paruh baya menjenguknya di dalam kamar. Pria itu mengenalkan diri sebagai pengacara Papanya dan memberitahu Bulan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Kira-kira empat tahun lalu Papanya memutuskan menanam saham diam-diam atas namanya di sebuah perusahaan yang sekarang Bulan ketahui juga milik keluarga Bian dan Siska.
Tahun pertama perusahaan itu mengalami kerugian besar sehingga untuk menyelamatkan perusahannya Papa bulan menjual tanah warisan keluarganya dan baru beberapa bulan lalu perusahaan tersebut melaporkan laporan keuangan yang bernilai surplus. Deviden Papanya digunakan untuk menambah saham pada perusahaan tersebut, sehingga kini pemilik saham terbesar perusahaan tersebut adalah Papanya.
Karena seluruh keluarganya sudah meninggal, maka Bulanlah yang mewarisi saham Papanya, tetapi karena ia masih belum berusia 21 tahun dan karena dia tidak memiliki wali di negara Indonesia, maka Papanya menunjuk Bian sebagai walinya.
"Bian? Kenapa harus Bian, om?" tanya Bulan kesal. Gadis itu sudah tak mempercayai Bian. Bian bahkan tak memberitahunya bahwa Papanya ikut berkontribusi di perusahaan baru milik mereka.
"Itu pilihan Papamu, dia mengambil keputusannya dahulu, saat kamu dan Bian dekat." jelas pengacaranya. Bulan masih ingat dengan jelas bahwa hubungan diam-diamnya dengan Bian belum diketahui Siska dan keluarga besarnya setuju. "Ada beberapa berkas yang harus kamu tandatangin Bulan, terkait pelucuran desain terbaru yang rilis minggu depan..." Bulan menerima berkas itu dan tidak begitu saja menandatanganinya meski pengacara papanya berniat membantunya.
Sudah tak ada siapapun yang ia percayai, orang yang dicintainya pun juga sudah mengkhianatinya. Siapa tahu pengacaranya juga mengkhianatinya? Who knows?
"Besok om boleh kemari untuk mengambil berkas ini, biar ini saya bawa dan pikirkan baik-baik." Lelaki paruh baya itu mendesah kemudian menurut saja pada majikannya. Sebenarnya ia berniat langsung kembali ke Jakarta demi kelancaran usaha sahabatnya yang tak lain Papa Bulan, tapi sepertinya Bulan tak mempercayainya dan ia tak bisa berbuat banyak selain menuruti, bukankah memang seperti itu mental pebisnis? tak mudah percaya orang lain.
"Tunggu om, bukankah om bilang Bian waliku, kenapa tak minta tanda tangannya saja?" tanya Bulan. Pertanyaan seperti itu sudah diduga oleh Om Purwo sepanjang perjalanan tadi. Pria yang hampir sampai di ambang pintu itu berbalik lagi.
"Bian memang walimu, tapi sepenuhnya kendali ada padamu, jika kau memang tak sanggup akan ada rapat direksi yang sepenuhnya hakmu akan dipegang Bian, tapi saya kira untuk urusan tanda tangan pengesahan kau juga sanggup..." jawabnya. Bulan diam, mencoba percaya yang diucapkan pria itu.
Bulan mendengar pria itu sudah menjauh dari ruangannya. Dia beranjak dan berjalan keluar kamar dengan meraba dinding, ia berniat ke ruangan dokter Rendy.
***
Bulan masih tak percaya apa yang didengarkannya dari dokter Rendy barusan, bahwa adik dokter Rendy mantan calon istri Bian? Tapi dia meninggal? Kenapa ia meninggal?
"Bian dan adikku kecelakaan, Bian mengajaknya kabur dari rumah saat keluargaku menentang hubungannya dengan Bian. Bian sahabatku, ia lelaki playboy yang cukup populer di kampus. Aku bahkan tak tahu kisah cinta adikku dan Bian sebelum Mama menangis karena Papa shock mendengar bahwa Tari kabur. Di tengah perjalanan mereka kecelakaan. Bian yang ketakutan melihat Tari bersimbah darah meninggalkannya begitu saja. Tari sampai di rumah sakit sudah meninggal berikut dengan bayi yang dikandungnya. Padahal hari itu Mama sepakat menyetujui hubungan mereka karena memergoki Tari hamil. Tapi Bian yang tak percaya menghasut Tari untuk kawin lari ..." Rendy menghembuskan napasnya, luka lama kembali terpaksa ia buka dan ia ceritakan kepada orang asing. Ia bahkan tak mengerti bagaimana ia bisa menceritakan kisah itu pada Bulan. Di sisi lain setelah menceritakannya kepada Bulan, merasa lega.
Bulan gemetaran, kaki dan tangannya tak bisa diam sepanjang Rendy bercerita hingga map ditangannya perlahan lembab. Ia tak pernah menyangka bahwa Bian bisa sekejam itu kepada kekasihnya, meninggalkannya begitu saja dalam keadaan hamil?. Lalu bagaimana aku bisa percaya pada Bian? batin Bulan. Tapi… Pria di hadapanku… Bisa saja dia mengarang cerita, kan? Pikir Bulan.
"Kamu gak papa?" tanya dokter Rendy. Ia memerhatikan wajah Bulan yang tiba-tiba pucat, lalu ia pun menyadari bahwa gadis yang duduk di sebelahnya masih mencintai lelaki b******k bernama Bian.
"Ini, bisakah kau bacakan untukku?" pinta Bulan menyodorkan map itu kepada dokter Rendy. Rendy menerima dan membacakannya, sepanjang membaca ekspresinya tak jauh-jauh dari terkejut, tak menyangka, tak percaya sampai benar-benar ia menganga. Tak pernah dibayangkan gadis dihadapannya ini adalah CEO dari perusahaan yang cukup berkembang pesat sekarang.
"Waliku Bian sampai aku berusia 21 tahun." kata Bulan lagi, kali ini Rendy semakin nampak terkejut, ia tak menyangka hubungan Bian dan Bulan telah jauh hingga keluarga Bulan memberi kuasa kepada Bian untuk menjadi walinya. "Boleh kamu tunjukkan dimana aku harus memberi tanda tanganku?" Rendy menarik tangan Bulan dan meletakkannya pada kolom mana ia harus menandatanganinya.
"Kau harus belajar Brailer." Bulan meletakkan pulpennya begitu saja usai menandatanganinya. "Kau harus belajar membaca sendiri dan menandatanganinya sendiri." Kata Rendy lagi.
"Ada kau yang membacakannya untukku…" kata Bulan.
"Aku tak selalu ada...” jawab Rendy santai.
“Kita… Bukankah sudah sepakat melakukan balas dendam bersama?” tanya Bulan. Rendy menatapnya baik-baik, mencoba mencari kata yang pas untuk Bulan.
“Kau masih mencintai Bian, kan Bulan?” tanya Rendy langsung. Bulan termangu, tak tahu bagaimana bisa Rendy melontarkan pertanyaan seperti itu. “Kau buru-buru ingin balas dendam karena kau marah kepadanya yang merusak kehidupanmu sedangkan kau rela pergi ke Malang demi kebaikan kalian berdua? Iya, kan?” tanya Rendy menyidik. Bulan diam.
“Aku sudah mematikan perasaanku…”
“Mematikan persaanmu?” Rendy tersenyum remeh. “Cinta tak semudah membalikkan telapak tangan saja, Bulan…”
“Kau tak berniat membantuku?” Bulan mulai marah dan tersinggung.
“Bukan. Kukatakan aku tak selalu ada dua puluh empat jam untukmu! Kau harus belajar mandiri perlahan-lahan, kalau kau bisa mandiri, membuktikan bahwa kau bisa hidup tanpa ketergantungan orang lain, baru kita balas dendam...” kata Rendy panjang lebar.
"Bagaimana membuatmu untuk selalu ada? Apa kita harus menikah?" Rendy benar-benar tak siap dengan pertanyaan Bulan. Terlebih bagaimana bisa Bulan bisa begitu percaya pada dirinya yang notabenenya orang asing? Rendy menghela napas, ia sadar Bulan bukan gadis yang mudah ditangani. Bagaimanapun menjelaskannya kepada Bulan, gadis itu hanya terlihat kuat dan tegar di luar tapi ia rapuh di dalam.
Terlebih pertanyaan macam apa yang baru saja Bulan lontarkan kepadanya? Menikah dengannya? Demi balas dendam dan mengambil alih perwalian sepenuhnya dari Bian? Benarkah bisa jalan dengan seperti itu? Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa Bulan akan berkata hal sensitif itu dengan sangat santai.
Kepala Rendy terasa berat. Ia menghela dan menghembuskan napasnya kasar.
“Nikah kontrak? Bagaimana?” tanya Bulan lagi yang membuat Rendy benar-benar melongo mendengarnya mengambil ide konyol seperti itu.
#Halo readers, please tinggalkan jejak kalian dengan pencet love dan komentar, ya."